Liputan6.com, Garut - Setelah menuai polemik publik yang cukup luas, Pengadilan Negeri Garut, Jawa Barat akhirnya menjatuhkan hukuman masing-masing 10 hari penjara, kepada tiga terdakwa yang terlibat dalam polemik pembakaran bendera HTI pada Hari Santri Nasional (HSN) di Garut, beberapa waktu lalu.
Pembacaan sidang putusan digelar dua kali. Sidang pertama untuk mengadili dua terdakwa pembakar bendera HTI yang juga anggota Banser. Sidang kedua digelar untuk mengadili pembawa bendera HTI.
"Menjatuhkan pidana masing-masing 10 hari penjara kepada para terdakwa," ujar Ketua Majelis Hakim Hasanuddin, dalam sidang pembacaan pertama di Pengadilan Negeri Garut, Senin (5/11/2018).
Advertisement
Menurutnya, terdakwa Faisal Mubarok dan Mahfuddin, yang keduanya merupakan aggota Banser, Garut, terbukti dan secara sah menyakinkan melakukan tindak pidana yang mengganggu ketertiban umum, berupa pembakaran bendera HTI dalam pelaksaan HSN.
Baca Juga
Beberapa hal yang meringankan kedua terdakwa yakni belum pernah dihukum dan berterus terang mengakui kesalahannya dalam penyampaian penjelasan. Sementara hal yang memberatkan adalah telah membuat kegaduhan dalam HSN.
Atas tindakan itu, kedua terdakwa melanggar pasal 174 KUHP, dan mewajibkannya membayar biaya perkara masing-masing Rp 2.000 untuk kedua terdakwa.
"Bagaimana saudara-saudara, apakah menerima, pikir-pikir, atau banding saya berikan waktu selama 7 hari ke depan?," tanya hakim.
Beberapa saat kemudian diawali Mahfuddin dan diikuti Faisal Mubarok, keduanya langsung menerima putusan majelis hakim tanpa berfikir panjang, untuk menjalani penjara selama 10 hari. "Dengan demikian persidangan dinyatakan selesai," ujar hakim sambil mengetuk palu, tanda berakhirnya persidangan pertama.
Sementara sidang putusan kedua dijalani Uus Sukmana, sama dengan sidang pembacaan putusan pertama yang dijaga ketat aparat, ketua majelis hakim Hasanuddin akhirnya menjatuhkan vonis hukuman tindak pidana ringan berupa kurungan 10 hari penjara, dengan denda Rp 2.000 yang digunakan untuk mengganti biaya perkara.
"Terbukti dengan sah dan meyakinkan dengan sengaja mengganggu rapat umum dan menimbulkan kegaduhan pada HSN," ujar Hasanuddin dalam pembacaan putusannya.
Menurutnya, perbuatan terdakwa yang sengaja membawa bendera HTI dalam acara HSN terbukti telah memantik kemarahan seluruh peserta upacara HSN. Padahal berdasarkan seluruh saksi yang dihadirkan, sebelumnya telah terjadi kesepakatan bersama untuk tidak membawa termasuk mengibarkan atribut lain, selain bendera merah putih.
"Beberapa hal meringankan, terdakwa berterus terang dan memberikan keterangan sesugguhnya dan belum pernah dihukum," kata dia.
Tidak ada pembelaan yang ia sampaikan, begitu putusan selesai dibacakan, terdakwa Uus langsung menerima putusan tanpa berencana melakukan banding atau hal lainnya. "Ya saya menerima putusan," ujarnya singkat.
2 Kali Sidang Dengan Saksi Yang Sama
Selain penjagaan super ketat, jalannya persidangan tiga terdakwa tadi memang cukup tegang. Dalam dua kali proses persidangan untuk tiga terdakwa, majelis hakim menghadirkan masing-masing 10 saksi untuk menguatkan keterlibatan para terdakwa.
Awalnya hakim Hasanuddin menghadirkan 10 saksi ke persidangan dalam sidang Mahfuddin dan Faisal Mubarok.
Para saksi yang mayoritas santri tersebut menjelaskan kronologis pembakaran bendera. Mulai kedatangan terdakwa Uus Sukmana, pembawa bendera hingga pengibarannya. Kemudian, proses pengamanan terdakwa Uus berikut bendera HTI oleh pihak banser, hingga akhirnya terjadi pembakaran bendera tersebut hingga akhirnya menjadi gaduh yang mengganggu jalannya upacara HSN.
