Liputan6.com, Bali - Penyelenggaraan Konferensi Asia Pasifik ke-12 tentang Pengendalian Tembakau (APACT12th), 13-15 September 2018 di Bali ternyata membuat para petani di industri kretek gelisah.
Menurut Suseno dari Asosiasi Petani Tembakau Indonesia, saat ini Industri Hasil Tembakau (IHT) tertekan. Kampanye antitembakau tidak fair dan memberi stigma negatif.
Advertisement
Baca Juga
"Yang paling menyesatkan adalah labeling IHT menjadi penghalang bagi keberlangsungan program SDG’s (Sustainable Development Goals) di Indonesia," kata Suseno dalam siaran pers yang diterima Liputan6.com, Jumat (14/9/2018).
Menurut Suseno, secara faktual IHT menjadi bukti bahwa petani tembakau dan petani cengkeh berasal dari desa. Mereka makmur dan ikut membangun Indonesia dari pinggiran.
"Perkebunan tembakau tersebar di 15 provinsi, sementara perkebunan cengkeh ada di 30 provinsi. Mayoritas perkebunan itu adalah milik rakyat, bukan industri," kata Suseno.
Sementara itu Ketut Budiman dari Asosiasi Petani Cengkeh Indonesia menyebutkan bahwa tanaman cengkeh terbanyak diserap oleh industri kretek. Cengkeh merupakan campuran tembakau yang hanya ada di Indonesia.
"Jika peredaran tembakau dikendalikan, industri kretek dimatikan, jelas petani cengkeh terdampak," kata Ketut Budiman.
Simak video menarik berikut di bawah :
Penjajahan Baru
Aditia Purnomo (Komunitas Kretek) dan M. Nur Azami (Komite Nasional Pelestarian Kretek) menyebutkan bahwa FCTC adalah neokolonialisme. Dengan bentuk perjanjian internasional, FCTC bertujuan untuk mematikan Industri Hasil Tembakau.
"Ada 38 butir pasal yang secara eksplisit mengatur pelarangan penyebaran produk hasil tembakau. Kretek itu budaya, bukan sekadar industri," kata Aditia.
Penyelenggaraan APACT12th dituding beragenda penghancuran salah satu komoditas strategis nasional, yaitu Industri Hasil Tembakau.
"Itulah sebabnya kami bersama-sama menolak keberadaan dan semua produk yang dihasilkan dari penyelenggaraan APACT12th. Kami juga menolak tafsir tunggal antitembakau terhadap SDG’s. Karena menuding bahwa IHT menjadi penghalang tercapainya tujuan SDG’s," kata M.Nur Azami.
Penolakan para pemangku kepentingan itu disertai harapan agar pemerintah melindungi dan memaksimalkan potensi IHT sebagai wujud tercapainya agenda prioritas Nawa Cita dan tujuan SDG’s. Kebijakan terkait dengan perjanjian industri tembakau, diminta agar melibatkan pemangku kepentingan (stakeholder) IHT.
"Intinya, kami menolak segala bentuk intevensi asing yang bertujuan untuk mengaksesi FCTC karena itu mengancam keberlangsungan IHT. Mudah-mudahan masyarakat tak terjebak gerakan antitembakau untuk menghancurkan kedaulatan nasional," kata Nur.
Advertisement