Sukses

Semangat Toleransi di Tengah Keramaian Pasar Wadai Ramadan Banjarmasin

Perempuan berbaju muslim dan lelaki berkopiah berbaur dengan para biarawati hingga turis mancanegara di Pasar Wadai Ramadan Banjarmasin.

Liputan6.com, Banjarmasin - Di antara kumpulan orang yang memakai jilbab, pria bersarung, berkopiah, dan berbaju koko atau atribut yang identik dengan umat Islam, tidak sedikit pengunjung Pasar Wadai Ramadan (PWR) atau Ramadhan Cake Fair (RCF) di Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan, yang bukan Muslim.

Mereka ada yang berbaju biarawati atau mengenakan pakaian lain yang identik dengan umat beragama lain. Para pengunjung berbagai latar belakang itu ikut berjubel di tengah ribuang pengunjung pasar yang menjual kebutuhan berbuka puasa itu.

Di antara warga lokal, sekelompok wisatawan asing non-Muslim yang dipandu para peramuwisata seringkali berbaur di tengah keramaian pasar penganan itu. Kehadiran pasar yang ada hanya pada bulan Ramadan itu membuktikan PWR bukanlah untuk kepentingan agama Islam saja.

"Banyak pembeli kue khas Banjar yang dikenal dengan kue 41 macam adalah orang-orang China," kata Ibu Maspah, satu dari ratusan pemilik kios dagangan di Pasar Wadai Ramadan yang berada di bilangan Jalan RE Martadinata, depan Balai Kota Banjarmasin itu, dilansir Antara.

Menurut Maspah, warga keturunan Tionghoa biasanya berani membeli agak mahal dagangannya. Dengan begitu, ia mendapat untung lebih.

Dilihat dari gaya bicaranya, warga etnis Tionghoa yang ikut berbelanja di Pasar Wadai Ramadan sudah lama tinggal di Banjarmasin, serta kota-kota lain di Kalsel. Tak sedikut dari mereka juga bahkan mengajak keluarga mereka dari Pulau Jawa serta daerah lain, khusus untuk menikmati penganan khas Kalsel di pasar tersebut.

Sementara, kedatangan kalangan wisatawan mancanegara (wisman) yang mengenakan pakaian celana pendek, kaos singlet, kaos oblong, baik wisman pria dan wanita, tak masalah berada di lokasi ini.

Bahkan, ada dari mereka setelah membeli penganan langsung menyantap di lokasi walau saat itu sedang bulan puasa. Namun, masyarakat setempat memakluminya.

Menurut para pedagang, pembeli non-Muslim di lokasi itu menyebabkan harga penganan dan masakan lebih mahal dibandingkan di tempat lain. Berapa pun banyaknya barang dagangan hampir bisa dipastikan akan habis terjual.

Deobora (35), warga Banjarmasin yang beragama Kristen mengaku dia selalu menunggu kehadiran pasar Ramadan ini, karena momen ini benar-benar memberikan kesenangan bagi keluarganya.

"Keluarga kami hampir tiap hari membeli makanan di pasar Ramadan tersebut, banyak pilihan makanan, begitu juga penganan aneka ragam, sulit didapati hari lain," kata Deobora yang dikenal sebagai seorang PNS di lingkungan Pemko Banjarmasin tersebut.

 

 

2 dari 2 halaman

Sejarah Pasar Wadai

Pemkot Banjarmasin menjadikan pasar itu sebagai lokasi destinasi wisata tahunan saat Ramadan ini bukan semata untuk umat Islam, tetapi diciptakan untuk semua golongan.  Karena menjadi objek wisata, pasar itu diciptakan sedemikian rupa bernuansa budaya Suku Banjar yang merupakan suku terbesar di daratan Kalsel.

Pasar Ramadan ini sudah ada di Banjarmasin sejak 1970-an. Saat itu hanya kelompok-kelompok kecil saja, hingga kurang teratur dan mengganggu keindahan kota.

Mulai 1980-an, oleh Pemkot Banjarmasin pedagang itu dikumpulkan di satu lokasi, lalu dinamakan Pasar Wadai Ramadan (Ramadan Cake Fair). Sejak itu pula, lokasi ini dinyatakan sebagai atraksi wisata tahunan.

Untuk memperkuat lokasi ini sebagai objek wisata maka digelar pula berbagai pertunjukan rakyat, seperti kesenian tradisional, seperti madihin, lamut, rebana, jepin, dan tarian serta seni-seni tradisi lainnya.

Setiap pertunjukan selalu saja memperoleh sambutan hangat dari masyarakat, terutama kawula muda yang berdatangan bukan saja dari Kota Banjarmasin sendiri tetapi dari kota sekitarnya. Tahun ini, lokasi pertunjukan persis di tengah pasar sehingga memudahkan pengunjung untuk menikmati seni tradisi tersebut.

Pasar Wadai ini tidak hanya dimaksudkan untuk melestarikan seni budaya setempat, tetapi juga untuk melestarikan penganan tradisional khas Kalsel.

"Banyak penganan yang hampir punah lantaran jarang ditemui di hari biasa, bisa ditemukan pada saat pegelaan pasar Ramdahan ini, yang membuktikan kegiatan tahunan ini mampu melestarikan budaya membuat penganan tersebut," kata Kepala Bidang Pengembangan Pariwisata, Dinas Pariwisata dan Budaya Kota Banjarmasin, Jimmie Khuzain.

Masyarakat suku Banjar yang tinggal di Kalsel dikenal sebagai masyarakat yang memiliki kekayaan budaya khususnya penganan tradisional, namun beberapa jenis penganan tersebut kini nyaris punah.

Ada sekitar 41 macam penganan tradisional Suku Banjar yang dikenal selama ini, tetapi tak sedikit penganan tradisional itu yang tak lagi terdata dan diketahui. Penganan itu hanya muncul bila ada hajatan, kenduri, atau acara ritual lainnya di masyarakat Suku Banjar.

Penganan tradisional yang nyaris punah itu antara lain seperti kue kelalapon, kue kakikicak, sasagon, cucur, wajik, cangkarok batu, bubur habang, bubur putih, apam habang, apam putih, bingka barandam, garigit, ilat sapi, dan wadai satu.

Penganan itu hilang setelah kian banyaknya penganan modern dan makanan kecil siap saji bermunculan, tetapi juga akibat kue-kue kering dan makanan kecil yang diproduksi perusahaan besar di Pulau Jawa.

Saksikan video pilihan berikut ini: