Liputan6.com, Yogyakarta - Menikmati kopi dengan menyeruput atau meminumnya dari gelas serta cangkir sudah biasa. Ada cara lain yang belum biasa yakni mengenakan kopi.
Jangan dibayangkan mengenakan kopi seperti memakai pakaian. Yudhi Prasetyo memperkenalkan cara baru menikmati kopi tanpa diseruput melalui aksesori gelang yang dibuatnya.
Lelaki kelahiran 27 tahun silam ini justru mendapat inspirasi membuat gelang biji kopi dari teman sekantornya beberapa tahun lalu. Ketika itu, Yudhi masih berstatus sebagai karyawan sebuah perusahaan e-commerce di Jakarta.
Advertisement
"Ada dua programmer yang sangat suka aroma kopi tetapi mereka tidak bisa minum kopi karena asam lambung tinggi," ujar anak kedua dari tiga bersaudara ini kepada Liputan6.com akhir pekan lalu.
Baca Juga
Lantas ia berpikir, dapatkah biji kopi dapat dinikmati orang tanpa harus dikonsumsi secara langsung. Yudhi yang menyukai aksesori gelang pun terinspirasi merangkai gelang dari biji kopi.
Namun, upaya itu tidak langsung terwujud. Ia berusaha keras mencari tahu bagaimana cara mengeluarkan aroma kopi dan membuatnya tahan lama.
Yudhi mencoba berkonsultasi dengan salah seorang temannya, seorang petani di Empat Lawang, Sumatera Selatan.
"Saya penasaran, bisa tidak green bean atau biji kopi mentah dibikin keras dan dinikmati orang aromanya," tuturnya.
Ia mulai melakukan uji coba. Biji kopi digoreng untuk mengeluarkan aroma. Tidak langsung berhasil, setidaknya ia enam kali melakukan percobaan dan gagal sampai akhirnya menemukan komposisi yang pas.
Ia menerapkan kopi dengan medium roast supaya aroma keluar. Biji kopi harus selalu diamati dengan durasi dan panas yang sudah ditetapkan. Kalau kelamaan pada proses roasting, biji kopi justru berbau sangit.
Simak video pilihan berikut ini:
Omzet Ratusan Juta Rupiah per Bulan
Yudhi mengawali bisnisnya dengan modal Rp 1,5 juta. Ia merangkak dari nol. Pada November 2015, ia menamai produknya Gelang Kopi.
Kopi Kreatif atau Koke muncul ketika ia hendak mematenkan produknya. Oleh sang notaris, ia diminta mencari nama yang merepresentasikan produk turunan kopi. Akhirnya tercetuslah nama itu pada Juli 2016.
Ada sembilan produk turunan kopi yang dihasilkan Koke, meliputi, gelang, tasbih, rosario, kalung, kancing, anting-anting, pewangi kopi untuk mobil, parfum, dan fresh roll on aromatherapy. Harga jual bervariasi mulai dari Rp 35.000 sampai Rp 150.000.
Dalam satu bulan ia membutuhkan satu ton green bean untuk produksi. Omzet yang diraupnya pun tidak kalah mencengangkan, yakni hampir setengah miliar rupiah per bulan.
Saat ini, ia memproduksi Koke di dua tempat, Prambanan dan Bantul. Ia sengaja tidak memiliki showroom untuk memasang produknya dan memilih berjualan secara online. Jumlah pekerjanya sekarang sebanyak 16 orang.
Pemasaran juga melibatkan agen di sejumlah kota. Ada 15 kota di seluruh Indonesia yang menjadi sasaran distribusi Koke, antara lain, Jakarta, Tangerang, Bali, Papua, Gorontalo, Kendari, Makassar, Balikpapan, Semarang, Kudus, Purwokerto, Malang, Ngawi, Bondowoso, dan Jember.
"Sebagian juga jual titip di kafe, hotel, dan kami juga bersinergi dengan BUMN, seperti PT KAI," kata Yudhi.
Â
Advertisement
Menjual Nilai dan Konsep
Koke tidak sekadar menghasilkan produk turunan kopi, melainkan juga menjual nilai dan konsep kepada konsumen.
Biji kopi diambil dari petani kopi di Temanggung dan Sumatera. Uniknya, green bean yang digunakan tidak harus kualitas nomor satu.
Yudhi tidak segan mengambil green bean yang rusak, selama aroma kopinya masih ada. Hal itu membuatnya disenangi petani karena biji kopi yang tidak layak jual bisa terakomodasi.
Pengemasan produk Koke juga dipikirkan secara matang, yakni memakai kantung dari goni. Menurut Yudhi, jodoh green bean adalah karung goni.
Kemasan berbentuk pouch itu juga berguna untuk mengembalikan aroma kopi. Misal, gelang biji kopi bisa awet sekitar 1,5 bulan jika tidak terkena air. Apabila aromanya mulai hilang, gelang bisa disimpan di dalam pouch goni yang sudah dilengkapi biji kopi.
"Konsumen tinggal menambahkan sedikit bubuk kopi ke dalamnya dan membiarkan semalaman, aromanya bisa kembali walaupun tidak sekuat di awal pembelian," ujarnya.
Keberhasilan Yudhi tidak datang begitu saja. Semasa kuliah ia sudah ulet dan rajin bekerja, terlebih di pertengahan kuliah ia harus membiayai kuliahnya sendiri.
"Saya pernah kerja jadi barista, tukang ojek, apa saja saya lakoni untuk bertahan hidup ketika itu," ucap anak nomor dua dari tiga bersaudara ini.