Liputan6.com, Garut - Bagi masyarakat kampung Dukuh dan Babakan, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut, Jawa Barat, keberadaan alat musik gong besar dilarang digunakan dalam setiap gelaran kesenian.
Padahal, dalam penggunaan rangkaian alat kesenian sunda gamelan, gong besar atau induk memiliki peranan penting sebagai penutup dan pengatur setiap ketukan alat musik tradisional gamelan lainnya.
Mereka yakin, jika aturan tak tertulis itu dilabrak, malapetaka bakal segera datang menjumpai seluruh warga kampung yang berada di kaki Guntung Guntur itu.
Advertisement
"Saya sendiri belum berani melabrak aturan itu (larangan alat gong) hingga kini," ujar Ating (70), salah seorang tokoh warga Babakan Pesantren, Pananjung, Tarogong Kaler, Garut, saat ditemui Liputan6.com, Rabu (7/11/2018). Â
Ating mengatakan, larangan penggunaan alat musik gong pada dua kampung di dua desa Pananjung itu, memang sudah berlangsung lama. Bahkan, aturan itu berlaku bagi warga pendatang, termasuk warganya yang hijrah ke daerah lain.
"Pokoknya kalau merasa asli dari sini, nanti di daerah barunya jangan coba berani menabuh gong," kata dia.
Baca Juga
Ia mengaku pertama kali ia mendapatkan informasi itu langsung dari Bah Ayo, sang ayah yang juga mendapatkan cerita tersebut dari leluhurnya, tanpa menjelaskan lebih rinci alasan di belakangnya. "Pokoknya jangan pakai gong, kalau alat musik hiburan lain silakan," ujar dia.
Cerita itu memang bukan segalanya untuk diyakini masyarakat generasi saat ini, tetapi faktanya pernah ia rasakan sendiri. "Dulu pernah ada yang nabuh gong saat hiburan tiba, tiba-tiba sorenya angin kencang datang," ujar Wini (31), anak Ating yang ikut mendampingi.
Bukan hanya itu, dalam salah satu acara hajatan warga yang tengah menggelar hiburan rakyat kuda lumping, tiba-tiba saat pertunjukan berlangsung, awan hitam dengan embusan angin kencang langsung menyeruak di wilayah sana, setelah diketahui salah satu pemain seni musik di antaranya menabuh alat musik gong.
"Dan ternyata demikian (setelah menghentikan) cuaca kembali cerah, hingga akhirnya pemain yang menabuh gong meminta maaf," kata Ating mengenang.
Ia berharap larangan itu tidak menghambat perkembangan alat musik tradisional, sebab larangan penggunaan alat musik, hanya berlaku untuk gong. "Kalau yang lain silakan, calung, karawitan, bahkan pencak silat kan ada musik pengiringnya, asal jangan pakai gong," pinta dia sambil mengingatkan.
Jejen, salah seorang warga Dukuh, mengakui adanya cerita mistik yang diakibatkan aktivitas menabuh gong tersebut. Menurut dia, berdasarkan cerita rakyat setempat, jika gong besar ditabuh dalam sebuah hajatan, seolah mengundang para arwah leluhur yang berada di kaki Gunung Guntur.
"Kadang ada harimau, bahkan babi hutan juga turun ke permukiman warga," kata dia.Â
Ia pernah mendapatkan cerita adanya warga yang melanggar aturan adat tersebut, sang empunya hajat tetap menabuh gong besar dalam pesta hiburan adat yang ia gelar. Hasilnya satu babi hutan besar sudah berada di depan halaman rumah, tanpa mengetahui dari mana asalnya. "Jelas itu sangat menakutkan," kata dia.Â
Bukan hanya itu, jika larangan gong ditabuh, maka beragam hewan buas yang berasal dari Gunung Guntur yang berada tak jauh dari permukiman warga, seolah "terpanggil" untuk mendekati mereka. "Mungkin itu pertanda, mereka tidak berkenan akan alunan gong itu," ujar dia.Â
Dengan fakta itu, bukan bermaksud takhayul atau mengkultuskan sesuatu, ujar dia, akhirnya hingga kini masyarakat sekitar Kampung Dukuh yang berada di kaki Gunung Guntur, enggan menggunakan alat kesenian gong, terutama gong induk atau paling besar.
"Paling kalau pun ada rampak kendang untuk silat, hanya gong kecil yang biasa dipakai, itupun harus pelan," ujar Jejen menambahkan.Â
Memang tidak ada pembenaran terhadap keberlangsungan kebudayaan itu, tetapi dalam praktiknya masyarakat sekitar lebih memilih untuk menanggalkan alat musik gong. "Namanya juga masyarakat, jika lebih baik tidak pakai gong, kan masih tetap menggelar acara kesenian daerah juga," kata dia.Â
Â
Erat Hubungan dengan Kampung Pulo, Candi Cangkuang
Kepala Seksi Seni Tradisi Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Pemda Garut, Wawan S, menambahkan adanya larangan menabuh alat musik tradisional gong, diprediksi ada kaitannya dengan budaya masyarakat kampung Pulo yang berada di kawasan cagar budaya Candi Cangkung, Leles.
Saat itu, sang prabu Raden Arif Muhammad yang tengah menggelar acara hajatan khitanan dengan menggunakan alat musik pengiring gong, diterpa musibah besar angin ribut dan hujan lebat hingga menewaskan salah satu putra kesayangannya.
"Makanya warga sekitar menyumpahi, siapa pun keturunannya yang berani menabuh gong, akan ada musibah datang," kata dia.
Meskipun demikian, ia menilai adanya larangan penggunaan alat musik gong itu tidak harus menjadi ketakutan masyarakat, tetapi harus dianggapnya sebagai warisan budaya lokal. "Kan masih banyak alat musik lainnya, jadi itu hanya mengingatkan saja," ujarnya.
Budayawan lokal Garut Frans Limiart menyatakan, larangan penggunaan alat musik gong memberikan pesan moral yang cukup mendalam. "Gong itu dalam rangkaian alat musik tradisonal justru penutup dan penyela antara alat musik lainnya," ujar dia.
Dengan filosofi itu, larangan penggunaan gong justru lebih kepada mengingatkan kepada generasi muda untuk tidak berpuas diri terhadap hasil yang sudah diraih. "Kalau gong itu penutup alat musik, bisa saja mengakhiri sesuatu, makanya jangan dulu ditabuh," ujar dia mengingatkan.
Selain itu, dengan menaati aturan tak tertulis yang telah dibuat leluhur warga sekitar kaki gunung Guntur itu, menunjukkan besarnya ketaatan warga sekitar, untuk menghormati kebudayaan lokal masyarakat.
"Justru kalau ada yang melanggar dengan menabuh gong, itu tandanya masyarakat sudah tidak peka lagi dengan kebudayaan lokal, bunyi gong itu mungkin mengingatkan," kata dia.
Â
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement