Liputan6.com, Jember - Fathur, seorang Guru Tidak Tetap (GTT), dari Kecamatan Balung, Kabupaten Jember, mengaku sudah 6 bulan belum menerima honor. Padahal setiap hari, dia harus mengeluarkan uang transportasi untuk pergi ke sekolah sekaligus menghidupi istri dan anaknya.Â
Curahan hati tersebut diungkapkan Fathur usai peringatan Hari Guru Nasional yang dikemas dalam aksi damai bersama ratusan Pegawai Tidak Tetap (PTT) di depan kantor Pemkab Jember, yang berlokasi di jalan Sudarman, Senin (26/11/2018).Â
Fathur menceritakan pengalaman pahit ini, dimulai setelah adanya kebijakan SP (Surat Penugasan) dari bupati.Â
Advertisement
"Sebelumnya saya mengajar di dua sekolah SD dan SMP. Karena SP-nya di SD, maka ia dilarang kepala sekolah mengajar di SMP," ungkap Fathur kepada Liputan6.com.
Dengan larangan seperti itu, ia manut saja, karena berpikir mengurangi beban mengajarnya. Apalagi Bupati telah berjanji bagi penerima SP akan mendapatkan honor sesuai masa kerja. Pembayaran honor dibebankan kepada sekolah.Â
"Masa kerja dua tahun Rp 300 ribu, empat tahun Rp 400 ribu, enam tahun Rp 500 ribu. Walaupun hasil setiap dua tahun naik Rp 100 ribu," kata Fathur di momen Hari Guru Nasional.
Namun, hingga saat ini di tengah masyarakat Indonesia yang tengah merayakan Hari Guru Nasional, sudah enam bulan, janji itu belum terealisasi. Apalagi janji Bupati Rp 1,4 juta, masih jauh dari harapan. Meski sudah mendapatkan SP, honor dia belum juga dibayarkan.   Â
Selain itu, kata Fathur, dengan SP, sudah tertutup untuk mendapatkan sertifikasi pendidik, karena salah satu syarat adalah melampirkan SK Bupati, bukan SP.   Â
Meski belum menerima honor, ia tidak berhenti mengajar. Untuk mencukupi kehidupan sehari, ia "menambalnya" dengan bertani dan berwirausaha.
Â
Cerita Lainnya
Cerita miris lainnya juga diungkap oleh Poniman (50), seorang Pegawai Tidak Tetap (PTT) di Kecamatan Sumbersari Kabupaten Jember, Jawa Timur. Dirinya terpaksa harus bekerja sampingan, menarik becak, supaya bisa menghidupi istri dan anak-anaknya.
Harapan menjadi PNS pun sudah dikubur dalam-dalam, karena usia sudah tidak muda lagi. Namun pekerjaan ini, tetap ditekuni. Dia berharap ada kebijakan pemerintah Kabupaten Jember untuk mau meningkatkan kesejahteraan, yang belum kunjung didapatnya.
"Sudah 20 tahun menjadi PTT sebagai penjaga sekolah dan sekaligus bertugas membuka pintu sekolah," kata Poniman.  Â
Ia menjelaskan, saat awal masuk kerja, ia hanya dibayar Rp 50 ribu tiap bulan. Beberapa bulan kemudian naik Rp 100 ribu, Rp 150 ribu, hingga sekarang naik menjadi Rp 200 ribu per bulan.
Tentunya jumlah honor seperti itu tidak bisa mencukupi biaya hidup, untuk kebutuhan pribadinya. Apalagi dia harus menghidupi istri dan tiga anaknya. Â
Karena itu, ia tidak bisa mengandalkan honor dari bekerja sebagai PTT, untuk menutupi biaya hidup dan pendidikan anaknya, Poniman bekerja sampingan menjadi tukang becak di kala senggang.
"Saya berangkat ke sekolah sekitar jam 05.00 WIB. untuk membuka pintu. Waktu menunggu masuk sekolah sebelum jam 07.00 WIB, saya manfaatkan untuk narik becak," tutur Poniman. Â
Setelah itu terus ia berada di sekolah. Baru setelah pulang sekolah, ia kembali mengayuh becaknya lagi. Dia juga mengaku tidak pernah memberi uang saku kepada anaknya, setiap pergi ke sekolah, karena memang tidak ada. Beruntung anak-anaknya masih pengertian terhadap kondisi Poniman.
Advertisement