Liputan6.com, Banjarnegara - Riuh rendah ratusan warga Pagak, Kecamatan Purwareja Klampok, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah mendadak berubah hening tatkala seluruh lampu dimatikan. Dari kegelapan, muncul seberkas sinar obor yang lantas diikuti oleh obor-obor lainnya.
Lantas, sayup gending mengalun di malam sakral 1 Sura yang dipusatkan di tanah lapang pojok desa, Senin malam. 10 September 2018. Ratusan warga pun hanyut dalam syahdunya gendhing Jawa ini. Kemudian, perlahan, lampu-lampu kembali dinyalakan seperti sedia kala.
Sawah menjadi pusat perekonomian warga yang membuat hidup mereka terus berlanjut. Sebagian besar warga memang berprofesi sebagai petani.
Advertisement
Tanah sawah dipilih sebagai pusat prosesi peringatan malam 1 Sura, sekaligus untuk mengingatkan welas asih Tuhan kepada masyarakat dengan berkah melimpah untuk warga. Tempat ini, mewakili budaya agraris yang masih kental.
Baca Juga
"Kegiatan ini untuk mensyukuri nikmat Tuhan atas hasil bumi yang melimpah," kata kata pengelola Desa Wisata Pagak, Pradikta Dimas, Senin malam.
Acara bertajuk 'Hening Gending Tengah Sawah' ini dimulai dengan Gluntang atau menabuh kentongan bersama hingga berdentang. Tenong berisi nasi plus lauk jadi kepungan spesial warga yang tengah meninggikan rasa syukur ini.
Kemudian, warga mengheningkan cipta, untuk mendoakan leluhur. Warga dipimpin pemuka adat menjamas pusaka dan baju Antakusuma milik leluhur. Pusaka itu kemudian diarak keliling kampung.
Kirab ini hanya lah bagian dari ritus warga dalam rangkaian kegiatan. Puncaknya adalah alunan gending Jawa yang menggambarkan renungan panjang fase kehidupan panjang manusia di malam 1 Sura.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Gending Mewakili Fase Kehidupan Manusia
Perjalanan hidup manusia ditandai dengan fase-fase mulai lahir, tumbuh dewasa, masa tua dan kematian yang pasti. Gending tak sekadar kombinasi suara seperangkat gamelan. Lebih dari itu, alunannya mewakili perjalanan panjang hidup manusia.
Pemrakarsa Hening Gending Tengah Sawah, Sidin Atma Sudirja menerangkan, Gending atau karawitan jadi kegiatan inti dalam prosesi peringatan 1 Muharam atau Sura. Alunan kidung Jawa menambah sakralitas malam yang dikeramatkan sebagian masyarakat Jawa itu.
Gending bukan sekadar hiburan yang kering arti. Setiap kidung yang dilantunkan berisi ajaran positif jika dihayati.
Karena itu, sebelum kidung didendangkan, pemuka adat menafsirkan setiap tembang yang mengisahkan perjalanan hidup manusia hingga mati. Setiap tembang memiliki watak masing-masing yang mewakili fase perjalanan hidup manusia.
Dia mencontohkan, tembang Maskumambang misalnya, berarti mengambang, menggambarkan bayi yang masih mengambang di perut ibunya.
Mijil berarti muncul atau keluar yang menggambarkan kelahiran bayi. Karena itu, watak lagu ini berciri kasih sayang.
Lantas, Sinom berarti muda yang menggambarkan cerita masa muda yang indah, penuh harapan dan angan-angan. Sebab itu, watak lagu ini renyah dan ceria.
Advertisement
Renungan Jatidiri hingga Saat Kematian Tiba
Kinanthi berarti tuntunan yang menggambarkan masa pembentukan jatidiri dan meniti jalan menuju cita-cita. Ini lah fase ketika remaja beranjak dewasa.
“Asmarandhana berarti cinta yang menggambarkan masa manusia dirundung asmara,” Sidin menerangkan.
Dari Asmaradana, lantas gending berlanjut pada Gambuh, yang berarti cocok dan menggambarkan komitmen manusia yang sudah siap berumah tangga.
Kemudian, Dhandanggula berarti kesenangan yang menggambarkan keberhasilan membina rumah tangga dan cita-cita yang tercapai.
Durma berarti sedekah yang menggambarkan wujud rasa syukur kepada Allah atas anugerahnya. Pangkur berarti menjauhi atau menyingkirkan nafsu angkara yang menggerogoti jiwanya.
Megatruh atau dalam bahasa jawa "megat ruh" berarti keluarnya ruh yang menggambarkan terlepasnya roh atau kematian manusia. Karena itu, watak lagu ini nglara atau sedih.
Pocung atau dalam bahasa Jawa "pocong" menggambarkan kematian manusia sebelum disalatkan, dan siap dikuburkan. Ini lah fase akhir hidup manusia, ketika ia berpisah dari ingar bingar kehidupan dunia.
"Personil gending lengkap sekitar 17 orang. Alat yang digunakan terdiri dari Kendang, Demung, Saron, Peking, Bonang Barung, Bonang penerus, Gambang, Gender, Slentem, Ketuk, dan Gong,” Sidin menerangkan.