Sukses

Topeng Losari Cirebon, dari WS Rendra, Guruh hingga Didik Nini Thowok

Topeng Losari Cirebon bukan hanya dikenal sebagai salah satu warisan seni tari tradisional, para penari memaknai setiap gerakan adalah filosofi hidup

Liputan6.com, Cirebon - Salah satu kesenian legendaris di Cirebon Timur Topeng Losari hingga saat ini masih lestari. Topeng Losari bukan hanya sekadar menari, melainkan ada pula arti filosofis yang dituangkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kesenian yang diwariskan sejak ratusan tahun lampau itu tidak meninggalkan tradisi dan pakem yang ada. Karena itu, tidak sedikit orang datang ke Losari Kabupaten Cirebon untuk belajar makna filosofi hidup.

Adalah Mimi Dewi dan Mimi Sawitri, dua maestro Topeng Losari ini sudah sangat dikenal di jagat seni baik Indonesia, Asia hingga Eropa. Topeng Losari di era Dewi dan Sawitri memukau seluruh lapisan masyarakat di Tanah Air.

Generasi Ketujuh Topeng Losari Cirebon Nuranani M. Irman (41) mengaku, peran dua maestro ini bukan hanya berhasil membuat orang lain tercengang karena gerakannya.

"Dua maestro ini memang punya pengaruh besar di kesenian tari topeng," ucap dia, Minggu (15/4/2018).

Kehidupan sehari-hari yang sederhana dan penuh filosofi membuat orang kagum dan ingin berguru kepada mereka. Dia menyebutkan, dari perjuangan dua maestro tersebut, sejumlah tokoh publik Indonesia pun ikut berguru.

Dia mengatakan pula, kedua maestro tersebut memiliki murid bukan hanya dari kalangan seniman terkenal saja. Seperti Mimi Dewi, sosok maestro ini memiliki murid yang namanya sudah dikenal di kancah seni nasional maupun internasional.

Nani menyebutkan, beberapa murid Mimi Dewi sang maestro Topeng Losari, yakni WS Rendra, Iwan Fals, Sawung Jabo, Ian Antono, dan Yockie Suryoprayogo.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

2 dari 3 halaman

Guruh Soekarnoputra

Sementara itu, beberapa murid Mimi Sawitri, yakni Guruh Soekarnoputra, Didik Nini Thowok, Bambang Paningron, Soni Sumarsono, Ine Arini Askara, Endang Caturwati yang saat ini menjadi Direktur Kemendikbud, Nanang Supryatna hingga dosen ISBI dan ISI Solo.

"Sampai saat ini masih ada kedekatan bahkan setiap saya ke Jakarta kalau ada waktu pasti kita bertemu dan saya pasti mampir sama keluarga murid nenek saya juga dekat," ujar dia.

Hingga kedua maestro tersebut wafat, orang-orang yang pernah belajar dengan Mimi Dewi dan Sawitri masih intens berkomunikasi, baik dengan anak maupun sanak saudara kedua keluarga ini.

Dia mengatakan, jalinan emosional antara murid dan guru dari kedua maestro tersebut hingga saat ini masih terjaga. Menurutnya, sebagian besar para seniman tersebut belajar filosofi hidup.

"Mas Guruh juga diam-diam sering ke sini, terus mas Didik Nini Thowok dan banyak yang diam-diam mampir ke rumah menginap di sini hanya untuk silaturahmi dan mencari ketenangan dan ke makam nenek," ujar Nani.

Dia mengaku, dari kedekatan guru dan murid, terjalin rasa kekeluargaan yang erat. Bahkan, Guruh Soekarnoputra pernah membiayai Mimi Sawitri selama sakit.

3 dari 3 halaman

Dianggap Makar

Di masa kejayaannya, Seni Tari Topeng Losari Cirebon sempat dianggap sebagai bagian dari makar. Heri Sonjaya, cucu kandung Mimi Dewi mengatakan, Topeng Losari menjadi satu-satunya hiburan yang sangat dekat dengan masyarakat.

Seni Topeng Losari, saat itu dianggap dapat mempengaruhi masyarakat atau komunitas untuk melawan kepada pemerintah. Namun demikian, seiring berjalannya waktu, pemerintah tidak bisa membuktikan dugaan tersebut.

"Saat itu nenek saya ketemu sama Mbah Rujito seniman yang aktif di Taman Ismail Marzuji (TIM). Dari situ Topeng Losari mulai dipromosikan dan hingga saat ini sudah mendunia," ujar dia.

Dia mengatakan, kepemimpinan Mimi Dewi pun diturunkan kepada Mimi Sawitri dan mampu membawa Topeng Losari menjadi banyak pengagum dan sorotan publik.

"Banyak saksi yang melihat langsung bagaimana dua maestro ini menarikan Topeng Losari, sehingga diakui. Bukan hanya dari gerakan saja tapi arti filosofisnya juga," tuturnya.