Sukses

Menandai Akhir Ramadan dengan Lampu Colok

Ada 81 ribu lampu berbahan bakar minyak yang dirangkai menjadi banyak replika masjid. Ini penanda bahwa Ramadan sudah memasuki malam ke-27.

Liputan6.com, Bengkalis - Ada tradisi Ramadan di Bengkalis, Riau. Khusus malam-malam terakhir Ramadan di Provinsi Riau selalu diterangi dengan lampu colok. Lampu yang terbuat dari bekas botol minuman dan dipadu dengan sumbu berbahan bakar minyak tanah. Jangan sepelekan, lampu tradisional ini memiliki sejarah kuat ratusan tahun.

Biasanya, penyalaan lampu colok dimulai pada malam 27 Ramadan hingga Lebaran. Tentu bukan tanpa tujuan, namun dimaksudkan untuk menggairahkan pembayaran zakat dan juga menjemput Lailatulkadar atau Lailatul Qadar.

Menurut Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Bengkalis Bustami HY, penyalaan lampu colok ini lebih sering dipusatkan di tanah lapang. Pertimbangannya, keindahan lampu colok akan menyedot warga untuk menikmati berbagai bentuk lampu serupa lampion dengan warna warni berbeda.

"Warga yang masih melestarikan lampu colok ini tersebar di Kabupaten Siak, Bengkalis dan Kota Pekanbaru. Di Siak dan Bengkalis biasanya dibuat dengan bentuk replika masjid," kata Bustami kepada Liputan6.com, Selasa, 12 Juni 2018.

Menurutnya, tradisi ramadan dengan penyalaan lampu colok di Kabupaten Bengkalis dipusatkan di lapangan sepak bola Desa Meskom. Melibatkan 81 ribu lampu colok berbagai bentuk dan warna. Secara umum ada 61 titik penyalaan di 10 kecamatan yang ada.

Tak mau kehilangan kearifan lokal dan atraksi budaya, lampu colok ini dilombakan oleh Dinas Pariwisata dengan hadiah puluhan juta. Tujuannya agar makin berkembang.

"Para juara akan mendapat hadiah belasan juta rupiah. Yang terendah saja, yakni juara harapan 3 mendapat hadiah Rp 10 juta," kata Bustami.

Lampu colok biasanya dinyalakan, usai salat tarawih. Jelas agar tak mengganggu yang masih salat tarawih. Begitu dinyalakan, masyarakat langsung menikmatinya. Bergembira dengan tradisi Ramadan yang sudah berumur ratusan tahun.

Simak video menarik berikut di bawah: 

2 dari 3 halaman

Makin Variatif

Ica, salah satu pengunjung menyebut bahwa ia selalu menyaksikan penyalaan lampu colok ini setiap tahunnya. Ia menyebut bahwa semakin hari kreatifitas pembuatan lampu colok semakin berkembang.

"Sejak kecil saya selalu menantikan kegiatan ini," kata Ica.

Ica seakan mewakili warga lainnya, merasa bahwa lampu colok adalah pelengkap ibadah puasa. Puasa tak hanya soal ritual, namun juga soal budaya.

"Semoga bisa bertahan sampai saya punya anak cucu, sehingga tak hanya bisa bercerita tapi juga menunjukkan keindahan lampu colok," ujarnya.

Sesepuh adat di Bengkalis, Zainuddin Yusuf menjelaskan bahwa lampu colok tiap tahunnya makin kreatif pembuatannya. Juga makin meluas penggemarnya.

"Dulu sekali sejarahnya, lampu ini dihidupkan hanya sebagai penerangan menjelang Idul Fitri. Setiap rumah menyalakan lampu colok sebagai penerangan di jalan," kata Zainuddin Yusuf.

 

3 dari 3 halaman

Mencegah Serangan Binatang

Penyalaan makin marak pada saat akhir Ramadan, warga akan pergi ke masjid ataupun amil zakat untuk membayar zakat fitrah. Malam 27 Ramadan, biasanya warga pergi membayar zakat.

"Dulu jalan bersemak, lampu ini yang menjadi penerangan di jalan yang dipasang di setiap rumah," kata pria yang juga menjabat Ketua Lembaga Adat Melayu Riau di Bengkalis ini.

Dulunya, lampu ini tak berbahan kaleng bekas ataupun botol minuman. Biasanya digunakan bambu dengan posisi vertikal dan dibuatin banyak sumbu lalu diletakkan di depan rumah. Biasanya dipasang 10 buah, sehingga ada penerangan bagi warga yang ingin membayar zakat.

"Agar aman dari gangguan binatang-binatang liar," kata Zainuddin.

Kini, lampu colok makin variatif. Warga membuat bingkai-bingkai dari bambu ataupun kayu. Biasanya berbentuk masjid ataupun lafaz Allah yang kemudian dipasang lampu.