Sukses

Gally Magido Rangga, Pembuat Sepatu Rock N Roll yang Terpincut Cibaduyut

"Semua orang pasti ingin move on. Nah, bagaimana caranya aku jadi berkat bagi orang lain, ya ini caranya. Membuka lapangan kerja yang baru."

Liputan6.com, Bandung Sepatu, penutup bagian kaki ini sudah menjadi kebutuhan tiap orang. Meski hanya dijadikan sebagai alas kaki, sepatu ternyata bisa mewakili identitas pemakainya. Misalnya saja, pemakai sepatu boots yang memiliki penggemar khusus.

Sepatu boots yang awalnya dikenakan masyarakat Eropa di musim dingin, kini justru berpengaruh besar bagi perkembangan industri fesyen dan musik.

Membaca tren sepatu di kalangan anak muda, seorang Gally Magido Rangga pun akhirnya terjun untuk mendirikan sebuah usaha sepatu boots. Pebisnis muda berusia 35 tahun ini adalah pemilik Wayout, yang ia produksi di Bandung, Jawa Barat.

Wayout punya karakter Rock and Roll boots, dengan kekhasan desain tahun 1940-an. Merek sepatu ini terbuat seutuhnya dari material lokal dengan komposisi kulit sapi.

Meski desain klasik dan terkesan jadul, tetapi memakai sol karet sehingga tampak kasual. "Wayout punya karakter sendiri yang membedakan dengan brand lain. Seluruh bahan baku mulai dari kulit, karet sol, cetakan, hingga lem, semuanya lokal," kata Gally ditemui Liputan6.com di bengkel sepatu miliknya di kawasan Buahbatu Bandung, Rabu 25 Juli 2018.

Sebelum mengawali bisnisnya, Gally kerap mendapat pesanan berupa sepatu untuk kalangan cewek ketika akhir 2010. Tapi itu hanya berlangsung sebentar.

Sampai pada akhirnya terkumpul modal pertamanya pada Februari 2011 sebesar Rp 2 juta. Dari modal tersebut lalu ia menjual beberapa pasang sepatu boots. Hingga akhirnya pria yang tidak meneruskan kuliah selepas SMA karena keterbatasan biaya ini saat ini sudah memiliki produk sendiri yang bermerek Wayout.

"Kenapa Wayout? Itu memang artinya jalan keluar. Arti harfiahnya solusi. Mungkin itu solusi dari hidup saya yang dulu," ucapnya.

Pemuda bersahaja dengan rajah di tubuhnya itu menjelaskan sisi masa lalu dirinya. Sebelum bergelut di dunia bisnis seperti sekarang ini, Gally terbiasa hidup melakoni dunia tarik suara di jalanan.

Gally bercerita, dirinya merantau dari Poso ke Bandung medio 2000 silam. Kemudian ia berkenalan dengan Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ). Tak dinyana, perkenalan dengan KPJ menjadikannya pengamen jalanan nan urakan.

"KPJ itu menjadi guru yang luar biasa, saya 'kuliah' ya di KPJ," tuturnya.

Hari-hari Gally pada masa itu dihabiskan di jalanan yang keras. Berjumpa asap bus kota dan debu kering sudah hal biasa.

"Saya sampai sekarang masih anggota KPJ. Bisa fight sampai sekarang karena hidup di jalanan," ungkapnya.

"Lalu sekarang saya bisnis produk, di sini mental diuji. Jadi modal utama bukan uang tapi mental. Kebetulan saya selama di jalanan mental sudah terbentuk," sambungnya.

2 dari 3 halaman

Dari Tak Bisa Menggambar

Gally sang pengamen jalanan itu kini telah menjadi salah satu daftar pengusaha muda yang cukup sukses menekuni bisnis sepatu boots. Bahkan ia juga telah membuka usaha baru bernama Exodos57 yang mengusung model sneakers. Tidak tanggung para penggemar sepatu boots dan sneakers dari dalam dan luar negeri memesan produknya.

"Untuk luar negeri sudah laku di Kanada Amerika, Korea, Belanda. Di tanah air sudah hampir seluruh wilayah di Indonesia," ujarnya.

