Sukses

Jurus Bulog Banyumas Meredam Harga Beras yang Membubung Tinggi

Program BPNT yang digelar pemerintah dinilai menyebabkan harga gabah dan beras di eks Karesidenan Banyumas naik lebih cepat dari biasanya. Kok bisa?

Liputan6.com, Banyumas - Musim paceklik, bagi masyarakat Banyumas adalah siklus tahunan yang selalu dihadapi usai kemarau panjang. Harga bahan pokok, termasuk beras akan naik signifikan.

Kondisi ini biasanya terjadi pada Desember dan mencapai puncaknya pada awal tahun, sekitar Januari-Februari. Saat itu, petani di berbagai daerah mengalami kosong panen.

Para petani tengah merawat tanaman padi Masa Tanam Pertama (MT 1). Padi-padi ini ditanam dua atau tiga bulan sebelumnya, November-Desember, tahun sebelumnya.

Akibatnya, pada periode Januari-Februari tak ada daerah yang panen dengan jumlah signifikan untuk meredam harga yang membubung tinggi.

Namun, tahun ini harga beras naik lebih cepat dari biasanya. Hal itu dipengaruhi oleh harga Gabah Kering Panen (GKP) yang sudah mencapai Rp 5.000 lebih dan Rp 6.000 per kilogram untuk Gabah Kering Giling (GKG).

Naiknya harga gabah berakibat langsung pada harga beras yang juga naik. Harga beras premium di pasaran Rp 10.500 hingga Rp 11.000 per kilogram. Adapun harga beras medium sekitar Rp 9.000-an lebih per kilogram.

Ketua Asosiasi Perberasan Banyumas (APB) Fathurrohman mengatakan harga gabah akan bertambah tinggi seiring menipisnya persediaan gabah dan beras di tingkat petani. Di Banyumas memang ada beberapa wilayah yang panen, tetapi jumlahnya tak signifikan.

Panen hanya terjadi di kawasan lereng Gunung Slamet yang jumlah sawahnya terbatas. Luasannya hanya berkisar antara 4.000–5.000 hektare. Totalnya, Banyumas memiliki lahan seluas 32 ribu hektare.

"Memang ada panen tapi jumlahnya tidak signifikan, persentasenya kecil. Sementara permintaannya tinggi. Dengan sendirinya, harga beras ya naik," dia menerangkan, Rabu, 21 November 2018.

 

2 dari 2 halaman

Gelontoran Beras Medium Bulog

Program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang digelar pemerintah dinilai juga menyebabkan harga gabah dan beras di eks Karesidenan Banyumas naik lebih cepat dari biasanya.

Memang, dalam program BPNT itu, tak ada kewajiban untuk mengambil beras dari Badan Urusan Logistik (Bulog). Permintaan beras untuk BPNT pun rata-rata harus berkualitas bagus atau premium.

Akibatnya, pengusaha yang menyuplai beras tak bisa mengambilnya dari beras kualitas medium. Ujungnya, stok gabah digiling untuk memenuhi kebutuhan BPNT dan pasaran umum.

"BPNT ini kan permintaannya hampir serempak. Mintanya berasnya juga yang bagus. Dengan sendirinya, yang tadinya nyetok gabah ya mulai digiling," ujarnya.

Kepala Bulog Sub-Divre IV Banyumas, Sony Supriyadi mengklaim stabilisasi harga beras sudah dilakukan. Caranya yakni dengan bekerjasama dengan pedagang dari kios-kios beras Bulog yang tersebar di sejumlah pasar.

Meski belum menggelar operasi pasar, tetapi, hingga awal dasarian kedua November 2018 ini, Bulog Banyumas telah menggelontorkan sebanyak 270 ton beras medium. Beras medium itu dijual dengan harga Rp 8.250 ke pedagang.

"Ada keuntungan sekitar Rp 750 per kilogram kalau dijual Rp 9.000. HET-nya Rp 9.450 per kilogram," ucap Sony.

Selain bekerjasama dengan pedagang, Bulog Banyumas juga menggelontorkan beras ke puluhan Rumah Pangan Kita (RPK) Bulog yang tersebar di empat kabupaten, meliputi Banyumas, Cilacap, Banjarnegara, dan Purbalingga.

Dia pun mengakui, hingga kini opsi Operasi Pasar (OP) untuk menstabilkan harga belum dibicarakan. Akan tetapi, ia memastikan stok beras Bulog Banyumas siap untuk OP.

"Kita punya stok sekitar 19 ribu ton. Aman," dia menambahkan.