Sukses

Cara Cerdas Petani Banyumas Manfaatkan Sungai di Musim Kemarau

Petani menanam beragam sayuran dan umbi di sungai yang mengering akibat kemarau panjang ini.

Liputan6.com, Banyumas - Musim kemarau panjang ditandai dengan sumur-sumur warga yang mengering, berkurangnya debit mata air dan putusnya aliran sungai. Kondisi ini juga terjadi di Sungai Dermaji yang melintas di Desa Cingebul Kecamatan Lumbir, Banyumas, Jawa Tengah.

Kemarau juga menyebabkan lahan pertanian mengering. Tanah sawah retak-retak, ladang pun gersang tanpa suplai air. Petani merana lantaran tak bisa bercocok tanam.

Di sisi lain, aliran sungai yang mengecil menciptakan tanah lapang berpasir nan luas. Tersedia lahan tidur yang amat potensial.

Bagi petani, hamparan lahan luas yang berdekatan dengan sumber air adalah berkah. Di musim kemarau panjang ini, mereka mulai menanam beragam sayuran dan umbi di sungai yang mengering ini.

Salah satu warga Cingebul yang memanfaatkan bantaran sungai yang kering di musim kemarau ini adalah Tosiyah (45). Saat bertemu dengan Liputan6.com, ia tengah menyirami beragam sayuran yang ditanamnya di pinggir sungai.

Di hamparan pasir sungai kering akibat kemarau panjang ini, Tosiyah menanam ubi jalar, disebut Boled dalam bahasa lokal, bayam, cesin, kangkung dan kacang panjang. Hamparan sayuran yang ditanamnya membuat pinggiran sungai yang tadinya gersang berpasir berubah menghijau.

* Update Terkini Asian Games 2018 Mulai dari Jadwal Pertandingan, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Pesta Olahraga Terbesar Asia di Sini.

Saksikan video pilihan berikut ini:

2 dari 2 halaman

Bercocok Tanam di Sungai, Bertaruh dengan Musim

Ia mengaku tak berharap banyak dari tanamannya. Ia menyebutnya hanya untuk memanfaatkan lahan tidur. Setelah dibagi ke tetangga, sisanya, baru dijual. Lagipula, di musim kemarau, kebanyakan petani memang menganggur.

"Ya, untuk dikonsumsi sendiri. Kalau ada lebihnya ya syukur, mungkin bisa dijual," ucapnya.

Sepanjang mata memanjang, aliran Sungai Dermaji ditumbuhi beragam sayuran dari warga lainnya. Nun di hulu sungai, sekitar satu kiilometer Tosiyani bercocok tanam, Yati juga bertani di pinggiran sungai.

Bedanya, ia menanam kacang tanah sebagai komoditas utama. Ada pula mentimun, kacang panjang dan kacang tunggak.

Namun, khusus kacang tanah, nampaknya ia bertaruh dengan musim. Kini, kacang tanahnya baru berumur 1,5 bulan. Ini berarti baru bisa dipanen pada awal Oktober, atau setidaknya akhir September.

Padahal, Oktober disebut sebagai Mangsa Kapat, atau datangnya musim penghujan. Banjir mengancam tanamannya sewaktu-waktu. Tentu debit sungai akan kembali normal dan menenggelamkan tanaman yang memang berada di tengah aliran sungai dalam kondisi normal.

Ia hanya berharap, saat musim hujan tiba, tanamannya sudah cukup usia untuk dipanen. Berkah melimpah dari sungai kering pun akan dinikmatinya beserta keluarga.

"Moga-moga sudah rampung,"ucap Yati, berharap.

Barangkali sikap rendah hati yang ditunjukkan Tosiyah dan Yati ini berasal dari tempaan alam dan pengalaman berpuluh tahun menjadi petani. Bagi mereka, alam menyediakan kesempatan, manusia hanya sekadar berupaya memanfaatkan.

Di luar urusan teknis, kehendak manusia tak mesti berbanding lurus dengan mau alam semesta. Sisanya, petani, mesti berserah diri kepada Tuhan yang punya kuasa atas segalanya.