Liputan6.com, Bandung - Silma Maulida (9), siswi kelas 3 SD 249 Astana Anyar, berdiri di antara puluhan siswa lainnya. Berseragam putih merah, ia berbaris rapi di halaman Aula RW 05 Lio Genteng, Kelurahan Nyengseret, Kecamatan Astana Anyar, Kota Bandung, Jawa Barat.
Rabu pagi itu, puluhan siswa mengikuti upacara peringatan Konferensi Asia Afrika (KAA) ke-63. Acara dimulai tepat pukul 09.00 WIB.
Selain para siswa sekolah, guru-guru pun begitu khidmat mengikuti upacara yang berlangsung selama satu jam itu.
Advertisement
Baca Juga
Silma mengaku senang bisa mengikuti upacara tersebut. Sebab, ini adalah pengalaman pertamanya mengenang konferensi tingkat tinggi yang diselenggarakan di Bandung, 18 April 1955 itu.
"Pernah ke Museum KAA, tapi kalau ikut upacaranya baru sekarang ini," kata Silma.
Lucky Hidayat, siswa kelas 5 SD, juga mengaku senang bisa mengikuti upacara. Apalagi kegiatan ini terkait dengan sejarah bangsa.
Sejarah mencatat, KAA diikuti oleh negara yang kebanyakan baru saja memperoleh kemerdekaan. KAA diselenggarakan oleh Indonesia, Myanmar (dahulu Burma), Sri Lanka (dahulu Ceylon), India dan Pakistan dan dikoordinasi oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Sunario.
Pertemuan ini berlangsung di Bandung 18 April sampai 24 April 1955. Tempatnya di Gedung Merdeka, yang berjarak sekitar 5 kilometer dari Lio Genteng.
Buah dari Konferensi Asia Afrika tertuang dalam Dasasila Bandung yang mendukung penghapusan kolonialisme dan hak bagi setiap bangsa untuk merdeka, antikekerasan dan musyawarah dalam mencapai kesepakatan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Memperkenalkan Sejarah pada Generasi Penerus
Siti Farida Hanung, guru SD 249 Astana Anyar, mengatakan bahwa pihaknya diundang komunitas Sakola Ra'jat (SR) Iboe Inggit Garnasih. Sudah lama sekolah itu berdiri, tapi baru kali ini mengikuti upacara peringatan KAA.
"Anak-anak dibawa ke sini memang agar bisa merasa seperti apa suasana KAA. Dengan diikutsertakan saya kira menjadi berarti bagi anak-anak," kata Siti.
Ia mengungkapkan, berdasarkan kurikulum yang ada, siswa-siswa belajar sejarah dari buku-buku yang sudah disediakan.
"Kita kan pakai kurikulum 13, untuk sejarahnya memang kurang komplet walau kita usahakan pakai buku yang lain. Upacara ini juga jadi bagian pengenalan sejarah,” ucapnya.
Menurut dia, upacara peringatan KAA ini jangan sampai terhenti kali ini saja. Sebab, selama ini sekolah hanya menggelar upacara memperingati hari nasional atau hari pahlawan.
"Kalau bisa jangan sampai terputus. Ini baru pertama, kalau upacara paling Hari Kartini," ujarnya.
Setelah upacara berakhir, para siswa dan guru turut menyaksikan peresmian The World Peace Wall atau Tembok Perdamaian Dunia dan pelepasan burung merpati sebagai simbol dari perdamaian dan solidaritas bangsa-bangsa Asia Afrika.
Advertisement
Pesan Toleransi dalam Mural
Sebanyak 109 bendera negara-negara Asia Afrika terpampang di Tembok Perdamaian Dunia itu. Mural cantik tersebut merupakan karya para warga yang dilakukan secara gotong-royong.
"Kita bikin selama empat hari. Yang bikin dan udunan cat warga Lio Genteng, mulai dari anak-anak, remaja dan dewasa," kata Koordinator SR Iboe Inggit Garnasih, Gatot Gunawan.
Gatot mengungkapkan, mural tersebut berpesan agar peringatan KAA bisa diperingati warga setiap hari.
"Yang sangat penting adalah nilai kesetiakawanan, toleransi antarumat beragama, tanpa melihat perbedaan. Selain itu, kegiatan membuat mural juga mendorong nilai-nilai gotong royong," ungkapnya.
Ketua RW 05 Lio Genteng, Sumiasih, mengatakan kegiatan tersebut sangat berdampak positif bagi warga. Apalagi, sebelumnya lingkungan Lio Genteng cukup kurang ramah bagi anak-anak.
"Bedanya dulu kalau main tidak terarah untuk anak-anak dan remaja. Sekarang ini lebih terarah, ada pengajian, baca Alquran, belajar seni dan budaya. Lebih ke kegiatan yang positif," jelasnya.