Liputan6.com, Purwokerto - Keheningan malam rumah sederhana di Purbalingga, Jawa Tengah, itu tiba-tiba pecah oleh teriakan kesakitan Sulemi (78). Lagi-lagi, eks prajurit Cakrabirawa itu kembali bermimpi buruk.
Sang istri, Sri Murni, tergopoh-gopoh membangunkan suaminya. Terkadang, kakek dan nenek ini memang tak selalu tidur sekamar.
Sejak awal menikahi Sulemi, Sri Murni sadar tak hanya sekadar mencintai seorang prajurit. Lebih dari itu, ia mesti bersahabat dengan masa lalu suaminya yang penuh dengan duri.
Advertisement
"Kalau tidur itu teriak-teriak. Saya kan tidur sendiri, bapak di sini. Kalau istilahnya direp-repi. Sampai sekarang, saya jadi heran. Itu ya, seminggu dua kali. Teriak-teriak," ucap Sri Murni kepada Liputan6.com, akhir 2017 lalu.
Satu hal yang membuat Sri tahu betapa menderitanya Sulemi, yakni sejak awal menikah hingga saat ini, Sulemi kerap mengigau. Kadang, Sulemi berteriak kesakitan. Di lain waktu, hanya teriakan yang tak jelas.
Dan itu sering terjadi. Setidaknya mimpi buruk itu datang sepekan dua kali. Belakangan, Sri tahu, suaminya benar-benar mengalami trauma akibat penyiksaan dalam penahananannya selama di penjara usai dituduh terlibat G30S PKI.
Baca Juga
Sulemi adalah bekas prajurit Batalyon 1 Kawal Kehormatan Cakrabirawa, kesatuan elite pengawal Presiden Soekarno, dengan komandan Letkol Untung.
Belakangan, ia memang tergabung dalam pasukan Pasopati, yang bertugas menjemput Jenderal AH Nasution. Situasi politik membuatnya dituduh terlibat intrik politik hingga berakhir penyiksaan luar biasa kejam selama di penjara.
Sulemi pun mengakui, ingatan dan trauma penyiksaan selama di tahanan kerap mendatanginya saat tertidur. Terutama, kala dijemput oleh seregu petugas penjara militer. Tiap dijemput, ia tahu, sepulangnya nanti akan disiksa sampai tubuhnya remuk.
Tulang belikat, kaki, dan pinggangnya patah. Tubuhnya penuh dengan bekas sundutan rokok, luka karet yang dibakar, setrum, hingga kuku yang dicopot dengan tang. Mimpi itu secara berkala terus menghantuinya.
Tiap hari di tahanan bagi Sulemi bak neraka. Itu dialaminya pascapemindahan penahanannya dari Pomdam Diponegoro ke Salemba. Sembari menunggu Mahmilub, ia disiksa habis-habisan. Mantan prajurit Cakrabirawa ini dipaksa mengaku sebagai anggota PKI.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Vonis Mati untuk Prajurit Cakrabirawa
Sulemi tentu tak mengaku. Ia mengakui terlibat menculik Jenderal Nasution. Dan itu pun lantaran dia diperintah oleh komandannya, Letkol Untung dan Letnan Satu Dul Arif, atasannya. Soal politik yang melatarbelakangi kejadian itu, Sulemi tak tahu menahu.
"Saya seorang militer. Tugas saya ya ini. Nah, suatu saat, saya dipaksa, akan dibaptis sebagai seorang komunis. Mana mungkin saya mengaku. Saya dalam umur segitu kok, mau berkecimpung dalam soal ideologi, dan partai," Sulemi menegaskan.
Tentara-tentara yang memeriksanya itu, berupaya meruntuhkan pertahanan Sulemi. Sulemi dipukul dengan kursi kayu, jempolnya diganjal dengan kursi, disetrum, hingga dicabut kukunya.
Tiap kali diperiksa, Sulemi harus ditandu ke selnya. Dan itu diterimanya sepanjang tahun, dua kali seminggu. Asal kondisi tubuhnya mulai pulih, penyiksaan kembali dilakukan.
"Kalau toh saya harus dihukum mati, itulah risikonya. Tapi kalau saya mati dalam keadaan penasaran (mengaku PKI) lebih baik saya mati. Mati dalam penyiksaan daripada harus mengaku PKI," ucap Sulemi.
Satu-satunya yang menjadi sumber kekuatan untuk bertahan adalah kuasa Tuhan. Ia pun yakin, doa ibunya di Purbalingga selalu menyertainya. Harapan bisa berkumpul dengan istri dan anak semata wayangnya pun menjadi kekuatan yang tiada tara.
Selama dua tahun sebelum menghadapi Mahmilub, dia makan nasi berkutu dengan jumlah yang amat sedikit. Di atas nasi itu, ditaruhlah lauk berupa sepotong ikan asin. Sementara, minumnya diambil dari selokan di dalam penjara, disedot dengan selang batang daun pepaya.
Siksaan dan berbagai perlakuan kejam itu baru berakhir kala ia akan diajukan ke Sidang Mahmilub. Sulemi divonis mati. Namun, bagi Sulemi, vonis mati itu tak ada artinya dibanding siksaan yang hampir tiap hari diterimanya.
