Sukses

Oneh, Sang Penyair Kumuh dari Aceh

Sosok yang berjasa menjaga agar jalan tersebut tetap bersih, tidak lain tidak bukan adalah Oneh. Ya, lelaki kelahiran Meulaboh, 15 April 1967 ini, adalah seorang penyapu jalanan.

Liputan6.com, Aceh - Rintik gerimis sisa hujan tadi malam belum berhenti. Sementara kabut subuh terasa begitu kentara, seolah sedang mendekap pertokoan yang berbaris gagah di pinggiran jalan Yos Sudarso, Aceh.

Orang-orang yang ada di balik beton-beton nan kokoh itu tentu saja masih terlelap di atas spring bed masing-masing, berbalut selimut atau kekasih, menyambung mimpi-mimpi, entah tentang 'mercy' atau 'lamborghini'.

Berbeda halnya dengan Oneh. Subuh begitu, dia harus bergegas bangkit dari tempat tidur. Oneh menyiapkan otot-ototnya untuk bekerja, setelah menyapa Sang Khalik.

"Selesai sembahyang saya bergegas, berangkat kerja", tutur Oneh mengawali kisahnya ditemui Liputan6.com di rumahnya, Sabtu, 24 November 2018.

Selanjutnya, Oneh berjalan kaki dari rumahnya di Desa Suak Indrapuri menuju kawasan Jalan Yos Sudarso, Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh, tempat dia menyabung mimpi-mimpinya.

Sebelum matahari menyelinap di antara dinding-dinding pertokoan, ruas jalan tersebut harus sudah bersih, agar dapat dinikmati para pengguna jalan dengan nyaman.

Sosok yang berjasa menjaga agar jalan tersebut tetap bersih, tidak lain tidak bukan adalah Oneh. Ya, lelaki kelahiran Meulaboh, 15 April 1967 ini, adalah seorang penyapu jalanan.

Kerap Oneh dengan sapu lidi dan serokan miliknya ditemui sedang berjibaku diantara sampah dan debu yang berceceran di sepanjang jalan yang jaraknya lebih kurang 600 meter tersebut. Bakda subuh dan selepas ashar adalah waktu-waktu dimana Oneh bekerja.

Bagi sebagian orang, profesi yang digeluti Oneh adalah profesi rendahan. Pasalnya, pekerjaan itu bersentuhan dengan sampah, terkesan kotor dan menjijikkan.

Tidak jarang, orang-orang yang berkendaraan di jalan tersebut memicingkan mata dengan raut wajah mengkerut, menatapnya dengan sinis, terlebih saat debu yang disapu oleh Oneh tidak sengaja terbang ke arah mereka.

Namun yang sering didapat Oneh adalah ucapan bernada ledekan dari murid-murid sekolahan yang sering lewat di jalan tersebut. Siswa-siswa yang kerap mengejek Oneh berasal dari salah satu Sekolah Menengah Pertama (SMP) ternama yang berada dekat dengan tempatnya bekerja.

"Yang mencibir itu pasti ada. Ya, namanya juga pekerjaan kita tukang sapu jalanan. Saya juga difabel. Yang banyak mencibir itu pun anak-anak generasi sekarang," ucap Oneh.

Baginya, selama pekerjaan itu menghasilkan uang yang halal, tidak hasil diminta-minta, serta bukan dari tipu menipu orang lain, maka Oneh tidak malu.

"Saya bagian dari debu itu sendiri. Sebutir debu yang tidak dianggap itu, mestinya mengingatkan kita, bahwa ada orang lain yang berada di bawah kita," kata lelaki Aceh yang suka mengenakan topi kodok itu.

2 dari 3 halaman

Lahirnya Sang Penyair Kumuh

Dulu, 31 tahun yang lalu, Sang guru bernama Ismail Masdar sangat penasaran sama seorang muridnya yang sering mengasingkan diri di dalam ruang kelas pada saat jam istirahat, sementara teman-teman sebayanya sibuk bermain di luar.

Saat dihampiri, murid tersebut terlihat lagi sibuk mencorat-coret buku pelajaran miliknya. Ismail Masdar tergelitik untuk mengetahui apa yang ditulis oleh muridnya itu.

