Liputan6.com, Bandung - Minggu sore itu, sekelompok pemuda sedang berkumpul di pinggir jalan tepat di depan sebuah gedung menara di Kota Bandung, Jawa Barat. Mereka berjumlah tiga orang dengan riasan wajah warna putih dan merah darah pada bibirnya.
Mereka lalu menyeberangi jalan sambil berjalan kaki di kawasan Simpang Lima menuju Jalan Asia Afrika, Kota Bandung. Masing-masing membawa koper, tas, tikar, buku hingga alat musik.
Dandanan pantomim dan properti yang mereka bawa tampak menghibur masyarakat di jalanan dengan ekspresinya. Tapi, entah masyarakat mana yang paham atas apa yang mereka sampaikan karena sepanjang jalan tak ada suara dari ketiganya.
Advertisement
Baca Juga
Perjalanan berlanjut kala ketiga pemuda menunggu di halte bus. Bak pemudik yang menunggu bus, salah seorang seniman pantomim menunjukkan raut wajah cemas sambil menenteng segudang barang yang ia bawa melalui koper besar.
Pada adegan lain, para seniman dihampiri oleh sejumlah orang yang sama-sama ingin melakukan perjalanan. Lokasinya tidak berapa jauh dari Titik Nol Kota Bandung.
Mereka tampak menunggu angkutan yang akan membawa pergi pada suatu tujuan. Tapi, lagi-lagi, tidak satu kata pun keluar dari mulut mereka. Akhirnya, rombongan tersebut memutuskan untuk mencari tempat lain.
Tiba di Alun-alun Kota Bandung, kehadiran gerombolan ini menjadi pusat perhatian warga yang kebanyakan sedang ngabuburit. Beberapa di antaranya menunggu angkutan umum di halte.
Meski ada interaksi dengan sejumlah orang yang lalu lalang, rombongan tetap tak menemui titik tujuan. Mereka pun akhirnya memutuskan diri untuk membubarkan diri.
Demikianlah seni pertunjukan Nyusur History Mudik Movement 7 yang digagas komunitas pantomim Mixi Imajimimetheatre Indonesia bersama komunitas Nyusur History Indonesia dalam pertunjukan bertajuk "Ode Migrasi Tubuh Kampung" di Bandung, Minggu, 10 Juni 2018.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Perenungan Esensi Mudik
Mudik sudah merupakan hal biasa yang dilakukan perantau untuk kembali ke kampung halamannya. Tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan, misalnya Lebaran, boleh dikatakan sebuah tradisi yang mutlak harus dilaksanakan.
Fenomena mudik Lebaran di Indonesia memang unik dan jarang ditemukan di negara lain. Sekitar satu minggu sebelum Lebaran, para perantau berbondong-bondong meninggalkan Ibu Kota dan kembali ke kampung halaman.
Mudik yang dalam bahasa Jawa ngoko "mulih dilik" yang berarti pulang sebentar saja, secara khusus memang ditujukan untuk momentum pulang kampung saat Lebaran saja. Sedangkan pulang kampung yang dilakukan pada hari biasa, tidak mendapat sebutan mudik.
Seniman pantomim Wanggi Hoediyatno menuturkan, melalui pertunjukan pantomim di jalanan tersebut ia dan kawan-kawannya ingin merespons fenomena mudik yang telah terjadi banyak pergeseran makna dan tujuan.
"Melalui seni gerak tubuh ini kita ingin menyampaikan bahwa gejala arus mudik saat ini sarat dengan perkembangan dunia yang semakin pesat dan cepat. Namun, terkadang kita lupa akan esensi dari mudik itu sendiri," kata Wanggi usai pertunjukan.
Dalam penampilannya, para seniman membawa sejumlah barang bawaan. Mirip dengan situasi mudik pada umumnya.
Menurut Wanggi, mudik adalah kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara yang lama tersebar di perantauan, selain tentunya juga dengan kedua orangtua. Dengan mudik berarti masyarakat masih menjunjung nilai silaturahmi antar keluarga.
"Tapi terkadang barang-barang yang dibawa pemudik merepotkan dirinya sendiri atau bahkan jadi perhatian orang lain. Sering kan kita dengar berita kejadian dihipnotis atau dicopet saat mudik," ujarnya.
Advertisement
Belajar Efektif
Dengan memperlihatkan bahwa mudik membawa banyak barang-barang, Wanggi ingin menyampaikan mudik sebenarnya adalah belajar mengefektifkan aktivitas dan mengefesiensi waktu.
"Menurut saya konsepnya tidak berbeda dengan traveling hanya saja ini momennya khusus. Soal barang-barang yang dibawa pastikan yang cukup sesuai fungsi. Karena yang penting adalah soal keselamatan dan kesehatan pemudik," jelasnya.
Untuk itu, ia bersama rekan-rekannya kembali mengingatkan bahwa mudik bukan hanya menjadi milik umat muslim yang akan merayakan Idul Fitri 1439 Hijriah bersama keluarga namun telah menjadi milik masyarakat Indonesia.
"Karena pada dasarnya bersilaturahmi adalah hakikat dari kehidupan manusia sebagai makhluk sosial," tuturnya.
Wanggi menjelaskan, pertunjukan seni mudik ini sudah memasuki tahun ketujuh. Semua pertunjukan selalu dilaksanakan di ruang-ruang publik seperti jalan raya, terminal, dan stasiun.
"Untuk tahun depan mungkin akan berkolaborasi dengan komunitas lainnya," ujarnya.
Ia pun berpesan agar para pemudik tetap berhati-hati dengan barang bawaan ke kampung halaman. Selain tak kalah pentingnya menjaga kesehatan dan keselamatan selama perjalanan.
"Karena saudara dan handai tautan serta keluarga besar menantikan Anda di rumah," imbuhnya.