Sukses

Boyolali, Bermula dari Perjalanan Wali

Boyolali terletak di kaki sebelah timur Gunung Merapi dan Gunung Merbabu. Muasal namanya berkaitan dengan laku perjalanan seorang wali.

Liputan6.com, Jakarta - Boyolali mendadak terkenal beberapa hari terakhir. Pemicunya adalah insiden ucapan "tampang Boyolali" dalam salah satu pidato kandidat presiden Prabowo Subianto. Penggunaan istilah Boyolali itu rupanya memicu protes sebagian warga setempat. Di manakah lokasi Boyolali dan bagaimana asal muasal daerahnya?

Boyolali adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibu kotanya di Kecamatan Mojosongo, sekitar 25 kilometer sebelah barat Kota Surakarta. Boyolali terletak di kaki sebelah timur Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.

Wilayah Kabupaten Boyolali dilewati jalan negara yang menghubungkan Semarang-Solo, jalurnya berbukit-bukit. Adapun jalan provinsi yang menghubungkan Kota Boyolali dengan Kota Klaten juga menghubungkan Boyolali langsung ke Yogyakarta.

Ada juga jalan kabupaten yang menghubungkan Boyolali dengan Kota Sragen dan yang menghubungkan Boyolali dengan Mungkid, Muntilan, dan Magelang melalui Selo Pass yang melintasi celah di antara Gunung Merapi dan Gunung Merbabu.

Kabupaten Boyolali terkenal dengan usaha pengembangan sapi perah dan penggemukan sapi. Di daerah Jawa Tengah dan sekitarnya, sangat terkenal susu dari Boyolali.

Asal Muasal Nama Boyolali

Begitu mendengar nama Boyolali, sepintas terpikir artinya yakni 'buaya lupa'. Dari pemahaman sekilas, dugaan awalnya muasal nama Boyolali ini dari kisah ada buaya yang lupa diri.

Namun, rupanya asal nama Boyolali ini jauh dari hewan pemangsa itu. Dari situs Pemkab, nama Boyolali belum disebutkan dalam cerita Babad Pengging Serat Mataram. Begitu pun pada masa Kerajaan Demak Bintoro maupun Kerajaan Pengging, belum dikenal nama Boyolali.

 

2 dari 2 halaman

Ki Ageng Pandanaran 'Wis Lali'

Satu versi menyebutkan nama ini berkaitan dengan cerita Ki Ageng Pandan Arang, bupati Semarang pada abad XVI.

Cerita bermula ketika Ki Ageng Pandan Arang yang lebih dikenal dengan Tumenggung Notoprojo diramalkan oleh Sunan Kalijogo sebagai wali penutup menggantikan Syeh Siti Jenar. Oleh Sunan Kalijogo, Ki Ageng Pandan Arang diutus untuk menuju ke Gunung Jabalakat di Tembayat (Klaten) untuk menyiarkan agama Islam.

Dalam perjalanannya dari Semarang menuju Tembayat, Ki Ageng banyak menemui rintangan dan batu sandungan sebagai ujian. Ki Ageng berjalan cukup jauh meninggalkan anak dan istri. Ketika berada di sebuah hutan belantara, dia dirampok oleh tiga orang karena dikira membawa harta benda.

Ternyata dugaan itu keliru, maka tempat inilah sekarang dikenal dengan nama Salatiga. Perjalanan diteruskan hingga sampailah di suatu tempat yang banyak pohon bambu kuning atau bambu Ampel dan tempat inilah sekarang dikenal dengan nama Ampel yang merupakan salah satu kecamatan di Boyolali.

Dalam menempuh perjalanan yang jauh ini, Ki Ageng Pandan Arang semakin meninggalkan anak dan istri. Sambil menunggu mereka, Ki Ageng beristirahat di sebuah batu besar yang berada di tengah sungai.

Ketika itu Ki Ageng berucap "Bayawis lali wong iki" yang dalam bahasa Indonesia artinya "Sudah lupa kah orang ini?".

Dari baya wis lali maka jadilah nama Boyolali. Batu besar yang berada di Kali Pepe yang membelah kota Boyolali diduga sebagai tempat beristirahat Ki Ageng Pandan Arang selama menunggu anak dan istrinya.

Belum ada penelitian mengenai sejarah batu ini. Begitu juga sebuah batu yang cukup besar yang berada di depan Pasar Sunggingan Boyolali. Konon menurut masyarakat setempat batu ini merupakan tempat Nyi Ageng Pandan Arang beristirahat.

Ketika istirahat, Nyi Ageng mengetuk-ngetukan tongkatnya di batu ini dan batu ini menjadi berlekuk-lekuk mirip sebuah dakon (mainan anak-anak tempo dulu).

Karena batu ini mirip dakon, masyarakat sekitar Pasar Sunggingan menyebutnya Mbah Dakon. Hingga sekarang, batu ini dikeramatkan oleh penduduk dan merekapun tak ada yang berani mengusiknya.