Harga sepatu yang dibanderol pun cukup beragam. Mulai dari Rp 800 ribu hingga Rp 3,5 juta.

Belum lama ini, Gally melakukan terobosan dengan kedua brand yang berbeda segmen ini dengan membuat satu produk yang berbeda dari sebelumnya. Desain terbaru ini berupa sneakers pada bagian bawah, digabungkan dengan boots di bagian atas dengan kulit belel khas Wayout.

Bahan kanvas juga disematkan di sisi samping dan sedikit kain tenun pada bagian atas khas sneakers, membuat tipe ini sangat unik dan beda dari semua model yang pernah diusung keduanya.

"Dari karakter dua brand ini sebenarnya berbeda. Tapi inovasinya kita bikin edisi khusus," ucapnya.

Selain itu, Exodos57, merek sepatu sneakers milik Gally juga pernah mencuri perhatian Presiden Joko Widodo. Sepatu yang menggabungkan kanvas, kulit dan tenun ini berhasil mejeng di pameran acara perayaan Sumpah Pemuda di Istana Bogor, Oktober 2017. Jokowi pun ikut memuji desain sepatu yang sekilas mirip Converse bergaya era 70-an itu.

Namun di balik kesuksesannya mencipta sepatu yang diminati pasar ini, Gally mengaku kali pertama menekuni sepatu dari tidak bisa menggambar sama sekali.

"Saya berangkat dari tidak punya pengalaman menggambar bahkan basic pun enggak punya. Semuanya mengalir saja," ujarnya.

Padahal, sebagai penikmat musik dan fesyen yang berbau Rock and Roll, Gally mengaku sulit mendapatkan sepatu yang ia inginkan di Indonesia. Hingga akhirnya gagasan membuat sepatu boots sendiri muncul dalam benaknya.

Dari seorang diri yang mendesain sepatu, Gally kini punya 30 perajin sendiri. Meski diakuinya, jumlah perajin sekarang tetap belum bisa memenuhi permintaan.

“Dalam satu bulan pemintaan bisa 1.300-1.500 pasang sepatu saya dapat. Tapi kalau produksi hanya bisa 500 pasang per bulan, karena kita membutnya masih free hand bukan mesin,” tutur Gally mengeluhkan.

3 dari 3 halaman

Berawal dari Cibaduyut

Gally mengakui, awal dirinya terjun ke dunia pembuatan sepatu adalah Cibaduyut. Kawasan sentra sepatu lokal Bandung yang namanya sudah harum ke mana-mana.

"Selain mengamen, saya juga belajar dari pembuat sepatu di Cibaduyut. Selama kurang lebih setahun, ikut belajar dari mereka membuat sepatu dari nol dan belajar pada karakter tiap orang dalam membuat sepatu seperti apa," kata Gally.

Pengetahuan tentang membuat sepatu sedikit demi sedikit mulai merasuk dalam diri Gally. Sebagai orang yang merasa terbantu dan mendapat ilmu persepatuan dari Cibaduyut, ia tidak melupakan masa lalunya. Keberadaan perajin sepatu yang mulai berkurang, Gally pun mencoba melakukan terobosan.

Hal itu ia lakukan dengan awalnya membawa dua orang perajin sepatu dari Cibaduyut, hingga kini puluhan perajin telah bekerja di bengkelnya. Keputusan tersebut diambil Gally agar perajin muda lahir dan tidak berhenti di generasi tua semata.

"Semua karyawan dari Cibaduyut mulai dari bapak, anak sampai cucu. Kita bisa lihat sekarang ini pembuat sepatu mulai langka. Makanya saya coba rangkul yang muda mulai dari anak cucu mereka. Tujuannya hanya satu, mengangkat harkat perajin lokal," tegasnya.

Keberlanjutan para perajin lokal menurutnya sangat penting. Bahkan orang yang tidak mengenal dunia sepatu pun dia libatkan untuk belajar memahami pembuatan sepatu.

"Semua orang pasti ingin move on. Nah, bagaimana caranya aku jadi berkat bagi orang lain ya ini caranya. Membuka lapangan kerja yang baru," ucapnya.