"Kamu lagi menulis apa? Sini coba saya lihat," pintanya pada murid tersebut. Dengan malu-malu si murid memberikan buku yang penuh dengan coretan itu kepada Ismail Masdar.

"Saya tidak tahu pak, ini apa pak," jawab murid tersebut ketika gurunya mengulang kembali pertanyaan tadi. Dalam hati, Ismail Masdar rupanya menaruh kagum sama apa yang ditulis oleh muridnya.

"Ini bagus ini. Bapak ambil ya," murid tersebut hanya terdiam saat Ismail Masdar mengambil sobekan kertas yang berisi tulisan tersebut.

Dua minggu kemudian, murid tadi tiba-tiba dia dipanggil ke ruang dewan guru oleh Ismail Masdar. Dia kebingungan, salah apa gerangan dirinya hingga dipanggil ke ruang dewan guru.

Di ruang dewan guru, Ismail Masdar mencampakkan sepotong koran ke hadapan muridnya dan menyuruh agar muridnya itu membuka salah satu halaman di Surat Kabat Mingguan (SKM) Taruna Baru yang terbit di Medan, Provinsi Sumatera Utara itu.

Sang murid terbelahak demi melihat puisinya yang berjudul 'Kutambat Kapal di Dermaga mu' terpampang di rubrik sastra yang ada di koran tersebut. Di situ juga tertera namanya sebagai penulis.

"Betapa girangnya saya. Ketika itu, saya diberi honor melalui guru saya Ismail Masdar, uang sebanyak Rp 15 ribu. Uang segitu, wah! besar sekali di tahun 80an," kenang sang murid yang kini sudah berumur 51 tahun.

Remaja yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk menulis puisi itu adalah Mustiar AR, alias Oneh, seorang pujangga yang mendapuk dirinya sebagai 'Penyair Kumuh'. Lelaki yang saban hari menyibak debu dan sampah di sepanjang jalan Yos Sudarso.

Martabak untuk Ibunda

Mustiar AR, anak ketiga dari pasangan Abdul Rafar dan Siti Rohani. Kala mendapat honorarium untuk puisi pertamanya yang berjudul 'Kutambat Kapal di Dermaga mu', melalui gurunya yang juga wartawan SKM Taruna Baru, dia langsung pulang menemui sang ibu.

Betapa bahagia hati perempuan itu mengetahui karya anaknya terpampang di salah satu koran yang terbit di Medan, Provinsi Sumatera Utara tersebut.

"Saya bawa potongan koran itu ke ibu saya. Senang sekali rasanya hati ibu saat itu," tutur Oneh. Kendati coba dia sembunyikan, namun genangan air mata  dari balik topi kodok yang dikenakannya saat diwawancarai oleh Liputan6.com, begitu kentara.

Dia ingat betul pesan sang ibu. Kalimat yang diucapkan oleh ibunya ketika itu adalah ridho baginya. Sang bunda rupanya sempat merasa kesal dan sering mengomel dengan kelakuan anaknya yang saban hari kerjanya mencorat-coret buku pelajaran.

Tak dinanya, Mustiar yang saat itu bersekolah di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) Kubu Aceh Barat bukan asal mencorat-coret saja, namun, dia sedang berbicara dengan alam, menuangkan kegundahan-kegundahan, melalui bahasa puisi.

"Kalau begitu, menulislah terus," demikian pesan singkat sang ibu. Pesan ini, kelak menjadi penyemangatnya untuk tidak berhenti menulis puisi.

Martabak seharga Rp 600 yang dia belikan untuk ibunya di malam itu menambah-nambah kebanggaan di hati perempuan itu. Betapa tidak, sepotong martabak telor terkesan agak mewah di tahun-tahun tersebut.

"Itu hadiah saya untuk ibu," kata Oneh. Dia ingat betul, ada air mata yang menyelip diantara ia dan ibunya di malam itu.

3 dari 3 halaman

Dengan Berpuisi Aku Hidup, Tak Peduli Apa Pekerjaanku

'Langkah kita masih ada di kuala bubon, Namun ombak jua yang menghapus'.

