Batam - Peristiwa nyaris tenggelamnya kapal kayu yang mengangkut ratusan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di perairan Johor, Malaysia menuju Kepulauan Riau, masih menyisakan trauma beberapa penumpang.
Mereka yang masih merasakan kengerian terombang-ambing di tengah lautan lepas, bahkan sudah pasrah dengan keadaan, hanya bisa berdoa kepada Yang Maha Kuasa.
Para penumpang kapal bahkan bukan saudara, tetapi akibat kejadian ini rasa kedekatan sebagai saudara sepenanggungan mulai terbangun.
Advertisement
Baca Juga
Kepada Batamnews.co.id, Risma (42) yang sudah hampir 9 tahun berada di Malaysia dan ikut serta dalam ekspedisi ilegal itu bercerita, betapa malam itu sekitar pukul 12.00 WIB, adalah malam terburuk dalam hidupnya.
Ia yang berniat pulang total ke kampung halamannya di Malang, tak menyangka akan menghadapi pengalaman menegangkan itu.
Ia pergi membawa anaknya, Faizul (7). Selama hampir tiga jam mereka terombang-ambing di lautan lepas tak jelas arah karena kapal yang ditumpanginya kehabisan bahan bakar.
Di dalam kapal ikan kecil di tengah lautan dan dalam keadaan gelap gulita, mereka harus berimpit-impitan.
Kapal pun sempat bocor, tetapi mereka bekerja sama menguras air agar tidak menenggelamkan kapal.
"Kami sudah pasrah, takut juga. Yang bisa saya lakukan hanya berdoa kepada Allah," kata dia di Mapolair Polda Kepri, Sekupang, Batam, tempat ke 107 TKI yang dievakuasi petugas berkumpul, Jumat pagi, 20 April 2018.
Tak sampai di situ kegelisahan Risma, anaknya pun menangis tak henti-henti, bahkan sempat demam di atas kapal. "Pas datang polisi, langsung diobatin,"Â kenang dia.
Baca berita menarik lainnya dari Batamnews.co.id.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Alasan Memilih Jalur Ilegal
Risma mengakui, dia memilih jalur ilegal ini karena susahnya persyaratan mengurus paspor anaknya yang hilang.
Dia bercerita, sebelum menaiki kapal, dia harus berkumpul dulu di sebuah perkampungan di Malaysia sebelum menuju ke pelabuhan.
Bukan hanya itu, sebelum menuju ke pelabuhan dari perkampungan itu, dia harus berjalan dulu di pedalaman hutan untuk menuju pelabuhan.
Ada sekitar tiga jam mereka harus menyusuri hutan dalam keadaan gelap gulita, sepanjang 200 meter menuju pelabuhan tanpa penerangan sama sekali.
"Merokok saja tak boleh, saya saja sampai masuk lubang," kata dia.
Beda dengan Winantu (38, penumpang tujuan Surabaya. Dia dan beberapa temannya dikumpulkan dulu di sebuah hotel sebelum menuju lokasi.
"Jadi beda-beda, enggak dikumpulin semuanya dulu. Dipisah-pisah. Jadi manis dulu, baru pahit-pahitan," kata dia.
Dia berpikir, karena awalnya diinapkan di hotel. Ia merasa akan diantar menggunakan kapal feri.
"Jadi pas tahu itu kapal ikan, nangis-nangis saya," ujarnya.
Winantu bercerita, setelah beberapa jam terombang-ambing di tengah lautan lepas, mereka sangat kegirangan ketika melihat sebuah kapal berbendera Indonesia yang datang untuk menolong.
"Pas tampak kapal Indonesia, spontan kami ngomong 'Merdeka'. Serentak semuanya, saking bahagianya, saking senangnya," ungkapnya dengan nada bergetar.
Â
Â
Advertisement