Liputan6.com, Bandung Mengenyam pendidkan merupakan hak setiap warga negara. Tidak terkecuali bagi siswa berkebutuhan khusus. Mereka juga memiliki kesempatan besar untuk bisa berprestasi terlebih dengan hadirnya instansi pendidikan yang telah memberikan kesempatan dan menerapkan pendidikan inklusi.
Raut wajah Achmad Taufan tampak berseri. Bersama orang tuanya, pria berkacamata ini memasuki ruang seminar gedung A Lantai 4 Universitas Widyatama pada Sabtu (6/10/2018).
Pada hari wisuda Art Therapy Center (ATC) Universitas Widyatama, mahasiswa seperti Taufan mungkin tidak mendengar suara iringan musik tari-tarian tapi bisa merasakan getaran dentuman kendang. Prosesi wisuda itu merupakan puncak kerja keras ia bersama beberapa rekannya.
Advertisement
Kebahagiaan Taufan berlipat tatkala ia diumumkan sebagai lulusan terbaik atau cum laude dengan IPK 3,72 di lembaga pendidikan berbasis kesenian di Kota Bandung itu yang fokus mendidik anak-anak berkebutuhan khusus.
"Saya merasa senang dan berterimakasih kepada ATC Widyatama karena telah memberikan kelulusan terbaik. Terlebih ini adalah penghargaan di depan orang tua saya yang harus saya syukuri," tutur Taufan dalam pesan elektronik kepada Liputan6.com.
Taufan menyebutkan, sebelum berkuliah di ATC Widyatama, ia mengundurkan diri dari salah satu kampus swasta dengan jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV). Alasannya, hingga kuliah semester tiga, ia kesulitan berkomunikasi dengan lingkungan kampus.
"Lalu saya berusaha mencari solusi mengambil jurusan desain grafis di Art Therapy Center Widyatama yang siswanya khusus dari disabilitas. Selama di sini, selain senang menggambar dan membuat ilustrasi, saya menyukai seni tari juga," ungkap pemuda berusia 26 tahun itu.
Selama belajar di ATC Widyatama, Taufan merasakan pengalaman berbeda. Saf pengajar telah memberikan perhatian dan metode pendidikan yang mampu membuatnya berkembang dalam bidang seni grafis.
Bahkan, sejak semester akhir perkuliahan Taufan sudah mendapat tawaran bekerja di sebuah studi animasi.
"Saya dari semester akhir dapat pelatihan kerja dan mendapat proyek di Bonbin Studio membuat animator dan ilustrasi," ujarnya.
Jumlah Lulusan Bertambah
Direktur Art Theraphy Center Universitas Widyatama Anne Nurfarina mengatakan, sejak didirikan 15 Maret 2014 lalu, lembaga pendidikannya sudah dua kali menggelar wisuda. Angkatan pertama tahun ajaran 2016/2017 diikuti sebanyak 6 wisudawan.
Jumlah wisudawan tersebut, lanjut Anne, bertambah pada tahun ajaran 2017/2018. Jika pada wisuda pertama menghasilkan 3 orang yang mengikuti program pelatihan kerja (PPK), kali ini meningkat menjadi 7 orang.
Program ini membuka jurusan desain grafis. Kelas ini terbuka bagi penyandang disabilitas fisik dan mental dalam kategori middle function sampai high function. Sistem pembelajarannya meliputi audio, visual, motorik dan bahasa dengan fasilitas treatment psikologi. Kisaran usianya 16-25 tahun dengan syarat lulus SMA sederajat.
Sedangkan lulusan dari treatment khusus sebanyak empat orang pada angkatan pertama, kini bertambah menjadi lima orang. Program ini ditujukan bagi anak penyandang disabilitas fisik dan mental dalam kategori low function/mental retarded usia minimal 6 tahun.
"Untuk kelas treatment kategori low function perlu penanganan yang sifatnya individu. Biasanya kita arahkan pada keterampilan," jelas Anne.
Menurut dia, penyandang disabilitas fisik dan mental dapat dibangun dan dikembangkan kemampuannya dalam bidang desain grafis sehingga memiliki kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan industri desain grafis.
"Kita menerapkan hampir 90 persen mata kuliah praktek. Perkuliahan sendiri tiap Senin-Jumat mulai pukul 08.00-15.00,” sebut lulusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Selain menyediakan kurikulum berbasis praktik, keterlibatan industri di bidang desain grafis, seni musik dan industri kriya, membuat lembaga ini terus berupaya mengarahkan anak-anak disabilitas dapat diterima khalayak luas.
"Dengan semangat pendidikan berbasis proyek, anak-anak kami terbukti mampu berkarya dan memenuhi kebutuhan pasar khususnya dalam bidang desain grafis, musik dan kriya," jelasnya.
Advertisement
Metode Sensasi
Selama ini komunikasi menjadi masalah umum yang dihadapi mereka yang berkebutuhan khusus. Karena itu, diperlukan metode sensasi yang kini diterapkan sebagai dasar dari pembelajaran bagi siswa di ATC Widyatama.
Dekan Fakultas DKV Universitas Widyatama ini melakukan sekurangnya 7 tahun melakukan penelitian metode sensasi.
Metode sensasi yakni metode stimulasi sensorik berbasis kreatif dan stimulus bentukan yang merupakan aspek-aspek dalam seni, yakni audio, visual dan kinetik. Stimulan ini menjadi pintu masuk untuk mengembangkan kemampuan lainnya.
"Hal-hal yang sifatnya audio visual ini akan merespons penyandang disabilitas melakukan komunikasi. Jika seseorang yang sudah terespons komunikasinya, untuk masuk ke ranah kognitif bisa lebih mudah," kata Anne.
Ia menambahkan, di sisi lain seni selalu mengarah pada estetika. Namun di dalamnya terdapat proses kreatif, edukasi, komunikasi dan psikologi.
"Kalau saya menyebutnya, seni secara keseluruhan. Selama anak itu mengikuti instruksi dan mau mengerjakan apa yang kita instruksikan, komunikasi sudah terbangun," ujarnya.
Sementara itu kebanyakan orang masih menganggap kesenian sebagai kegiatan selingan. Padahal, jika ada sistem kerja yang konkret, kebijakan yang berpihak, serta peluang dari industri, penyandang disabilitas mampu mengerjakan proyek seni dan desain sebagaimana yang telah diterapkan di ATC Widyatama.
"ATC menangani para penyandang disabilitas dengan terapi berbasis seni, desain dan psikologi serta ilmu-ilmu terkait lainnya. Tujuan didirikannya ATC untuk menghasilkan lulusan penyandang disabilitas dengan kemampuan kerja di industri kreatif,” jelasnya.