Dua kalimat di atas adalah petikan puisi Oneh yang berjudul 'Kutambat Kapal di Dermaga mu'. Puisi tersebut merupakan puisi perdana sekaligus menjadi bara pemantik yang mendorong seorang Oneh untuk mengabdikan hidupnya kepada puisi.

Di samping pekerjaannya sebagai penyapu jalanan, Oneh masih terus merangkai puisi. Si Penyair Kumuh ini nyatanya punya nama yang cukup mentereng di antara para sastrawan, baik di dalam hingga di luar Aceh.

Puisinya mendapat tempat di berbagai buku sastra. Beberapa diantaranya, Antologi Puisi Seulawah, Sekilas Pintas, Nuansa dari Pantai Barat, Putroe Phang, dan Ziarah Ombak.

Selanjutnya, Ensiklopedi Penulis Indonesia Jilid 4 yang terbit di Jawa Timur, Ensiklopegila Koruptor, Puisi Menolak Korupsi, Memo untuk Wakil Rakyat Edisi Forum Sastra Surakarta, Antologi Puisi Pasie Karam, dan Antologi Puisi Untaian Sastra Bumi Teuku.

Terakhir, pada tahun 2018, antologi puisi miliknya diterbitkan oleh salah satu penerbit dari luar Aceh, berjudul Kumpulan Puisi Amuk. Saat ini, dia juga sedang menggarap novel yang mengangkat tema konflik yang terjadi di Aceh pada masa lalu.

Selain itu, puisi miliknya juga sering terbit di berbagai media cetak dan online, baik di dalam maupun di luar Aceh. Selain menulis puisi, Oneh juga menyukai dunia teater. Pada tahun 1994 silam, dia pernah ikut serta dalam event kolosal Budaya Aceh 'Adat Perkawinan Aceh Barat', dan drama 'Tewasnya Teuku Umar' yang digelar di Gedung Graha Bakti Yudha Kejagung, Jakarta.

Insting sastra seorang Mustiar AR terasah lebih tajam ketika dia bertemu dengan salah seorang penyair kawakan dari Bumi Teuku Umar, bernama Iskandar Nusa alias Isnu Kembara. Isnu Kembara juga punya jasa melambungkan nama Oneh ke seorang pimpinan surat kabar lokal yang ada di Aceh saat itu.

"Saat itu, awal kita bertemu karena saya jualan disamping tempat pangkas Isnu Kembara," demikian awal pertemuan Oneh dan Isnu Kembara yang berakhir pada persahabatan abadi keduanya. Oneh sangat menghormati Isnu Kembara. Pun sebaliknya, Isnu Kembara begitu. Kerap keduanya saling tegur sapa melalui 'memo' di puisi yang mereka tulis.

Kendati kepiawaiannya dalam mengelaborasi rasa gundah menjadi rangkaian kata-kata, sudah mumpuni, namun, oleh seorang pimpinan surat kabar yang pernah diperkenalkan Isnu Kembara ke Oneh, pernah berpesan, Oneh tidak boleh menjadi pabrik puisi.

"Saat itu, pesannya, kira-kira begini: karena puisi adalah endapan kegundahan, dia hanya diluapkan pada waktu yang tepat," Oneh mengulang harapan si pimpinan surat kabar itu.

Sempat Hilang Saat Tsunami

Oneh sempat dikira menjadi salah satu aset sastra dari Meulaboh yang ikut tewas digulung ombak saat Aceh dilanda gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004 silam. Karena tak ada kabar berita, keluarga dan rekan-rekan sastrawannya sudah pasrah, menganggap Oneh sudah tiada.

Namun, lelaki yang menamatkan sekolah di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Meulaboh itu, selamat dan sehat walafiat. Kiranya Tuhan masih memberi waktu baginya untuk terus berpuisi.

"Puisi itu ungkapan yang tidak mampu diungkapkan secara verbal. Ketika bahasa pasar tidak terpenuhi, maka berbicaralah dengan puisi", begitulah puisi menurut Oneh.

Demikian Oneh, lelaki yang saban pagi dan petang menyibak kabut, menerabas debu, diantara sampah-sampah milik para penyampah. Dia dengan sapu dan serokan, melanjutkan hidup, dan bernafas dengan puisi.

Saksikan video pilihan berikut ini: