Sukses

Kisah Sedih 'Joko Berek' di Jember, Bertaruh Nyawa demi Bertahan Hidup

Nelayan yang menumpang Joko Berek di Jember sebenarnya sudah mengetahui peringatan bahaya, tapi urusan perut menjadi pertaruhan mereka.

Liputan6.com, Jember - Kapal motor yang di Jember, Jawa Timur, disebut dengan perahu payang, bernama "Joko Berek" terombang-ambing selama satu jam di pintu masuk perbatasan laut dan sungai setempat yang dikenal sebagai Plawangan Puger.

Kejadian yang menimpa perahu payang dengan nakhoda Dirman dan para anak buah kapal terjadi pada Kamis, 19 Juli 2018. Dengan keadaan yang masih tertekan atas peristiwa itu, Dirman bercerita tentang upayanya bersama ABK yang juga nelayan tersebut bertahan selama satu jam, menunggu ombak tenang, dan tidak masuk Plawangan Puger.

"Namun tiba-tiba, ombak tinggi menerjang kapal kami hingga perahu terbalik," kata dia, dilansir Antara.

Saat kapal terbalik dan karam, ia mengaku nekat melompat dan berenang menuju tepian. Hal serupa juga dilakukan semua ABK, meskipun tidak semua bisa berenang dengan mahir di tengah ombak yang cukup besar menggulung perahu mereka.

Dirman mengaku sudah pasrah kalau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan terhadap diri dan ABK-nya. Saat itu, sudah tidak terpikir olehnya tentang harapan untuk hidup dengan selamat. Ia hanya terus berusaha berenang ke tepian, menggapai batu-batu di pinggir pantai.

Ia juga tidak tahu kondisi 21 ABK saat kapal miliknya itu terbalik. Masing-masing berusaha menyelamatkan diri dari ganasnya ombak laut selatan itu. Kapal yang terbalik itu perlahan-lahan karam bersama hasil tangkapan berupa ikan tongkol.

Dirman sebenarnya sudah tahu ada larangan berlayar atau melaut karena ada bendera hitam dipasang petugas di tepi pantai sebagai tanda cuaca buruk. Namun, ia bersama 21 ABK yang sehari-hari mencari ikan di perairan Jember tersebut membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga masing-masing.

Mereka nekat melaut untuk mendapatkan ikan yang selanjutnya dijual di Tempat Pelelangan Ikan Puger.

Dirman sempat menjalani perawatan intensif selama dua hari di Rumah Sakit Griya Puger Sehat karena mengalami luka di bagian tangan dan kaki. Kondisinya berangsur-angsur membaik sehingga ia diperbolehkan pulang.

Persoalan ekonomi yang membelit nelayan menjadi salah satu faktor penyebab para nelayan itu nekat melaut meski kondisi cuaca buruk di lautan.

Anak salah satu korban musibah itu bernama Syafii yang belum ditemukan, Saliyah, mengaku awalnya melarang bapaknya pergi melaut karena cuaca buruk. Namun, bapaknya tetap nekat melaut karena saat itu keluarga sedang membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Ia tidak menyangka musibah menerjang perahu payang "Joko Berek" yang membawa bapaknya bersama lainnya melaut untuk mencari ikan, hingga sebagian ABK terpaksa meregang nyawa di tengah ganasnya ombak laut selatan.

Anak pertama korban tersebut, mengaku tidak kuasa meminta bapaknya tidak melaut karena pekerjaan sehari-hari sebagai nelayan. Untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga itu, bapaknya mencari ikan di laut.

Keluarga korban juga menyisir ke Pantai Pancer hingga Pantai Nyamplung Kobong bersama tim SAR gabungan untuk mencari Syafii. Namun, pihak keluarga juga pasrah dengan kondisi korban yang belum ditemukan itu karena harapan hidup korban sangat kecil.

Perahu payang "Joko Berek" dihantam gelombang laut tinggi saat pulang melaut melewati pintu masuk perairan Plawangan Puger, Kecamatan Puger, Kabupaten Jember, Kamis, 19 Juli 2018, pukul 08.15 WIB.

Dalam kecelakaan laut tersebut, delapan ABK meninggal dunia dan satu ABK masih hilang, sedangkan 12 ABK dan satu nakhoda selamat. Sebanyak lima ABK ditemukan dalam kondisi meninggal dunia setelah kejadian tersebut dan empat ABK hilang terseret ombak. Namun, pada Kamis sore ABK bernama Abdul Kowi ditemukan di balik badan kapal yang karam.

Pencarian korban dilakukan oleh tim SAR gabungan dengan menyisir tepi pantai karena ombak yang cukup tinggi. Pencarian dengan menggunakan kapal tidak dilakukan demi keselamatan.

Sehari kemudian, pada Jumat, 20 Juli 2018, ditemukan lagi dua ABK Joko Berek bernama Budi dan Munaji dalam kondisi sudah meninggal dunia. Kedua jenazah ditemukan di tepi Pantai Pancer oleh nelayan.

 

 

2 dari 3 halaman

Tak Ada Manifes

Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jember Heru Widagdo mengatakan tidak adanya manifes penumpang kapal membuat pendataan korban sempat simpang siur.

