Sukses

Menyelami Jallad, Jiwa di Balik Topeng Algojo Cambuk di Aceh

Lelaki berambut cepak berdada bidang berperawakan kekar yang minta agar identitasnya dirahasiakan ini adalah seorang Jallad atau algojo cambuk yang tugasnya mengeksekusi para pelanggar syariat Islam.

Liputan6.com, Aceh - Orang bertopeng mengenakan jubah itu merentangkan lengan kanannya setinggi bahu. Di tangannya terlihat rotan sepanjang satu meter yang pangkalnya telah dibengkokkan.

Sejurus kemudian, rotan di tangan orang itu berkali-kali mendarat ke tubuh seorang pria di depannya. Tampak si pesakitan ini merintih seraya menutupi wajah karena malu dipandang ratusan pasang mata di depannya.

Pada pukulan ke-17, pria itu tumbang tak sanggup menahan cambukan sang algojo. Kata dokter ahli, eksekusi perlu dihentikan. Hari itu, 20 September 2018, berlangsung eksekusi terhadap 19 terpidana pelanggar qanun jinayah di Aceh Barat.

"Kalau ditanya apa ada rasa kasihan, jelas ada. Namun, itu wajib. Sultan Iskandar Muda pernah menghukum pancung anaknya karena terbukti zina," ujar seorang lelaki kepada Liputan6.com dalam suatu coffe morning time di Aceh, belum lama ini.

Lelaki berambut cepak berdada bidang berperawakan kekar yang minta identitasnya dirahasiakan ini adalah seorang Jallad atau algojo cambuk yang tugasnya mengeksekusi para pelanggar syariat Islam.

Orang-orang yang ditunjuk menjadi Jallad berasal dari Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah, atau dikenal juga sebagai polisi syariat. Hal ini diatur dalam Pergub Nomor 5 tahun 2018 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayat.

Kepada Liputan6.com, lelaki yang memakai kopiah bermotif Aceh serta baju koko putih polos itu mengungkapkan, menjadi seorang eksekutor adalah beban paling berat yang pernah diterimanya.

Salah satu yang membuat pekerjaan tersebut menjadi beban adalah besarnya tanggung jawab moral yang disematkan ke pundak seorang Jallad.

"Kan tidak elok, kita mengeksekusi orang-orang, kita juga melakukan dosa. Kalau di intansi lain mungkin iya, tapi kalau ini soal agama," tutur pria itu.

Seorang Jallad wajib menjaga kehormatan profesinya itu melalui cerminan perilaku dalam kehidupan sehari-harinya. Sekali pun tak ada yang tahu identitas mereka.

Kendati demikian, ia sadar betul tidak ada yang nirmala soal iman dan takwa. Layaknya keberadaan malaikat dan iblis, yang baik pasti berdampingan dengan yang buruk.

"Sifat manusia mewakili keduanya, dengan porsi berbeda sesuai tingkat keimanan yang dimiliki," sebut pria itu.

Dalam mengeksekusi, ia mengaku tak ada ritual atau doa-doa khusus. Tiap cambuk yang dilontarkannya, selalu diawali oleh penyebutan jumlah deraan oleh jaksa eksekutor.

Baginya, tiap cambuk yang dihantamkan ke tubuh orang-orang yang dieksekusinya itu mewakili cambukan terhadap diri dan dosa-dosanya sendiri.

Ada kalanya, setelah melakukan eksekusi, ia termenung. Sebagai manusia yang fana, dia tak tahu apakah dirinya lebih mulia dibandingkan mereka, orang-orang yang pernah dicambuknya.

"Kita ini juga terhukum, dalam waktu yang belum ditentukan. Kelak akan ditanya mengenai tangan yang pernah dipercaya mencambuk para pendosa ini," ucap lelaki yang tidak mau banyak bertutur tentang profesi yang lumayan lama digelutinya itu.

Sebagai catatan, honorarium kepada para algojo ini diambil dari uang kegiatan pada hari pelaksanaan hukum cambuk. Dengan kisaran upah di atas Rp 100 ribu, atau di bawah satu juta.

2 dari 3 halaman

Syarat Jadi Jallad dan Cambuk Sang Jallad

Selain takwa dan berakhlak mulia, seorang Jallad diharuskan bebas narkoba, sehat jasmani, dan rohani. Jallad juga tidak boleh tersangkut pidana umum dan qanun jinayah, serta tidak memiliki hubungan keluarga dengan terpidana.

Selain itu, orang-orang yang menjadi Jallad disyaratkan sudah pernah mengikuti pendidikan dan pelatihan oleh Dinas Syariat Islam dan Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Aceh.

Namun, sementara ini belum terdapat Jallad yang tersertifikasi atau pernah mengikuti diklat seperti itu. Jallad lebih banyak ditunjuk secara acak dari instansi Satpol PP dan WH. Di antara mereka dipilih karena faktor pengalaman pernah melakukan hukum cambuk.

"Tidak menutup kemungkinan adanya diklat dan lahirnya Jallad yang bersertifikasi," harap Kasi Penegakan Qanun Syariat dan Penyidikan Aceh Barat, Aharis Mabrur, dalam wawancaranya dengan Liputan6.com, Senin, 5 November 2018.

Cambuk Sang Jallad

Hasil penelusuran Liputan6.com, penamaan Jallad senarai dengan arti hukuman cambuk yang dalam bahasa Arab, disebut jald dari akar kata jalada yang berarti 'memukul dengan cambuk yang terbuat dari kulit'.

Dalam pelaksanaanya, cambuk yang digunakan di Aceh terbuat dari sepotong rotan. Dan rotan yang dipakai berdiameter 0,7 sampai 1,00 sentimeter dan memiliki panjang satu meter. Ujung rotan tidak boleh ganda atau dibelah.

Saat eksekusi, jarak Jallad dengan terhukum adalah 0,70 sampai satu meter. Saat mencambuk, Jallad dapat mengambil kuda-kuda dengan jarak antara kaki kiri dan kaki kanan 50 sentimeter.

Pelaksanaan eksekusi itu dilangsungkan di atas sebuah panggung berukuran 3x3 meter dengan jarak antara penonton dan panggung eksekusi sejauh 12 meter.

Namun, berdasarkan Pergub Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayat, pelaksanaan uqubat cambuk dilakukan di dalam lapas.

Kendati demikian, sejumlah kabupaten/kota di Aceh masih melakukan eksekusi cambuk di tempat terbuka yang dapat disaksikan oleh masyarakat umum.

3 dari 3 halaman

Suara-Suara Menentang Uqubat Cambuk di Aceh

Hukuman cambuk di Aceh punya keterkaitan historis dengan ruang yang diberi pemerintah pusat usai lahirnya pemberontakan DI/TII dengan Daud Beureueuh sebagai masinisnya.

Saat itu, Aceh diberi otonomi secara luas di bidang agama, pendidikan, dan adat istiadat. Seiring zaman, sejumlah aturan yang mendukung penegakan syariat terus dibuat dan diuji-terapkan di Aceh. 

Pada 2003 muncul secara rentet qanun nomor 12, 13, 14, yang masing-mengatur mengenai khamar (minuman keras), maisir (perjudian), dan khalwat (perbuatan mesum).

Selanjutnya, lahir petunjuk teknis pelaksanaan uqubat cambuk melalui Pergub Nomor 10 Tahun 2005. Puncaknya, pada 2005, dilaksanakan hukuman cambuk yang pertama di Kabupaten Bireuen, dengan jumlah 26 terhukum pelanggar maisir.

Saat ini, lahir pula Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat menggantikan tiga qanun sebelumnya. Adapun petunjuk teknisnya diatur dalam Pergub Nomor 5 Tahun 2018.

Qanun tersebut mengatur 10 jenis pidana, yakni khamar (miras), maisir (judi), khalwat (pasangan bukan muhrim), ikhtilath (bermesraan/bercumbu), zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf (fitnah zina tanpa saksi minimal 4 orang), liwath (gay), dan musahaqah (lesbi).

Semenjak pelaksanaannya, hukum cambuk di Aceh banyak disorot pegiat HAM, baik lokal, nasional, hingga internasional. Penerapan hukum cambuk membuat negeri berjuluk Serambi Mekkah itu dinilai konservatif dan antiperadaban.

Salah satu penolakan datang dari Institute Criminal Justice Reform (ICJR). Lembaga ini pernah meminta pemerintah Indonesia mengakhiri hukum cambuk atau hukum pidana Islam di Aceh.

Selain masuk dalam kategori penyiksaan, hukuman kejam tidak manusiawi, dan merendahkan martabat, qanun jinayah dinilai menciptakan dualisme penegakan hukum di Aceh.

Qanun jinayah dianggap tidak sesuai dengan hukum internasional dan hukum pidana nasional karena menduplikasi pengaturan pidana di KUHP dan UU lainnya di Indonesia.

Sebaliknya, Kasi Penegakan Qanun Syariat dan Penyidikan Aceh Barat, Aharis Mabrur, menampik kalau penerapan hukum cambuk berseberangan dengan HAM.

Menurut dia, salah satu yang sering menjadi samsak para pegiat HAM saat menyoroti penerapan hukum jinayah adalah aspek victimless crime para pelaku, di mana pelaku melakukan perbuatan yang oleh Aceh dianggap sebagai pelanggaran syariat.

Sementara perbuatan tersebut sama sekali tidak berdampak menimbulkan korban, misal hubungan seks di luar nikah, hubungan sesama jenis, seperti gay dan lesbi, yang diatur hukumannya dalam qanun.

"Manusia sejak dilahirkan memiliki hak asasi, sebagai mahluk Tuhan dan tidak boleh diganggu-gugat. Namun, penegakan syariat Islam di Aceh, itu ada nilai tersendiri. Ia berdiri bedasarkan atas apa yang selama ini tumbuh dan mengkristal menjadi norma," jelas Aharis.

Uqubat cambuk, ucap Aharis, pada kondisi tertentu menjadi "hukuman" yang meskipun tak meniscayakan lahirnya satu insan baru yang tobatan nasuha, bagi terhukum, tapi sedikit banyak menjadi peringatan, bagi orang lain. 

"Jadi ada indikasi positif kepada masyarakat. Orang sekarang setiap keluar dari rumah, secara otomatis alam bawah sadarnya itu akan dengan sendirinya menyesuaikan setiap tindak-tanduknya," kata Aharis.

Saksikan video pilihan berikut ini: