Liputan6.com, Yogyakarta Menikmati pagi dapat dilakukan dengan berbagai cara, tidak melulu harus melihat matahari terbit. Menyambut hari bisa juga dengan sarapan bersama di pasar tradisional sembari belajar fotografi.
Komunitas Hunting Pasar memang baru seumur jagung. Tetapi aktivitasnya mampu menghipnotis ribuan kaum milenial se-nusantara.
Bermula dari sepasang suami istri muda asal Yogyakarta, Bagoes Kresnawan (31) dan Astri Wulandari (28), yang memiliki kebiasaan ke pasar tradisional setiap Sabtu pagi. Bukan untuk berbelanja, melainkan menikmati aneka jajaran dan makanan berat yang dijual di sana.
Advertisement
Bagoes tidak lupa menentang kamera dan mengabadikan kuliner serta aktivitas yang terdapat di pasar tradisional. Potret-potret itu diunggahnya ke media sosial Instagram milik pribadi.
"Sebenarnya saya juga bukan fotografer profesional, tetapi sekalian saja jalan-jalan ke pasar tradisional dan memotret untuk kepuasan pribadi," ujar Bagoes, Rabu (18/4/2018).
Baca Juga
Setelah mengunggah foto ke Instagram, Bagoes kerap mendapat pertanyaan dari warganet. Pertanyaan seputar teknis foto dan pasar tradisional yang selaku menjadi objek.
Lelah karena harus membalas banyak pertanyaan yang sama, ia pun mendapat ide untuk mengumpulkan orang-orang yang penasaran. Tujuannya, supaya rasa penasaran mereka terjawab dan bisa belajar bareng.
Pada awal 2018, mulai lah ia memakai nama Komunitas Hunting Pasar. Sesuai namanya pula segala kegiatan tidak pernah jauh dari seputar pasar tradisional.
Instagram @huntingpasar.id pun dibanjiri pengikut. Jumlah anggota di Yogyakarta tercatat sekitar 250 orang.
Komunitas yang dibentuk di Yogyakarta itu pun mulai tersebar di berbagai kota. Setidaknya ada 37 kota di Indonesia yang memiliki komunitas Hunting Pasar dengan jumlah anggota mencapai 5.800 orang. Komunitas ini tidak hanya ada di Jawa, Bali, Kalimantan, dan Sumatera, melainkan sampai ke Papua, yakni Kota Sorong dan Manokwari.
Kegiatan rutin komunitas ini adalah menyambangi pasar tradisional setiap Sabtu atau Minggu pagi, tergantung dari kesepakatan anggota di setiap daerah.
Â
Persaudaraan yang Kuat
Objek pasar tradisional menarik perhatian kaum muda yang mulai jarang menyambangi pasar bersama dengan orangtua. Kebanyakan anggota berstatus pelajar dan mahasiswa.
"Lewat komunitas ini kami belajar fotografi sekaligus melestarikan jajanan di pasar tradisional dengan membeli," kata Bagoes.
Ia mengaku heran, komunitas yang dibentuknya bisa menjadi viral dan diikuti banyak orang. Namun, kalau dilihat lebih dalam Hunting Pasar tidak semata-mata kelompok fotografi, sehingga tidak harus semua orang yang bergabung memiliki alat kamera profesional.
"Ada juga yang ikut berkumpul, sarapan bareng, atau cari kenalan baru," ucapnya.
Mungkin hal itu pula yang membuat orang menjadi tidak canggung untuk masuk ke komunitas ini.
Ikatan persaudaraan antar komunitas di berbagai kota juga kuat. Ketika ada anggota Hunting Pasar dari satu kota berkunjung ke kota lain. Komunitas Hunting Pasar yang menjadi tuan rumah secara otomatis menyambut dan menemani jalan-jalan.
Â
Advertisement
Event Khusus Hunting Pasar
Bagoes bercerita selain kegiatan rutin ke pasar tradisional, setiap sebulan sekali komunitasnya juga mengadakan event. Perhelatan itu biasanya diisi dengan permainan dan pelatihan fotografi atau videografi.
"Beberapa region juga mulai mengadakan event bulanan berupa workshop fotografi atau videografi dengan mengundang beberapa praktisi," ucap Bagoes.
Ia juga punya rencana jangka panjang untuk Hunting Pasar, yakni memberikan kontribusi kepada pasar tradisional yang selama ini menjadi objek belajar mereka.
"Sudah ada skemanya akan seperti apa, tetapi karena belum terealisasi dan masih jadi target tahun depan, saya belum bisa bilang sekarang," tuturnya.
Untuk saat ini, komunitas masih fokus dengan kegiatan edukasi untuk para anggotanya.
Â
Alasan Memilih Pasar Tradisional
Pasar tradisional memiliki nilai lebih sebagai tempat belajar. Hal itu yang mendasari komunitas ini konsisten dengan lokasinya.
Di Yogyakarta, setiap Sabtu pukul 07.00 sampai 10.00 WIB, mereka menyambangi beragam pasar tradisional yang ada di kota.
"Ke pasar itu bisa tampil apa adanya, tidak perlu dandan," kata Bagoes.
Berkunjung ke pasar tradisional, baginya juga membuat orang lebih menghargai proses sebuah barang. Ketika hendak memotret salah satu penjual pasti meminta izin terlebih dulu. Saat itu lah percakapan personal terjadi dan penjual bercerita tentang aktivitas dan barang dagangannya.
Komunitas ini juga menumbuhkan rasa percaya diri. Mereka tidak dinilai dari foto yang dihasilkan, melainkan bagaimana berinteraksi dengan sesama anggota maupun para pedagang pasar. Mengawali percakapan berarti memulai keberanian diri.
Â
Advertisement
Pengalaman Tidak Terlupakan
Bagoes juga berkisah tentang pengalaman di Hunting Pasar yang tidak terlupakan. Ketika itu mereka berkegiatan di Pasar Prawirotaman dan memotret aktivitas pedagang.
Beberapa hari kemudian, para anggota kembali ke pasar itu dengan membawa hasil cetakan foto. Mereka membagikan kepada para pedagang.
"Banyak pedagang yang terharu, ada juga yang senang dan minta difoto lagi, kami yang melihat juga merasa senang," ujarnya.
Komunitas ini juga pernah membuat artis tertarik bergabung. Di Kalimantan, misalnya, aktor Dion Wiyoko pernah mengikuti kegiatan Hunting Pasar bersama anggota komunitas di region itu.
Menurut Bagoes, artis yang tertarik dengan dunia fotografi biasanya ditawari oleh anggota komunitas untuk ikut bergabung sehari.
"Kalau mereka tidak sibuk, biasanya mau," ucapnya.