"Awalnya kami mendata lima ABK yang meninggal karena sudah ditemukan dan tujuh ABK yang hilang, namun setelah ditelusuri dan melakukan konfirmasi ke sana-ke mari dengan sejumlah nelayan maka dipastikan ada empat nelayan yang hilang saat musibah terbalik dan karamnya kapal 'Joko Berek' itu," tuturnya.

Jumlah korban kapal "Joko Berek" yang meninggal menjadi delapan orang, yakni Cecep (45), warga Desa Puger Kulon, Kecamatan Puger, So'im (60), warga Desa Puger Kulon, Kecamatan Puger, Hasan (50), warga Desa Karangsemanding, Kecamatan Balung.

Selain itu, Hadi (21), warga Desa Puger Kulon, Kecamatan Puger, Ulum (35), warga Desa Puger Kulon, Kecamatan Puger, Abdul Kowi (55), warga Desa Puger Kulon, Kecamatan Puger, Budi (47), warga Desa Mojosari, Kecamatan Puger, dan Munaji (45), warga Desa Puger Kulon, Kecamatan Puger.

Korban selamat berjumlah 13 orang, termasuk nakhoda kapal, Dirman, sedangkan satu ABK atas nama Syafii, warga Desa Puger Kulon, Kecamatan Puger hingga Minggu pagi, 22 Juli 2018, belum ditemukan.

Tim SAR gabungan berusaha terus mencari dengan menyisir tepi pantai karena pencarian di laut masih terkendala cuaca buruk. BMKG Maritim Perak, Surabaya memberikan peringatan terkait dengan tingginya gelombang laut di perairan selatan Jatim dan Samudera Hindia selatan Jatim.

Berdasarkan data yang dihimpun di lapangan, seluruh ABK "Joko Berek" yang menjadi korban tersebut belum memiliki asuransi nelayan karena pemerintah daerah setempat memberikan asuransi nelayan secara bertahap.

Heru menjelaskan ada beberapa rekomendasi yang disampaikan BPBD atas kecelakaan laut tersebut, yakni kapal yang berlayar seharusnya memiliki data manifes penumpang, baik ABK maupun nakhoda.

Selain itu, kelengkapan nelayan untuk melaut harus ada standarisasi keselamatan, seperti adanya pelampung, serta dinas terkait harus memberikan sosialisasi tentang pentingnya asuransi bagi nelayan karena pekerjaan mereka memiliki risiko tinggi.

3 dari 3 halaman

Urusan Perut

Kapolres Jember AKBP Kusworo Wibowo mengatakan pihak satuan polisi perairan sudah mengimbau nelayan untuk tidak melaut karena cuaca buruk.

Petugas telah memasang bendera warga hitam di Tempat Pelelangan Ikan yang menjadi simbol bahwa cuaca buruk dan gelombang tinggi. Sebenarnya hal tersebut sudah dipahami oleh nelayan.

"Namun karena tuntutan ekonomi dan terikat dengan juragan atau 'pengambek', maka mereka terpaksa harus melaut untuk mendapatkan ikan," tuturnya.

Ia mengimbau nelayan tidak nekat melaut saat cuaca buruk karena bisa berdampak terhadap keselamatan mereka. Kecelakaan laut yang menimpa perahu payang "Joko Berek" ternyata tidak menjadi terapi kejut bagi nelayan setempat lainnya.

Saat satu korban masih belum ditemukan, sebuah perahu "Anak Manja" nekat melaut pada Sabtu, 21 Juli 2018. Perahu tersebut pun dihantam ombak besar hingga pecah.

Beruntung, empat ABK dan satu nakhoda berhasil diselamatkan oleh para nelayan dengan perahu lainnya di tengah ganasnya ombak laut selatan. Tidak ada korban jiwa dalam kecelakaan laut tersebut.

Padahal, bendera hitam masih tetap berkibar di tepi TPI Puger karena pihak BMKG juga sudah memberikan peringatan untuk tetap waspada terhadap gelombang laut di perairan laut selatan Jawa Timur yang bisa mencapai lebih dari tiga meter.

Data Satuan Polisi Perairan Jember mencatat lima kecelakaan laut terjadi sejak Januari hingga 22 Juli 2018 dengan korban meninggal dunia 11 orang, sedangkan korban terbanyak terkait dengan musibah yang menimpa perahu payang "Joko Berek".

"Kami tidak henti-hentinya memberikan imbauan kepada para nelayan untuk waspada terhadap ancaman ombak tinggi dan mengimbau tidak melaut saat cuaca buruk. Namun, kebutuhan ekonomi yang mendesak membuat mereka tetap nekat melaut," kata Kasatpolair Jember AKP Harry Pamoedji.

Kerusakan infrastruktur untuk pemecah gelombang di Plawangan Puger menjadi salah satu penyebab relatif banyak kecelakaan laut di kawasan itu. Akibat kerusakan itu, nelayan harus berjuang keras melewati pintu keluar menuju laut selatan tersebut.

Pemerintah pun seharusnya hadir untuk memberikan perlindungan keselamatan kepada nelayan, melalui asuransi nelayan dan memperbaiki infrastruktur pemecah gelombang yang sudah rusak sejak puluhan tahun tersebut.

Oleh karena nelayan tidak berdaya ketika urusan "perut" sudah berbicara, mereka nekat melaut dalam kondisi cuaca buruk sekalipun Mereka harus menghadapi tuntutan sesuap nasi untuk bertahan hidup, meskipun harus meregang nyawa.

Saksikan video pilihan berikut ini: