Liputan6.com, Garut Jalannya persidangan Uus Sukmana, terdakwa pembawa bendera HTI di Pengadilan Negeri, Garut, Jawa Barat, menyedot perhatian pengunjung yang hadir. Ia yang seharusnya mendapat bantuan hukum dengan kehadiran tim Advokat Muslim Pembela Tauhid (AMPT), justru menolaknya tanpa sebab pada detik-detik akhir menjelang bergulirnya persidangan.
Sebanyak tujuh pengacara lokal Garut yang telah diminta dan dipersiapkan untuk meringankan beban hukuman yang akan mendera Uus, justru ditolaknya menjelang sidang putusan berlangsung. Ada apa gerangan?
"Apakah saudara tetap tidak mau menggunakan pengacara?" tanya hakim Hasanuddin, yang dijawab sejurus kemudian dengan jawaban yang sama. "Ya, pak hakim," kata Uus di muka persidangan, PN Garut, Senin (5/11/2018).
Advertisement
Sontak akibat jawaban itu para pengacara yang telah dipersiapkan nampak meradang. Mereka dengan setelah lengkap orang yang akan berperkara di pengadilan, seolah tidak percaya dengan penolakan mentah-mentah yang disampaikan Uus di muka persidangan itu.
"Tidak (menggunakan pengacara) pak hakim," ujar Uus lagi, saat dihadirkan ke muka persidangan di depan ketua mejelis hakim, bersama dengan tim pengacara yang kembali menanyakan keseriusan untuk tidak menggunakan bantuan jasa hukum mereka. "Apa alasan Anda tidak menggunakan kami?" tanya salah seorang pengacara anggota tim AMPT.
Baca Juga
Namun dengan tekad bulatnya, ia tetap berkukuh untuk tidak menggunakan jasa hukum tim advokat muslim tersebut.
"Saya siap menandatangani secara tertulis pembatalan ini," kata Uus, sekaligus menjawab permintaan salah seorang anggota tim advokat untuk membuat surat pernyataan pembatalan bantuan hukum yang mereka berikan.
Namun bukan Uus namanya jika tidak membuat sensasi. Setelah sikap lugu dan polosnya mengibarkan bendera HTI yang memantik kemarahan santri yang berujung polemik pembakaran bendera tersebut saat upacara HSN beberapa waktu lalu, ia kembali membuat sensasi dengan menolak bantuan hukum tim AMPT.
Sebelum diminta meninggalkan ruang sidang, Uus dan para tim pengacara diminta ke depan oleh majelis hakim, namun lagi-lagi hanya penolakan yang disampaikan terdakwa Uus.
"Mohon maaf mungkin ini (tidak menggunakan pengacara) yang diharapkan terdakwa," ujar Hasanuddin menyatakan kepada para pengacara, untuk meninggalkan ruangan sidang.
Akhirnya dengan penolakan itu, satu deret kursi yang telah disiapkan petugas pengadilan di sebelah kanan muka persidangan, kembali kosong tanpa isi. Sidang pun kembali dilanjutkan.
Sebanyak 10 saksi yang sebagian besar merupakan santri yang terlibat dalam kepanitiaan Hari Santri Nasional (HSN) di Limbangan itu, kembali dihadirkan untuk dimintai keterangannya perihal keterlibatan Uus dalam kronologi pembakaran bendera HTI tersebut.
Ancaman Laporan Balik
Anton Widiatmo, salah seorang anggota tim pengacara AMPT mengaku kaget sekaligus kecewa dengan jawaban yang disampaikan terdakwa Uus, terlebih pihak keluarga yang diwakili Adang Fuad, telah meminta bantuan lembaganya, untuk menyelesaikan perkara hukum yang membelit pembawa bendera HTI itu.
"Dia sendiri yang menadatangani langsung disaksikan ayah dan kakaknya, jelas ini telah melecehkan profesi advokat," kata dia.
Anton menilai ada hal ganjil yang terjadi pada perubahan sikap terdakwa Uus, terlebih dalam penjelasan awal saat ditemui di Mapolres Garut sebelumnta, ia mengaku jika bendera yang dibakar Banser itu, merupakan bendera tauhid bukan HTI seperti yang ia sampaikan.
"Dia bukan anggota HTI, lagian tidak tahu itu bendera HTI," kata dia.
Ia belum memahami adanya perubahan sikap yang dialami bakal kliennya itu, namun ia tetap menghargai seluruh keputusan yang diambil oleh terdakwa Uus.
"Nanti mungkin pihak keluarga akan kembali bertanya terhadap Uus ada apa kok berubah?” kata dia menambahkan.
Dengan adanya perubahan secara sepihak itu, lembaganya tengah mengkaji rencana melaporkan balik terdakwa Uus, karena dinilai telah merendahkan dan melecehkan profesi advokat.
"Jelas kami tidak terima dengan perlakuan itu," ungkap Anton.
Dalam perkara terdakwa Uus, Anton menilai pengenaan pasal 174 KUHP mengenai tindak pidana ringan dianggap tidak relevan, padahal dalam pandangan mereka, seharusnya jaksa penuntut mengenakan pasal 156a KUHP dan Undang-Undang ITE pasal 45 ayat 1 untuk menjerat pembakar bendera HTI tersebut.
"Ini jelas pasal karet," kata Anton.
Selain itu, ia mempertanyakan sikap profesionalisme polisi yang tidak dilengkapi surat pemberitahuan kepada pihak keluarga, mengenai adanya penangkapan dan penahanan terhadap terdakwa.
"Ini kan jelas melanggar tidak sesuai hukum," ujar Anton.
Ia menuding penerapan pasal 174 KUHP terhadap terdakwa pembakar bendera dinilai lemah, namun seharusnya mendapatkan ancaman pasal 156 KUHP dengan ancaman 5 tahun penjara. Dengan adanya penolakan itu, lembaganya masih pikir-pikir melanjutkan pembelaan.
"Kita lihat saja nanti melaporkan balik kepolisian, atau diam terima keputusan," ujar Anton menambahkan.
Simak juga video pilihan berikut ini:
Advertisement