Liputan6.com, Palembang - Deretan perahu jukung berjejer di bawah dermaga Jembatan Ampera, Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel). Satu per satu nakhoda perahu tradisional saling menawarkan perjalanan jelajah Pulau Kemaro yang melegenda ke para pelancong yang berdatangan.
Chrysanthi (37) dan dua rekannya asal Jakarta tak bergeming dengan tawaran tersebut. Mereka ternyata sudah memesan satu perahu jukung di dermaga.
Pagi di awal bulan Oktober 2018 menjadi awal ekspedisi ke singgasana peradaban masa lampau ini. Perjalanan ini dimulai dengan sapaan semilir angin Sungai Musi yang sejuk.
Advertisement
Kawasan Pulau Kemaro seluas 34 Hektar terlihat di depan mata setelah perjalanan perahu jukung membelah Sungai Musi selama 30 menit. Beberapa bangunan bercat merah yang terlihat dari kejauhan, kian membangkitkan gairah mereka untuk menjelajahi lokasi wisata ini.
Baca Juga
Perahu jukung pun bersandar di tepian tangga Pulau Kemaro. Gapura bertulisan Pulau Kemaro menyambut Chrysanthi dan teman-temannya.
Setelah memasuki pintu utama, langkah para pelancong terhenti di batu prasasti legenda Siti Fatimah dan Tan Bun An. Tepatnya berada di samping Klenteng Hok Tjing Rio atau disebut Klenteng Kwan Im.
"Cerita legenda ini membuat saya penasaran, termasuk makam Siti Fatimah dan Tan Bun An di dalam klenteng," ujarnya kepada Liputan6.com.
Saat menjejaki klenteng yang dibangun tahun 1962 ini, para pelancong dihadapkan dengan meja altar sembahyang Konghucu di sisi kiri dan dua makam tanah kecil yang terjaga rapi di sisi kanan.
Dua makam tersebut yang menjadi perhatian Chrysanthi. Bunga beragam warna yang bertabur di atas makam, diyakininya sebagai jejak pelancong lain yang pernah berziarah.
Tidak hanya Chrysanthi, pelancong dari berbagai daerah pun sering mengunjungi makam ini. Walau berada di dalam klenteng umat Konghucu, para pelancong dari berbagai etnis dan agama tidak mendapatkan batasan untuk menjejaki rumah ibadah ini. Pun dengan pelancong yang menggunakan pakaian identitas agamanya.
Kuatnya toleransi antaragama di Pulau Kemaro disampaikan Cik Harun, pengurus Yayasan Pulau Kemaro Palembang.
Masyarakat Sumsel dinilainya mempunyai rasa toleransi yang tinggi dalam perbedaan. Sehingga tidak pernah ada konflik yang berkaitan dengan Suku, Agama dan Ras (SARA) di Palembang.
"Kita tidak pernah membatasi siapa saja yang mau ke klenteng Kwan Im, apalagi untuk ziarah ke dua makam tersebut," kata pengusaha toko bangunan yang lebih suka disapa Ko Awik ini.
Tradisi doa yang dipanjatkan dari penganut umat Islam dan Buddha di klenteng Pulau Kemaro terus terjaga hingga sekarang.
Â
Wisata Religi Palembang
Dari legendanya, Siti Fatimah dikisahkan sebagai puteri keluarga Kerajaan Sriwijaya yang menganut agama Islam. Tan Bun An sendiri adalah pangeran dari negara Tionghoa, yang memegang kepercayaan agama Buddha.
Sepasang kekasih beda agama ini mengakhiri kisah cintanya dengan terjun ke Sungai Musi, karena ingin membawa kembali harta karun yang terbuang ke sungai.
"Kita menghormati keyakinan mereka, begitu juga sebaliknya. Ini yang membuat kota kami Zero Conflic," lanjut Ko Awik di depan meja kerjanya.
Ko Awik merupakan generasi kedua yang didapuk menjadi pengurus Yayasan Pulau Kemaro. Selama menata pulau ini, dia tidak pernah mendapat protes dari agama dan etnis lain.
Dia bahkan mendapat dukungan dari warga lokal untuk bisa meningkatkan kawasan ini sebagai pusat wisata di Palembang. Apalagi pulau ini dipercantik dengan bangunan berlambang naga setinggi sembilan lantai.
Perhelatan agama juga sering digelar di Palembang, seperti Ziarah Qubro umat Islam, Ogoh-ogoh umat Hindu, serta perayaan hari raya agama lain yang tidak pernah ternodai dengan halangan apapun di Sumsel.
"Jika ada masalah antaragama, semua ngobrol bareng, itu kuncinya menghargai keberagaman," ucapnya.
Ada juga kawasan lainnya yang mencerminkan pluralisme ideal di Palembang masih terjaga baik.
Seperti Masjid Laksamana Ceng Ho yang berasal dari Tionghoa, Kampung Al-Munawar yang dihuni oleh warga asal negeri Yaman serta Rumah Kampung Kapitan yang dulunya merupakan rumah dinas pejabat Tionghoa di masa Pemerintahan Belanda.
Advertisement
Kekompakan Antaragama
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama Perwakilan Umat Buddha Indonesia (FKUB Walubi) Sumsel Karto Wonosono mengatakan, Pulau Kemaro menjadi salah satu penanda membaurnya seluruh etnis dan agama dengan toleransi yang kuat.
"Belum pernah ada gesekan sama sekali, walaupun Pulau Kemaro jadi wisata religi Tri Dharma di kawasan umat Islam," ungkapnya.
Sebagai penganut Tri Darma yaitu Konghucu, Buddha dan Taoisme, mereka menerima dengan tangan terbuka bagi umat lain yang ingin mengunjungi Pulau Kemaro. Termasuk melihat prosesi sembahyang umat Konghucu di dalam klenteng.
Dari kacamata Agama Islam, Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumsel Ayiek Farid menilai, kunjungan umat Islam ke klenteng Pulau Kemaro tidak akan memicu konflik antaragama.
"Itu tidak menyalahi syariah Islam, yang penting niatnya berziarah dan mengirim doa ke Siti Fatimah tidak masuk ke ritual Tri Dharma saja," ungkapnya.
Pulau Kemaro juga dikisahkan merupakan kawasan peninggalan Kyai Merogan saat melakukan syiar agama Islam di Sumsel. Meskipun MUI Sumsel belum bisa memastikan kebenaran sejarah tersebut.
Jika ada bibit konflik, para pemimpin agama di Sumsel langsung duduk bersama untuk menyelesaikannya secara damai.
"Walau ini kawasan zero konflik, masyarakat diharapkan tidak menganggap santai setiap permasalahan yang menyangkut agama," ujarnya.
Peran Besar Pemerintah
MUI Sumsel menilai, toleransi antaragama akan tetap terjaga, asalkan tidak menodai agama seperti tidak melanggar tata cara penyiaran agama serta tata cara pendirian rumah ibadah yang sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri).
Terjaganya kerukunan antarumat beragama juga terlihat saat pendirian pagoda sembilan lantai di Pulau Kemaro di tahun 2006. Pagoda ini dibangun atas ide Eddy Santana Putera, saat menjabat sebagai Wali Kota Palembang tahun 2003-2006.
Pembangunan Pagoda Pulau Kemaro tidak pernah diprotes oleh masyarakat lokal yang didominasi beragama Islam. Bahkan adanya pagoda itu, jumlah wisatawan semakin meningkat dan menambah penghasilan warga setempat sebagai penyedia kapal penyeberangan.
"Karena saya yakin, bangunan pagoda akan mempercantik kawasan Palembang, bukan untuk penyulut ketidaksukaan umat agama lain," ujar Eddy Santana Putera.
Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disbudpar) Irene Camelyn Sinaga menjelaskan, sebelum diramaikan penduduk mayoritas Islam, Sumsel dulunya dihuni masyarakat beragama Buddha di masa Kerajaan Sriwijaya.
"Keberagaman agama sudah ada dari dulu dan tetap terjaga. Pemahaman seperti itu yang kita gunakan," ungkapnya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement