Liputan6.com, Kupang - Nasib para guru honorer di Nusa Tenggara Timur (NTT) cukup memprihatinkan. Di Kupang, bahkan masih ada guru honorer yang digaji Rp 150 ribu per bulan.
Hal ini dialami Herlin Sanu (30), guru perempuan di salah satu sekolah dasar (SD) milik sebuah yayasan di Kecamatan Maulafa, Kota Kupang. Herlin berharap pemimpin NTT berikutnya bisa mengubah nasibnya dan rekan-rekannya sesama honorer.
"Banyak teman-teman yang sudah masuk mengajar, namun harus keluar lagi karena gaji terlalu kecil," ucap Herlin kepada Liputan6.com, Kamis, 26 April 2018.
Advertisement
Sebulan, gaji yang diterima Herlin bersama teman-temannya tidak menentu. Gaji paling tinggi yang mereka terima adalah Rp 150 ribu.
Baca Juga
Karena sumber gaji yang diterima berasal dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS), maka uang yang diterima Herlin dan kawan-kawan pun tidak sebulan sekali.
"Sumber gaji kami dari dana BOS. Jadi tiga bulan sekali baru cair uangnya. Kami terima tiga bulan sekali. Kadang tidak terima karena tidak cair. Katanya diputihkan," Herlin menuturkan.
Pengabdian yang tulus dari sang guru honorer itu ternyata tidak diimbangi dengan kompensasi yang baik. Baginya, uang yang diterimanya itu sangat tidak mungkin mencukupi kebutuhannya dalam sebulan.
"Saya perempuan. Tentu kebutuhan saya lebih banyak. Dengan uang itu, sangat tidak mungkin mencukupi kehidupan saya dalam sebulan," ujarnya.
Herlin berkisah, untuk membantu mencukupi kehidupannya, dia berjualan setelah jam sekolah usai. Dengan hasil jualannya itu, sedikit membantu dalam pemenuhan kebutuhan hidup guru honorer tersebut.
"Ya, jualan apa saja. Minyak tanah, kebutuhan hidup lainnya. Modal awalnya saya dapat dari keluarga. Kalau tidak begitu, setengah mati," tuturnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Tetap Bertahan
Herlin berkisah, SD tersebut berdiri tahun 2007 silam. Selama beberapa tahun, sekolah ini masih mendapat suntikan dana dari pendiri sekolah dan yayasan.
"Namun sejak 2015, yayasan dan pendiri sekolah sudah lepas tangan. Mereka tidak lagi memberikan bantuan untuk operasional sekolah ini. Kalau kami tidak ingat anak-anak, kami sudah tinggalkan sekolah ini. Kami masih bertahan," ceritanya.
Jadi untuk mendanai seluruh kegiatan, urainya, sekolah ini murni mengharapkan dana BOS dan iuran dari para murid.
"Sekarang kami hanya tunggu dana BOS. Gaji kami dan seluruh kegiatan sekolah dari situ semua. Kami juga mengharapkan iuran dari para murid yang berjumlah 57 orang. Tapi, iuran itu kami tidak paksakan. Satu bulan mereka bayar Rp 10.000. Kalau belum ada uang, kami tidak akan paksa mereka bayar," jelasnya.
Sebenarnya, sekolah ini telah ditutup. Namun bersama para orang tua murid, Herlin dan beberapa teman gurunya masih tetap bertahan mengajar para murid.
"Kasihan anak-anak kalau sekolah mereka ditutup. Apalagi daerah ini agak terpencil. Kalau tutup, mereka setengah mati juga cari sekolah lain," ungkapnya.
Dengan alasan ini, selain berharap gaji mereka diperhatikan, Herlin juga berharap agar status sekolah mereka bisa dinegerikan.
"Banyak sekolah yang jumlah siswanya lebih sedikit juga bisa jadi sekolah negeri. Saya harap sekolah kami bisa dinegerikan juga. Karena kalau begini terus, kami tidak tahu seberapa kuat lagi kami bertahan. Kami sangat mengharapkan uluran tangan," ujar Herlin.
Advertisement