Liputan6.com, Jakarta Lama akrab dengan geladak kapal, gelombang tinggi, dan navigasi yang hanya mengandalkan matahari, Tana Beru ialah Butta Panrita Lopi, kawasan yang banyak dihuni pelaut dan pembuat perahu tangguh.
Semangat pagi masyarakat Tana Beru seolah mendorong nyali untuk mengembangkan layar di tengah lautan. Hidup dan berkembang dalam tradisi bangsa maritim, Tana Beru menjadi pusat pembuatan perahu pinisi di Indonesia.
Masyarakat Tana Beru yang tinggal di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan, menggunakan kayu besi sebagai bahan utama pembuatan Pinisi. Dengan mesin potong dan perkakas lainnya, dua tiang utama didirikan untuk menyangga tujuh layar yang digunakan sebagai pendorong gelak laju.
Advertisement
Zulfikar, salah seorang pekerja pembuat pinisi, saat ditemui Tim Liputan6.com mengungkap, secara umum ukuran panjang pinisi mencapai 20 meter, yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian atas, bagian utama, dan bagian bawah.
Bagian atas merupakan tempat bagi terkembangnya layar, sedangkan bagian utama terdiri dari ruang kemudi dan kamar tidur, bagian bawahnya terlapisi fiber untuk menahan derasnya arus laut. Mampu mengangkat beban hingga 30 ton, pinisi sejak dulu digunakan sebagai moda transportasi massal selain juga digunakan untuk ekspedisi perdangan.
Baca Juga
Pinisi jenis tradisional ini dikenal dengan nama Palari. Ciri khas pinisi ini terletak pada bentuk lunasnya yang melengkung, selain masih menggunakan layar sekunder sebagai pendorong gerak laju perahu.
Seiring perkembangan zaman di kawasan ini juga diproduksi pinisi jenis Lambo, yang sudah menggunakan motor diessel sebagai pendorongnya.
Proses pembuatannya pun tidak main-main, untuk jenis Lambo misalnya, dibutuhkan sekitar 20 pekerja. Lamanya pengerjaan bahkan tidak bisa diprediksi, namun dapat dipastikan pembuatan pinisi selalu menghabiskan waktu lama, paling sebentar sekitar satu tahun. Tak heran jika harga satu pinisi bisa mencapai Rp 2 miliar.
Tak hanya itu, menurut pengakuan Zulfikar, pembuatan pinisi juga harus diawali dengan ritual. Ritual awal ditandai dengan seorang pawang perahu memotong lunas, yaitu bagian dasar pembuatan perahu.
Dalam ritual disediakan sesajen berupa makanan yang manis-manis dan memotong seekor ayam putih. Makanan yang manis merupakan simbol harapan agar perahu yang hendak dibuat akan mendatangkan hoki bagi pemiliknya, sementara darah ayam yang ditempelkan pada lunas merupakan simbol agar tidak terjadi kecelakaan saat pembuatan perahu.
Tapi yang menarik, ada ritual-ritual tertentu lagi yang harus dilakukan setelah perahu selesai dikerjakan. Setelah itu, perlu waktu sebulan untuk menggerek perahu dari bibir pantai menuju ke laut lepas. Berminat membeli?
Simak juga video pilihan berikut ini: