Sukses

Menyusuri Hijaunya Pagi di Bentangan Sungai Subayang

Di tengah maraknya aktivitas tambang, menemukan sungai yang jernih hampir menjadi suatu hal mustahil di Riau.

Liputan6.com, Pekanbaru - Menemukan sungai yang jernih hampir menjadi suatu hal mustahil di Riau. Penambangan dan konversi hutan menjadi kebun sawit, serta pembalakan liar secara besar-besaran diduga menjadi faktor utama rusaknya sungai-sungai besar di Riau.

Namun, di Bumi Lancang Kuning ini, rupanya ada satu sungai besar yang kondisinya masih alami. Airnya masih jernih dan hijau sebagai pengaruh hutan lebat di segala sisinya. Masyarakat mengenalnya dengan Sungai Subayang, terletak di Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Riau.

Sungai ini membelah 200 hektare kawasan suaka margasatwa Rimbang Baling. Ada belasan desa di bantarannya, beberapa di antaranya merupakan desa adat karena masih melestarikan tradisi turun temurun untuk menghormati sungai serta daratan yang masih dihuni harimau sumatera serta satwa dilindungi lainnya.

Tak peduli terik, mengarungi sungai yang terbilang dangkal ini seolah membuat kulit terlindungi kesejukan arusnya. Di tambah lagi deretan bukit berhutan lebat yang masih termasuk gugusan Bukit Barisan nan memanjakan mata.

"Apalagi kalau pagi hari, masyarakat ataupun pengunjung bisa melihat tumpukan awan yang hampir mencapai kaki bukit. Hal yang tak mungkin dinikmati di Kota Pekanbaru," ungkap Dody selaku pembina Bengkel Seni Riau, yang satu perahu dengan wartawan ketika memulai perjalanan, akhir pekan kemarin.

Bagi masyarakat bantaran, terutama warga 16 desa adat di Subayang, sungai ini menjadi nadi dalam kehidupan sehari-hari. Keelokan sungai dengan geografis alamnya menyuburkan perkebunan karet ataupun pertanian lainnya di setiap desa.

Di berbagai desa, khususnya yang mengarah ke hulu, misalnya Desa Tanjung Beringin, Ludai, dan Songgan, tidak ada warga yang punya sepeda motor, apalagi mobil. Kalaupun ada tidak akan berguna karena hanya bisa mengitari desa saja.

"Pengganti sepeda motor ya perahu, hampir setiap warga memilikinya untuk menjual hasil kebun ataupun berbelanja kebutuhan hidup seperti minyak goreng dan gas, karena cuman itu yang tidak dihasilkan di sini," sebut pria yang juga aktif di Generasi Pesona Indonesia (GenPI) Kampar ini.

Dua jam lebih menyusuri sungai ini, antara bukit dengan bukit lainnya saling hilang serta bermunculan ketika perahu mesin berbelok melawan arus hingga ke hulu. Kian ke hulu, pemandangan kian indah dan kian sejuk terkena tempiasan air yang dibelah perahu.

Setiap penumpang perahu saling menyapa, begitu juga dengan warga desa yang ditemui di pinggir sungai. Mereka rela meletakkan pancing ataupun jaring untuk melambaikan tangan kepada perahu yang lewat.

"Ada yang kenal, ada yang juga. Beginilah cara masyarakat di sini berkomunikasi. Ramah kepada pendatang," kata Dody yang memandu perjalanan.

Di sepanjang sungai, di atasnya terlihat membentang tali dengan plastik bergelantungan. Itu merupakan tanda bagi masyarakat supaya tidak menangkap ikan di sana karena menjadi Lubuk Larangan.

Setiap desa punya dua lubuk, satu ditentukan tetua adat dan satunya lagi oleh pemuda. Selama setahun tidak ada yang boleh mengambil ikan. Panen akan dilakukan jika waktu ditentukan tetua sudah tiba.

"Tradisi mancokau (menangkap ikan) namanya. Kalau tahun ini sudah dilaksanakan, masyarakat akan menangkap ikan bersama dan makan bersama di sungai. Menu utamanya ikan yang ditangkap," sebut Dody.

Sebelum mengakhiri perjalanan untuk pulang, perahu berhenti di tepi yang masuk kedalam Desa Tanjung Belit. Di dalamnya ada air terjun yang selalu ramai dikunjungi, apalagi akhir pekan. Air Terjun Batu Dinding namanya.

Di kawasan ini, ada beberapa air terjun. Yang paling elok dan ketinggiannya bertambah tentu saja yang berada di puncak. Butuh perjalanan 1,5 kilometer ke atas dengan cara menuruni anak sungai dan mendaki perbukitan.

Stamina menjadi hal yang wajib disiapkan. Kehati-hatian menjadi utama karena mendaki batu terjal yang cukup licin. Semakin ke atas, gemuruh air terjun makin dekat ke telinga sehingga membuat langkah kaki ingin dipercepat.

 

2 dari 2 halaman

Air Terjun Batu Dinding

Setelah cukup menghela nafas karena menaiki bukit, tibalah di Air Terjun Batu Dinding itu. Tanpa ingin melepas pakaian, beberapa pelancong langsung menyelam untuk menyejukkan badan yang agak panas selama perjalanan.

Dari pinggir, lubuk air terjun ini sepertinya dangkal. Namun kiranya kehijauan air mengecoh karena makin dekat ke dinding batu air terjun airnya makin dalam hingga delapan meter.

"Tidak direkomendasikan bagi yang tidak bisa berenang, cukup di tepi dengan ketinggian dada orang dewasa saja. Kalau bisa berenang, silahkan ke dindingnya," sebut Dody.

Dinamakan Air Terjun Batu Dinding, terang Dody, dulunya bebatuan di sana belum ditumbuhi pepohonan. Dengan demikian, batu di sana mulus layaknya dinding di rumah.

"Kalau sekarang sudah berlumut dan ditumbuhi pepohonan," sebut Dody.

Dody menjelaskan, Subayang dan air terjun itu merupakan keindahan yang dianugerahkan pencipta kepada masyarakat Kampar, khususnya Kampar Kiri Hulu. Sejak sungai ini terekspos, ratusan orang berdatangan menjelajahinya.

"Namanya Subayang Holiday. Pakai pemandu lebih baik, karena perjalanan pagi sampai sore mengunjungi beberapa spot yang takkan merugikan pengunjung," sebut Dody.

Pengunjung tak perlu merogoh kocek dalam-dalam. Sewa perahu tak lebih Rp 200 ribu dan bisa diisi oleh beberapa orang. Makanan dan minuman akan ditanggung pemandu, tentunya dengan bayaran lebih lagi.

Sekadar informasi, Sungai Subayang dari Pekanbaru memakai kendaraan sekita 90 menit. Begitu masuk ke Desa Lipat Kain, berbelok ke kiri ke arah Desa Gema. Di sana ada pelabuhan rakyat.

Bagi yang tak ingin menyusuri Sungai Subayang, cukup mandi saja tanpa dipungut biaya. Namun, bagi yang ingin menikmati keindahan alam harus menyusurinya hingga ke hulu. 

 

Simak juga video pilihan berikut ini: