Liputan6.com, Yogyakarta Sebuah masjid berdiri kokoh di tepi Jalan Gito-Gati, Grojogan, Pandowoharjo, Sleman. Bangunan itu tampak mencolok jika dibandingkan dengan rumah atau bangunan lain di sekitarnya. Ruas jalan yang tidak terlalu lebar, juga membuat masjid yang dibangun di lahan seluas 1.600 meter persegi terlihat megah.
Masjid Suciati Saliman, demikian nama tempat ibadah yang baru diresmikan pada Minggu, 13 Mei lalu. Masjid yang diberi nama sesuai dengan nama orang yang membangunnya ini berlokasi di jalur alternatif Kota Yogyakarta dan beberapa tempat wisata di DIY.
Masjid ini beroperasi 24 jam dan dilengkapi dengan pendingin ruangan. Selain kemegahannya, arsitektur masjid ini cukup unik.
Advertisement
Baca Juga
Penggabungan desain khas Timur Tengah dan Jawa mendominasi bangunan empat lantai itu. Budaya Timur Tengah tampak dari desain pintu yang berlapis emas di sepanjang tepi pintu.
"Ini sama persis dengan pintu Masjid Nabawi di Madinah. Sewaktu saya naik haji, saya suka sekali dan senang dengan masjid ini," ujar Suciati Saliman ketika ditemui di dalam masjid, Senin (28/5/2018).
Pintu Masjid Suciati berjumlah sembilan buah menggambarkan jumlah wali singo yang telah menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Masjid ini juga memiliki lima menara yang merepresentasikan jumlah waktu salat dalam satu hari.
Desain atap berbentuk limas yang mengadopsi bangunan Jawa. Bedug masjid berukuran 170 sentimeter dengan diameter 130 sentimeter terbuat dari kayu Trambesi utuh berusia 127 tahun dari Majalengka dipesan dari pengrajin di Cirebon.
Plafon masjid terbuat dari fiber semen, sedangkan dinding dan lantainya terbuat dari marmer. Estimasi biaya pembangunan pasti tidak murah, bisa mencapai miliaran bahkan belasan miliar rupiah.
Sayangnya, Saliman, sapaan akrabnya, enggan menyebutkan nominalnya. Dia berdalih, belum menghitung total biaya.
"Ini membangun dari tiga tahun lalu dan dibayarnya juga berkala, sampai sekarang juga masih proses, karena masih ada bagian yang dibangun, seperti perpustakaan di dalam masjid," ucap Saliman
Menangis Saat Azan Pertama
Saliman mengaku pertama kali mendengar adzan berkumandang dari masjidnya. Kala itu, azan Maghrib tepat satu minggu sebelum peresmian masjid berlangsung.
"Merasa sangat terharu, ini impian saya sejak masih SMP, bisa bangun masjid," ucapnya.
Meskipun belum sepenuhnya rampung, masjid ini sudah dimanfaatkan oleh banyak orang. Selama bulan Ramadan, Suciati menyediakan menu sahur dan buka bersama bagi warga sekitar.
Kegiatan tausiah juga dilakukan menjelang berbuka puasa dengan mengundang beragam penceramah.
Ia tidak menampik, perizinan dan pembebasan tanah untuk pembangunan masjid tidak mudah. Sebab, di kawasan itu sudah berdiri sejumlah masjid.
"Namun, sasaran masjid ini adalah musafir dan karyawan saya," ucapnya.
Saliman juga berencana untuk menetap di masjidnya. Ada satu ruangan yang masih direnovasi dan kelak menjadi tempat tinggalnya.
Advertisement
Berawal dari Lima Ekor Ayam
Masjid megah dan mewah ini ternyata buah kerja keras perempuan kelahiran 66 tahun silam sejak 1966. Suciati bekerja di Pasar Terban menjual lima ekor ayam setiap hari sewaktu duduk di bangku SMP.
Ia diberi modal Rp 175 oleh sang ibu pada 1966.
"Terus seperti itu sampai saya selesai sekolah," kata Suciati.
Sebelum pergi ke sekolah ia menjual ayam dan jika belum habis, maka dititipkan ke perumahan dosen di Bulaksumur.
Ketekunan membuat usaha nenek dari empat cucu ini berkembang. Kini, ia tercatat sebagai pemilik PT Sera Food Indonesia yang memproduksi makanan beku. Pasarnya tersebar di seluruh Indonesia.
Ia juga memiliki dua pabrik di Yogyakarta dan Jombang yang menjual 100 ton daging ayam per hari.
Saliman meyakini bisnisnya berkembang pesat karena perwujudan dari falsafah atau pandangan hidupnya.
"Urip iku urip artinya hidup harus memberi manfaat sebanyak-banyaknya bagi orang lain," tuturnya.
Melalui Saliman Grup ia mempekerjakan ribuan karyawan. Setelah pembangunan masjid, ia juga berniat mendirikan pondok pesantren, rumah hafiz, dan taman religi.