Sukses

Dua Film Berlatar Peristiwa 1965 Berjaya di FFP 2018

Mereka tak mau terusir dari tanahnya. Entah apa dasarnya, lantas mereka difitnah sebagai keturunan PKI.

Liputan6.com, Purbalingga - Ribuan masyarakat di kawasan Urut Sewu, pesisir selatan Kebumen, Jawa Tengah terlibat dalam konflik agraria. Belakangan, di antara mereka ada yang dituduh sebagai keturunan anggota Partai Komunis Indonesia atau PKI.

Syahdan, tersebut sepasang suami istri, Yono dan Siti, yang menjadi bagian dari ribuan warga Urut Sewu yang tanahnya terampas. Mereka menjadi saksi, sekaligus korban konflik agraria yang tak kunjung usai.

Tanah yang selama puluhan tahun digarap secara turun-temurun itu terancam hilang lantaran disengketakan antara petani dengan TNI.

Keluarga kecil ini melawan. Mereka tak mau terusir dari tanahnya. Entah apa dasarnya, lantas mereka difitnah sebagai keturunan PKI.

Sang suami, Yono, patah semangat. Lantaran intimidasi hingga ditangkap aparat, ia tak mampu bertahan di tanah yang disengeketakan. Ia mengajak istrinya, Siti, pindah.

Tetapi, Siti yakin suaminya, Yono, tak bersalah. Penangkapan Yono menurut Siti adalah fitnah akibat konsekuensi rumit sengketa tanah antara petani dengan TNI.

Siti kukuh pendirian. Ia bertekad tetap tinggal dan bercocok tanam di tanah yang disengketakan itu. Kekuatan mentalnya laksana batu-batu karang di laut selatan.

Itu adalah gambaran cerita film fiksi berdurasi 10 menit tentang konflik agraria diwarnai tuduhan PKI berjudul "Melawan Arus" yang disutradarai oleh Eka Saputri, siswa SMK Negeri 1 Kebumen. Film fiksi ini berdasarkan riset konflik tanah di kawasan Urut Sewu, Kebumen.

Film Melawan Arus terpilih menjadi fillm terbaik kategori fiksi dalam Festival Film Purbalingga atau FFP 2018. Sebelumnya, film tentang orang yang dituduh keturunan PKI ini juga menyabet penghargaan sebagai Film Fiksi Pendek Pelajar Terbaik di Malang Film Festival (Mafifest) 2018, April lalu.

2 dari 3 halaman

Keberanian Pelajar Mengangkat Isu Sensitif

Salah satu Juri film fiksi FFP Purbalingga 2018, Teguh Trianton mengatakan film Melawan Arus berhasil mengeksplorasi sisi-sisi psikologis penonton. Film ini juga bisa menjadi bahan renungan, sekaligus pertanyaan dari persoalan yang terjadi sesungguhnya.

"Film ini dapat menyisakan perenungan yang dalam dan menyisakan pertanyaan yang jawabannya dapat dicari di luar film" katanya. dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Minggu, 5 Agustus 2018.

Adapun dewan dewan juri di Mafifest 2018, Lulu Ratna berpendapat Film Melawan Arus dipilih karena mampu mengoptimalkan bahasa visual meski masih menyisakan pesan verbal. Konten film yang diangkat dinilai berani.

"Dan menguji kepekaan setidaknya bagi pembuat film seusia pelajar," ucap Lulu, di waktu berbeda.

Sutradara Film Melawan Arus, Eka Saputri mengakui, film yang disutradarainya ini terinspirasi dari film kakak kelasnya yang pada 2017 lalu menggarap film dokumenter pendek tentang petani Urut Sewu. Film garapan siswa SMK Negeri Kebumen ini pun menjuari Mafifest 2017 dalam kategori Dokumenter Pendek Pelajar.

Ia ingin mewujudkan ide itu dalam genre berbeda. Bagi Eka, film ini bakal mengingatkan khalayak bahwa perjuangan petani Urut Sewu masih berlanjut. Dalam perjuangan itu, terselip peran penting perempuan yang turut melawan.

"Kami berharap film kami dapat menginspirasi penonton bagaimana keberanian masyarakat petani di Urut Sewu dalam mempertahankan hak atas tanah," Eka menambahkan.

Tak hanya Film Melawan Arus yang berjaya pada FFP 2018. Film dengan warna kelam 1965, "Sum" juga menyabet penghargaan sebagai film terbaik pada kategori film dokumenter.

Film yang diproduksi oleh SMA Negeri 2 Purbalingga ini disutradarai oleh Firman Fajar Wiguna produksi. Berdurasi 15 menit, film ini bercerita tentang perempuan bernama Suminah, yang merupakan bekas aktivis Barisan Tani Indonesia (BTI) yang diketahui berafiliasi dengan PKI.

3 dari 3 halaman

Potret Kehidupan Suram

Setelah menghuni penjara selama 13 tahun, Sum hidup dalam kesendirian. Usai bebas, ia tercampak dan terbuang. Namun, Sum terus memupuk harapan berbaliknya realita zaman.

Dalam catatan dewan juri dokumenter, film "Sum" tersusun dengan pilihan-pilihan gambar yang estetis dan rangkaian penuturan informasi yang jelas. Sebagai upaya komunikasi visual, film ini dinilai memperkaya bahasa tentang sejarah nasional melalui perspektif lain.

"Perspektif akar rumput sekaligus korban yang terdampak oleh ekses pertarungan politik di tingkat nasional," ucap Adrian Jonathan Pasaribu, salah satu juri.

Kesuksesan film Melawan Arus dan Sum ini seolah mengulang kejayaan film-film berlatar 1965 yang juga sempat merajai event yang sama, dua tahun sebelumnya, pada 2016. Dua film tersebut yakni, "Kami Hanya Menjalankan Perintah, Jenderal!" dan "Izinkan Saya Menikahinya".

Bahkan, pada tahun yang sama, dua film ini juga memenangi ajang Apresisasi Film Indonesia (AFI) 2016, Pusat Pengembangan Perfilman, Sekretariat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia bekerjasama dengan Badan Perfilman Indonesia.

Direktur FFP, Bowo Leksono menambahkan, dalam FFP 2018, film fiksi favorit penonton dimenangkan film "Umbul-Umbul" sutradara Atik Alvianti, produksi SMK HKTI 2 Purwareja, Klampok, Banjarnegara. Adapun Film Dokumenter Favorit Penonton berpihak pada "Warisan Tak Kasat Mata" sutradara Sekar Fazhari dari SMA Negeri Bukateja Purbalingga.

Sementara, Penghargaan Lintang Kemukus 2018 Banyumas Raya dianugerahkan kepada R Soetedja (1909-1960), seorang komposer asal Banyumas dan Grup Musik Kamuajo. Ia dianugerahi penghargaan Lintang Kemukus kategori seni dan budaya kontemporer.

Pemerintah Daerah Kabupaten Purbalingga berkomitmen terus mendukung perfilman dan festival film di Kabupaten Purbalingga. Plt. Bupati Purbalingga Dyah Hayuning Pratiwi mengapresiasi kegiatan ini karena mampu memicu prestasi generasi muda.

"Selain sebagai ajang silaturahmi, kegiatan perfilman juga menjadi ajang menorehkan nama baik kabupaten masing-masing dengan prestasi," kata Tiwi, pada malam puncak penganugerahan FFP 2018, 4 Agustus 2018.

 

Simak video pilihan berikut ini: