Sukses

Beginilah Ketika Teroris Mengancam Tradisi Dhugdher

Trauma publik atas suara ledakan akibat teror bom, nyaris menggagalkan pelaksanaan tradisi menyambut Ramadan di Semarang. Suara ledakan yang dipadu suara beduk sempat dilarang polisi.

Liputan6.com, Semarang - Teroris dan tradisi. Dua diksi berbeda. Namun, siapa sangka Dugder yang menjadi tradisi warga Semarang, Jawa Tengah, menyambut Ramadan. Siapa sangka pelaksanaan tradisi yang dipimpin Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi di tahun 2018 nyaris bubar?

Penyebabnya sepele. Ketakutan publik akan aksi teroris. Bahkan, hingga jam 11.00, polisi belum memberi izin pelaksanaan dugder secara utuh. Polisi tak mengizinkan adanya letusan atau ledakan yang menimbulkan efek bunyi "dher".

Rusman Sayogo, ketua Pemuda Panca Marga yang dipasrahi membuat efek bunyi "dher" agar ketika dipadu suara beduk "dhug", benar-benar menjadi "dhugdher" menjelaskan bahwa polisi mempertimbangkan faktor keamanan dari ledakan yang ditimbulkan.

"Apalagi ini melibatkan ribuan warga Semarang," kata Rusman kepada Liputan6.com, Selasa, 15 Mei 2018.

Jika larangan itu berlanjut, tentu hanya akan ada suara "dhug dhug dhug" saja tanpa suara "dher". Artinya prosesi dugderan akan hilang berganti dengan prosesi "dhug dhug dhug".

"Kurang dua jam dari proses peledakan, melalui berbagai pertimbangan dan syarat keselamatan, polisi mengijinkan. Kami langsung menyiapkan balon untuk diledakkan agar ada efek suara 'dher'," kata Rusman.

Teroris memang kejam. Paranoia yang dihasilkan bukan semata ketakutan publik, namun juga trauma terhadap bunyi ledakan. Contoh paling nyata adalah alasan pelarangan ini bukan karena balon yang berbahaya, namun adanya teror ledakan bom yang terjadi di Surabaya, Sidoharjo dan Jakarta yang juga membawa efek suara ledakan.

"Alhamdulillah sudah bisa berjalan. Suara 'dher' tahun 2018 kita buat sama dengan tahun 2017. Jumlahnya 9 kali. Satu ledakan keluar dari 15 balon kecuali ledakan terakhir biasanya kita buat lebih besar jadi kita kasih 20 balon," kata Rusman.

Rusman menyebutkan pengurangan jumlah terkait efek suara agar tak dicurigai publik sebagai aksi teroris. Jadi warga Semarang tetap percaya bahwa dugderan aman.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

2 dari 3 halaman

Suara Ledakan hingga 5 Kilometer

Ledakan sembilan kali akhirnya terlaksana. Sederhana saja, dengan lahan Masjid Agung Jawa Tengah yang luas, efek suara ledakan tidak merusak.

"Selama 15 tahun membuat suara 'dher' setahu saya memang balon tidak bisa meledak jika ditusuk dengan jarum. Jadi diledakkan dengan disundut obat nyamuk menyala," Rochmad Sudrajat, pembuat balon yang akan diledakan.

Suara ledakan yang terdengar hingga radius 5 kilometer pertama dibuat dengan bahan peledak. Karena demi keamanan kemudian diganti dengan bahan lain yang bisa mengeluarkan suara tetap keras.

Sementara itu, di sela memimpin prosesi Dhugdher ini, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi meminta masyarakat berdoa bagi para korban bom di Surabaya.

"Sebelum karnaval dimulai, mari kita semua berdoa untuk korban terorisme di Surabaya," kata Hendi.

 

3 dari 3 halaman

Warga Gembira karena Ada Ledakan

Pemandangan doa bersama di tengah prosesi Kirab Dugderan tersebut adalah menjadi yang kedua kalinya. Di tahun lalu, Hendi pun juga memimpin doa bersama di tengah prosesi Kirab Dugderan. Kala itu dirinya meminta masyarakat untuk mendoakan korban bom di Kampung Melayu, Jakarta Timur, 24 Mei 2017.

Dalam prosesi karnaval, kereta kuda yang dinaiki Hendi dikawal langsung oleh Kapolrestabes Semarang, Kombes Pol Abioso Seno Aji.

Prosesi berjalan sebagaimana biasanya. Di Masjid Kauman, Wali Kota menerima Suhuf Halaqoh dari para alim ulama di Kota Semarang. Selain itu, di sana Hendi juga membagikan kue khas Semarang, yaitu Ganjel Rel dan air Khataman Alquran.

Perjalanan berikutnya, Wali Kota bertolak ke Masjid Agung Jawa Tengah untuk menyerahkan Suhuf Halaqoh kepada Gubernur Jawa Tengah. Di MAJT ini dibacakan Suhuf Halaqoh yang isinya pengumuman dimulainya awal puasa.

Tradisi ini disebut sudah ada sejak tahun 1881, yang pada saat itu dilaksanakan pertama kali oleh Bupati Semarang, Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat. Dan saat ini, setiap tahunnya prosesi Dugderan dipimpin langsung oleh Wali Kota.

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.