Ia pun melihat, hakim yang menjatuhinya hukuman mati menangis. Ia paham, sang hakim yang seorang militer pasti tahu apa yang diperbuat prajurit hanyalah perintah pimpinan.
"Prosesnya hanya sebentar, seminggu, tetapi terus-menerus, tiap hari. Akhirnya diputus mati," ucapnya.
Ia pun tak ada niatan untuk mengajukan banding ke Pengadilan Militer Tinggi. Sebab, ia merasa tak salah dan tak ada keinginan sedikit pun untuk bernegosiasi.
Di sisi lain, harapannya untuk bertemu dengan keluarganya kontan luruh. Ia pun pasrah pada garis nasib yang mesti dilakoninya.
Ia lantas berkirim surat kepada istri pertamanya untuk merelakan kematiannya. Dengan kegagahan seorang prajurit, ia juga mempersilakan istrinya untuk menceraikannya.
"Kalau suruh minta ampun kepada Pak Harto. Ya, maaf, lebih baik saya ditembak mati saja. Ya, bagi saya itu haram. Saya sudah sakit sekali," dia menuturkan.
Akan tetapi, penasihat hukum militernya berpendapat lain. Sulemi kemudian mengajukan banding dan mendapat keringanan hukuman menjadi penjara seumur hidup.
Sulemi lantas dipindah ke tahanan Pamekasan bersama sekitar 32 tahanan politik lainnya. Di tempat itu, Sulemi menyadari meninggalkan seorang istri dan anak. Ia pun kemudian mempersilakan agar istrinya menggugat cerai. Maka, sejak itu, Sulemi tak lebih dari orang yang terbuang.
Advertisement
Doa Bunda dan Harapan Bekas Tahanan Politik
Di penjara Pamekasan pula, Sulemi mendengar kakaknya dipecat dari status PNS-nya, lantaran keterlibatannya dalam peristiwa 1965. Padahal menurut Sulemi, kakaknya itu sama sekali tidak tahu dan sama sekali tak terlibat politik.
"Saya sampai heran. Enggak ngerti apa-apa kok dipecat. Kalau dia itu, dinas ke kantor ya ke kantor, pulang ya pulang," ujarnya.
Kekuatan Sulemi usai bercerai dengan istri pertamanya saat itu adalah doa ibunya. Secara rutin, ia berkirim kabar ke ibundanya di Purbalingga.
Hingga akhirnya, di 1980 ia dibebaskan, setelah mendapat grasi atau pengampunan dari Presiden Soeharto. Pengampunan itu, menurut Sulemi, akibat tekanan HAM PBB agar Indonesia lebih memperhatikan hak-hak tahanan politik.
"Sebanyak 10 orang narapidana seumur hidup seluruh Indonesia dibebaskan, termasuk saya. Tahun 1980 keluar, bulan Oktober," dia mengungkapkan.
Rupanya, penderitaan Sulemi tak begitu saja pungkas usai dibebaskan dari tahanan dan penjara 15 tahun. Saat kembali ke kampungnya di Purbalingga, dia mendapati seluruhnya berubah, kecuali keluarganya.
Mudah ditebak, seorang bekas tahanan politik bakal kesulitan mendapat pekerjaan. Bahkan, tetangganya sendiri enggan menyapa. Satu-satunya tempat ia bersandar adalah keluarganya.
Saat itu, mulai berkarya membuat patung berbahan batu, kayu, atau pasir dan semen. Saat berada di Penjara Pamekasan, ia bersama dengan seorang seniman patung dari sekolah tinggi seni di Yogyakarta. Sang seniman dipenjara lantaran menjadi anggota Lekra, underbouw PKI.
Lantas, ia menikah dengan seorang perempuan, yang menemaninya hingga saat ini, Sri Murni. Sadar mematung tak bisa mencukupi kebutuhan keluarga, Sulemi dan Sri membuka kantin.
Lantas, Sri berjualan daging di Pasar Purbalingga. Kerja keras mereka mulai menampakkan hasil, meski tak bisa juga bisa dibilang cukup.
Waktu berjalan, masa pun berubah. Nasib baik berpihak kepada bekas tahanan politik usai reformasi 1998. Anak bungsu Sulemi bahkan kini menjadi seorang aparat.
"Setelah Presidennya Gus Dur, situasinya membaik. Tekanan kepada orang-orang seperti saya berkurang," dia menerangkan.
Kini, Sulemi, bersama istrinya, disibukkan dengan kunjungan-kunjungan ke saudara dan cucu-cucunya. Terkadang, mereka menghabiskan waktu di Magelang. Ada kalanya, mereka menengok cucu, yang tinggal di Purbalingga.
* Liputan6.com yang menjadi bagian KapanLagi Youniverse (KLY) bersama Kitabisa.com mengajak Anda untuk peduli korban gempa dan tsunami di Palu dan Donggala. Yuk bantu Sulawesi Tengah bangkit melalui donasi di bawah ini.
Â
Â
Semoga dukungan Anda dapat meringankan beban saudara-saudara kita akibat gempa dan tsunami Palu di Sulawesi Tengah dan menjadi berkah di kemudian hari kelak.