Liputan6.com, Cilacap - Cilacap disebut sebagai salah satu daerah dengan risiko bencana tertinggi di Jawa Tengah. Topografi wilayahnya menyebabkan Cilacap rawan banjir dan longsor pada musim penghujan dan bencana kekeringan dan krisis air bersih pada musim kemarau.
Sebagian wilayah Cilacap berada di daerah zona merah longsor. Yakni, di desa-desa yang berada di pegunungan tengah yang membentang mulai kecamatan Karangpucung, Cimanggu, Majenang, Wanareja, hingga Dayeuhluhur di perbatasan Jawa Barat.
Sebagian wilayah lainnya, berada di dataran rendah. Wilayah ini terpengaruh oleh pasang surut air laut. Sebab itu, saat musim penghujan, kawasan di dataran rendah terancam banjir rendaman.
Advertisement
Baca Juga
Sebaliknya, lantaran berada di dataran rendah dan bekas rawa-rawa, meski ketersediaan airnya terjamin sepanjang tahun, tetapi lantaran berada di daratan yang sebelumnya rawa, airnya tak layak konsumsi dan menyebabkan krisis air bersih.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Cilacap mengidentifikasi ada enam kecamatan yang paling rawan kekurangan air bersih. Enam kecamatan tersebut yakni, Kawunganten, Bantarsari, Gandrungmangu, Patimuan, Kedungreja dan Kecamatan Sidareja.
Di enam kecamatan wilayah Cilacap itu, setidaknya terdapat 40 desa yang berkategori amat rawan terdampak kekeringan dan krisis air bersih. Penyebab utamanya adalah air yang tak layak konsumsi.
"Ada yang terpengaruh air laut dan airnya berwarna hitam, berbau," ucap Kepala Pelaksana Harian (Lakhar) BPBD Cilacap, Tri Komara, Jumat, 4 Mei 2018.
Penyebab Krisis Air Bersih di Cilacap
Air asin disebabkan oleh intrusi air laut yang pasang dan naik hingga hulu daerah alirasn sungai (DAS) Cibeureum dan anak sungainya. Adapun warna hitam pada air sumur warga diduga karena timbunan bahan organik pada proses pembentukan daratan.
Sebagian besar wilayah di enam kecamatan tersebut adalah dataran rendah. Pada masa lalu, kemungkinan besar daerah-daerah ini adalah rawa yang luas. Oleh sebab itu, air sumur warga ketika musim kemarau mengandung timbra.
Untuk menanggulangi kemungkinan krisis air bersih, pada kemarau tahun 2018 ini, BPBD mempersiapkan sebanyak 300 tangki air bersih. 300 tangki air bersih itu diproyeksikan akan dikirimkan ke enam kecamatan yang tiap tahun terkena dampak kekeringan.
"Memasuki musim kemarau kita mendapatkan alokasi anggaran untuk pengiriman atau droping air bersih ke wilayah-wilayah yang biasanya terdampak,”" dia menjelaskan.
Komara menyebut 300 tangki itu adalah persediaan awal. Jika kurang, BPBD akan kembali mengajukan anggaran untuk pengadaan air bersih.
Advertisement
Kemarau 2015, 86 Desa di Cilacap Krisis Air Bersih
Menilik kemarau 2016 dan 2017 lalu, jumlah 300 tangki diperkirakan cukup. Pasalnya, dua tahun terakhir kemarau di Cilacap terhitung pendek. Tahun 2016 bahkan terjadi kemarau basah.
"Kemarau tetapi masih ada hujan," dia menerangkan.
Tetapi, berkaca pada kemarau 2015 yang panjang, BPBD pun tetap mengantisipasinya dengan mengalokasikan anggaran untuk cadangan pengadaan air bersih. Pada 2015, kemarau terjadi sejak Juli hingga Oktober, sehingga membutuhkan sekitar 500 tangki air bersih.
Saat itu, dampak kekeringan dan krisis air bersih meluas hingga 86 desa di 15 kecamatan wilayah Kabupaten Cilacap. Namun, biasanya kecamatan lainnya terdampak jika musim kemarau terjadi lebih panjang dari biasanya.
"Di wilayah timur seperti Kecamatan Adipala atau Kesugihan juga terdampak," dia menjelaskan.
Tahun ini, berdasar perkiraan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) kemarau di Cilacap berlangsung normal, yakni antara Juni-September 2018, atau berkisar tiga bulan.
Komara mengklaim, jumlah daerah rawan kekeringan di Cilacap dari tahun ke tahun semakin berkurang seiring berbagai program pengadaan air bersih dari BPBD dan lembaga lainnya.
Beberapa di antaranya adalah pembangunan sumur bor, penyaluran air bersih ke daerah rawan kekeringan dengan program pipanisasi, serta meluasnya jaringan Perusahaan Daerah air Minum (PDAM).