Dalam penjelasannya, para saksi kebanyakan memberikan pernyataan yang meringankan para terdakwa. Menurut Ceng Imam, salah satu saksi yang dihadirkan, berdalih pembakaran bendera merupakan sikap spontanitas terdakwa.
Selain itu pembakaran dimaksudkan agar bendera HTI itu tidak kembali dipakai karena HTI dilarang di tanah air. Serta dimaksudkan untuk menyelamatkan kalimat tauhid dari hal tidak patut, seperti terinjak, diduduki, dan lainnya.
Ia menilai, kemunculan bendera HTI telah menyalahi kesepakatan seluruh peserta upacara HSN, yang menyepakati tidak adanya atribut atau bendera lain kecuali bendera sang saka merah putih. "Saya setelah mengamankan Uus langsung pulang sebelum acara selesai," ujar dia.
Sedangkan jalannya persidangan kedua dengan terdakawa Uus Sukmana, kembali majelis hakim menghadirkan ke 10 saksi yang dihadirkan dalam pembacaan sidang pertama. Dalam penjelasannya mereka yang ditanya satu per satu oleh majelis hakim, menjelaskan seluruh kronologis kedatangan terdakwa sebagai pembawa bendera tersebut.
Advertisement
Tim Advokad Musim Pembela Tauhid Kecewa Sikap Uus
Ada kejadian unik ketika terdakwa pembawa bendera HTI, Uus Sukmana, menolak didampingi tujuh pengacara dari tim Advokat Muslim Pembela Tauhid (AMPT) yang telah dipersiapkan.
Beberapa kali Ketua majelis hakim Hasanuddin menanyakan tentang keseriusan Uus untuk menjalani sidang seorang diri, namun tiga kali menjawab, ia memberikam jawaban yang sama.
"Apakah saudara tetap tidak mau menggunakan pengacara,? Tanya hakim hakim Hasanuddin, yang dijawab sejurus kemudian dengan jawaban yang sama. "Ya (sendiri) pak hakim," kata Uus.
Sontak akibat jawaban itu para pengacara yang telah dipersiapkan nampak meradang. Bahkan saat majelis hakim memanggil semua anggota tim pengacara, terdakwa Uus tetap keukeuh pada jawabannya untuk tidak menggunakan pengacara.
Tak ayal akibat jawaban itu, para pengacara nampak kecewa dan satu persatu meninggalkan ruang sidang. "Mohon maaf mungkin ini (tidak menggunakan pengacara) yang diharapkan terdakwa," ujat Hasanuddin menyatakan kepada para pengacara, yang sebelumnya telah siap mengenakan stelan acara sidang, untuk memberikan pembelaan.
Anton Widiatmo, salah seorang anggota tim pengacara AMPT mengaku kaget sekaligus kecewa dengan jawaban terdakwa Uus, terlebih pihak keluarga yang diwakili Adang Fuad, telah meminta bantuan lembaganya, untuk menyelesaikan perkara hukum yang membelit pembawa bendera HTI itu. "Dia sendiri yang menandatangani langsung disaksikan ayah dan kakaknya, jelas ini telah melecehkan profesi advokat," kata dia meradang.
Anton menilai ada hal ganjil yang terjadi pada perubahan sikap terdakwa Uus, terlebih dalam penjelasan awal saat ditemui di Mapolres Garut sebelumnya, ia mengaku jika bendera yang dibakar Banser itu, merupakan bendera tauhid. "Dia bukan anggota HTI, lagian tidak tahu itu bendera HTI," kata dia.
Menurutnya, pengenaan pasal 174 KUHP mengenai tindak pidana ringan dianggap tidak relevan, namun seharusnya dikenakan pasal 156a KUHP dan Undang-Undang ITE pasal 45 ayat 1. "Ini jelas pasal karet," kata dia.
Selain itu, ia mempertanyakan sikap profesionalisme polisi yang tidak dilengkapi surat pemberitahuan kepada pihak keluarga, mengenai adanya penangkapan dan penahanan terhadap terdakwa. "Ini kan jelas melanggar tidak sesuai hukum," ujar dia.
Ia menuding penerapan pasal 174 KUHP terhadap terdakwa pembakar bendera dinilai lemah, padahal seharusnya mereka mendapatkan ancaman pasal 156 KUHP dengan ancaman lima tahun penjara. Dengan adanya penolakan itu, lembaganya masih pikir-pikir melanjutkan pembelaan. "Kita lihat saja nanti melaporkan balik kepolisian, atau diam terima keputusan," ujarnya.
Saksikan video pilihan berikut ini: