Liputan6.com, Jember - Di Desa Jatian, Desa Pakusari K,abupten Jember, Jawa Timur, lahirlah seorang pendekar sekaligus pahlawan kemerdekaan Indonesia. Orang menyebutnya dengan nama P Burah atau Bura, yang terkenal sakti dan kebal terhadap segala bentuk senjata.
Dia lahir di Desa Jatian, Kecamatan Pakusari, sekitar 10 kilometer ke arah timur dari pusat Kota Jember, berbatasan langsung dengan Kecamatan Kalisat dan Mayang. Sebelum ada pemekaran kecamatan, Desa Jatian menjadi bagian dari Kecamatan kalisat.
Pria yang lahir sekitar 45 tahun sebelum Indonesia merdeka ini tumbuh menjadi pemuda yang gagah berani. Kesohor memiliki ilmu kanuragan, kebal senjata tajam, dan senjata api, Bura muda ikut berkiprah berjuang memerdekakan Republik tercinta ini, meski hanya bermodalkan senjata celurit.
Advertisement
Karena keberanian dan wibawanya, pemuda yang tumbuh menjadi pemuda tegap dan gagah ini dipercaya menjadi pimpinan laskar rakyat di wilayah Kecamatan Jember Utara, seperti Kecamatan Mayang, Kecamatan Kalisat, dan Kecamatan Ledokombo.
Baca Juga
"Pak Bura sangat terkenal berani, kebal senjata dan memiliki senjata celurit," kata Ustaz Fikri, warga yang tinggal sekitar Monomen Bura Desa Jatian Kecamatan Pakusari, Minggu, 11 November 2018.
Konon, kata Fikri, karena keberanian dan kesaktiannya, dalam masa perjuangan kemerdekaan, Bura sering menghadapi sekelompok musuh hanya seorang diri, dengan senjata celurit yang biasa dibawa ke mana-mana.
Dia tidak mempan ditembak, meski diberondong senjata api, dia tidak mengalami cedera. Ulah Bura ini, sering membuat pusing penjajah kala itu. Dia paling disegani rakyat dan orang paling dicari Belanda di Desa Jatian.
Hal senada disampaikan tokoh masyarakat dan pengasuh pesantren terbesar di Kecamatan Pakusari, KH Muhammad Hafidzi Kholis. Dia menceritakan kesaktian pahlawan asal Jember ini didengar langsung turun-temurun dari sesepuh Desa Jatian, yang menjadi teman seperjuangan Bura.
Bahkan, hingga saat ini masih ada temannya yang masih hidup, yakni Moelijan. Cerita kepahlawanan Bura sudah menjadi legenda rakyat Kecamatan Pakusari, bahkan di kabupaten Jember bagian utara.
Mendengar kesaktian dan keberanian Bura, menyulut semangat rakyat untuk bergabung berjuang untuk kemerdekaan. Tentunya hal ini membuat resah Belanda sehingga mereka tidak tinggal diam untuk menangkap Bura, baik dalam keadaan hidup atau mati.
"Saya mengetahui cerita pahlawan Bura, dari para sesepuh Desa Jatian, sudah sangat kesohor, terutama di tiga Kecamatan Jember Utara, yakni Kecamatan Pakusari, Kalisat, dan Kecamatan Mayang," kata Hafidzi.
Bura dikenal sebagai pemimpin laskar rakyat karena dia bukan anggota kesatuan TNI. Cerita terbunuhnya Bura secara tragis oleh Belanda, masih melekat di hati rakyat Jatian.
"Untuk mengenang jasa-jasanya, teman seperjuangan pura (Almarhum Pak Basri), membuatkan monumen Bura, di sekitar tempat pembakaran Bura, dipinggir sungai Desa Jatian," tutur Hafidzi.
Oleh karena itu, di sana sudah berdiri bangunan berbentuk kubus dan tugu bertuliskan "Monumen Bura". Penghapal Quran ini juga berharap pemerintah Kabupaten Jember tidak melupakan jasa-jasa Beliau, yang telah rela mengorbankan nyawanya demi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Meski tidak tercatat sebagai pahlawan nasional, setidaknya bisa dimasukkan dalam pahlawan daerah.
Dendam Kesumat Belanda terhadap Bura
Meski penjajah Belanda telah terusir dari Indonesia dan berganti dengan penjajahan Jepang, setelah Indonesia merdeka, Belanda tetap tidak melupakan Bura. Hal ini terbukti setelah terjadi agresi militer Belanda kedua, pasukan Belanda berhasil masuk ke Jember Utara bulan Juli 1947, orang yang pertama kali yang dicari adalah Bura.
Pada 26 Maret 1948, Bura berhasil ditangkap secara licik pada usianya yang ke-50 tahun. Ketua Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Polri dan TNI (FKPPI) Kecamatan Pakusari, Buang Mujiono, menceritakan bahwa Bura adalah teman ayahnya. Dia dibunuh secara sadis oleh Belanda.
Pria yang dipanggil Buang ini menjelaskan, Muhamad (ayahnya) berhasil menghindar dari sergapan Belanda kala itu. Sebab, sesuai cerita ayahnya, Bura adalah target utama karena sosok yang paling dicari Belanda.
Dia terkenal kebal senjata dan mempunyai wibawa menggelorakan semangat perjuangan rakyat. Namun, Bura akhirnya tertangkap pasukan Belanda Detasemen Mayang, yang dipimpin Sergeant Majoor P. Sapteno, setelah Belanda menyusupkan mata-mata ke dalam laskar rakyat, di desa Jatian.
Bura tertangkap dan diarak keliling Kecamatan Kalisat hingga kembali ke Desa Jatian, karena saat itu Desa Jatian masuk wilayah Kecamatan Kalisat.
"Beliau ditangkap setelah dikhianati oleh orang pribumi sendiri, yang menjadi mata-mata Belanda," jelas Buang.
Untuk menghentikan perlawanan Bura, yang sudah terkenal kebal semua jenis senjata, maka Belanda menyandera ibunya. Ibunya diminta menceritakan kelemahan Bura yang tidak mempan senjata itu.
"Karena yang disandera adalah sang ibu, maka Bura harus merelakan nyawanya, dan menceritakan kelemahannya. Tepat 26 Maret 1948, Pahlawan Bura akhirnya gugur dengan dibakar hidup-hidup hingga menjadi abu, di pinggir Sungai Jatian," kata Buang.
"Sebelum meninggal dibakar, Pak Bura sempat berwasiat jangan sampai ada keturunannya, mengusulkan untuk mendapatkan penghargaan pemerintah. Biarkanlah perjuangannya, Allah yang menilai. Soal rizki, sudah ada ketentuan," tutur Buang.
Saat momentum peringatan Hari Pahlawan 10 November 2018, monumen Bura didatangi pengunjung. Salah satunya para guru dan puluhan siswa SD, sekolah unggulan Nurul Huda Desa Plalangan Kecamatan Kalisat, Kabupaten Jember.
Menurut salah seorang guru SD unggulan Nurul Huda Desa Plalangan Kecamatan Kalisat, Wahid Hasyim, kedatangan rombongan ke tempat Monumen Bura untuk mendoakan beliau yang telah merelakan nyawanya demi kemerdekaan.
"Semoga segala perjuangannya, dinilai sebagai ibadah," katanya. Selain itu, ia berharap siswanya bisa mendengarkan langsung cerita kepahlawanan Bura sehingga bisa memiliki sikap patriotisme dan nasionalisme serta tidak melupakan sejarah para pahlawannya.
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement