Liputan6.com, Lombok Utara - Petani di Desa Rempek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, mengeluhkan anjloknya harga kelapa di saat mereka membutuhkan uang untuk keperluan hidup pascagempa bumi yang merobohkan rumahnya.
"Harga kelapa sangat murah sekali, hanya Rp 500 per butir. Itu belum dipotong ongkos petik Rp 300/butir. Kalau sebelum gempa mencapai Rp 3.000/butir," kata Wiwin, salah seorang petani yang ditemui di lokasi pengungsian Posko Utama Lapangan Umum Desa Rempek, Lombok Utara, Senin, 13 Agustus 2018, dilansir Antara.
Menurut dia, anjloknya harga kelapa disebabkan tidak ada pembeli, terutama pedagang yang biasa mengirim kelapa ke Surabaya, Jawa Timur, sejak satu bulan terakhir.
Advertisement
Kondisi tersebut diperparah dengan kejadian gempa bumi berkekuatan 7 pada Skala Richter (SR) pada Minggu, 5 Agustus 2018. Bencana alam tersebut merusak banyak bangunan, termasuk pabrik kopra di Lombok Utara, yang banyak menyerap kelapa dari petani.
Baca Juga
"Kalau ada yang berani membeli dengan harga Rp 2.000/butir, tetap berani orang memanjat petik kelapa meskipun masih sering gempa. Tapi sekarang harganya hanya Rp 500 dan belum dipotong ongkos petik," tutur Wiwin.
Kepala Dusun Dasan Banjur ini mengaku memiliki lahan kelapa seluas 1,5 hektare. Biasanya panen dilakukan setiap tiga bulan sekali. Namun karena harga yang relatif rendah, buah kelapa dibiarkan mengering di pohonnya dan jatuh ke tanah dengan sendirinya.
"Kalau petik dalam bentuk kelapa muda memang masih menguntungkan karena harga relatif mahal. Tapi akan merusak pohonnya, makanya saya tidak pernah menjual kelapa muda," ucap Wiwin yang juga sibuk mengurus warganya di pengungsian.
Tidak hanya mengeluhkan harga kelapa yang anjlok. Para petani di Desa Rempek, juga kesulitan menjual komoditas hasil perkebunan, seperti biji jambu mete, biji kakao dan kacang tanah.
"Setelah gempa besar terjadi, tidak ada pembeli yang datang ke desa. Aktivitas jual beli komoditas benar-benar mati saat ini, meskipun barang ada," ujar Wiwin sambil menegaskan bahwa komoditas perkebunan merupakan andalan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari warga di desanya.
Kepala Dusun Telaga Maluku Suriadi Narmanto (43), menambahkan para petani kacang tanah di daerahnya juga merugi karena hasil panen yang tidak sesuai harapan. Ia mencontohkan, lahan seluas setengah hektare milik salah seorang petani hanya menghasilkan 200 kilogram kacang tanah.
Padahal, potensinya bisa satu hingga dua ton jika mendapatkan air yang cukup.
"Boleh dibilang gagal panen karena sawah yang ditanami kacang tanah tidak mendapatkan air yang cukup pada musim kemarau tahun ini," kata Suriadi sambil menunjuk sawah ditanami kacang yang belum dipanen pemiliknya karena mengungsi akibat gempa Lombok.
Saksikan video pilihan berikut ini: