Liputan6.com, Balikpapan - Warga Kelurahan Jawa, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur menuntut ganti rugi menyusul putusnya jalan poros provinsi di Sangasanga. Jalan penghubung Sangasanga–Muara Jawa, Samarinda longsor sepanjang 10 meter yang diduga akibat aktivitas pertambangan batu bara PT Adimitra Baratama Nusantara.
"Area yang longsor lokasinya bersebelahan dengan lubang tambang perusahaan batu bara," kata warga RT 09 Kelurahan Jawa, Kutai Kartanegara, Adi Prayitno kepada Liputan6.com, Selasa (4/12/2018).
Warga setempat sempat dikagetkan amblesnya area seluas 1 kilometer persegi memutuskan jalur poros provinsi di Sangasanga, Kamis (29/11/2018). Hanya dalam tempo sekian detik, kawasan itu ambles hingga mencapai 10 meter sehingga mengubur 6 rumah warga lokal.
Advertisement
Adi mengatakan, perkampungannya berbatasan langsung dengan lokasi eksploitasi tambang PT Adimitra Baratama Nusantara. Jarak antara area pertambangan dengan perkampungan hanya dipisahkan dinding perbukitan.
"Kalau diukur hanya berjarak 100 meter antara perkampungan dan lokasi pertambangan," tutur Adi.
Faktor ini pula yang diduga menjadi penyebab amblesnya sebagian area di tiga RT Kelurahan Jawa, Sangasanga. Pasalnya, perusahaan tambang masif mengeruk area perbukitan seluas 2 kali lapangan bola hingga menembus kedalaman 100 meter.
"Kami menduga air hujan menggerus tanah perkampungan serta membawanya menuju lubang pertambangan," ungkap Adi.
Padahal sejak semula sudah ada penolakan rencana eksploitasi pertambangan di sekitar Kelurahan Jawa. Warga memprediksi keberadaan pertambangan hanya menimbulkan kerugian bagi lingkungan.
"Kami sudah menolak saat perusahaan melakukan sosialisasi awal bulan Februari. Warga khawatir lokasi pertambangan terlalu dekat dengan pemukiman. Semestinya pertambangan berjarak 1 kilometer dari pemukiman warga," sesalnya.
Persoalan ini pula melatari aksi penolakan tambang sepanjang bulan Februari. Warga berinisiatif menggelar demo mencegah dimulainya eksploitasi pertambangan.
"Namun perusahaan ngotot melakukan pertambangan. Mereka beralasan sudah mengantongi izin Pertamina. Area ini memang merupakan zona merah konsesi Pertamina," ujarnya.
"Kami berhenti demo saat perusahaan mengancam akan melaporkan polisi," imbuhnya.
Namun kini, Adi menyesalkan, ratusan tetangganya harus menanggung dampak negatif pertambangan. Ia mencatat setidaknya ada 6 keluarga kehilangan tempat tinggal berikut 35 keluarga yang terkena dampak tidak langsung permasalahan ini.
Sehubungan itu, Adi menuntut pertanggung jawaban ganti rugi pada pemerintah serta perusahaan tambang. Pemerintah Provinsi Kaltim dianggap lalai dengan memberikan izin eksploitasi pertambangan di Kelurahan Jawa.
"Kami sudah menyurati seluruh instansi terkait, namun tidak pernah memperoleh tanggapan. Mereka harus bertanggung jawab," ujarnya.
Warga terdampak tidak langsung menuntut besaran ganti rugi Rp500 ribu–1,5 juta per hari. Total ganti rugi ini belum mencakup relokasi 6 rumah warga yang hancur di lokasi bencana.
“Kami juga meminta permintaan maaf dari pemerintah dan perusahaan,” tutur Adi.
Tanggapan LSM Jatam
LSM Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Kaltim, mengungkapkan, dampak negatif pertambangan salah satunya adalah penurunan ketahanan alam sekitar. Demikian pun bencana longsor maupun ambles disebabkan terjadinya peralihan ketahanan tanah.
“Industri pertambangan kerap mempergunakan bahan peledak untuk menggugurkan dinding perbukitan. Ledakan terus menerus tentunya berdampak pada lingkungan sekitarnya,” kata Dinamisator Jatam Kaltim, Pradharma Rupang.
Proses masif pertambangan sudah merubah kontur alam di Kelurahan Jawa. Hal ini pula menjadi penyebab utama amblesnya area seluas 1 kilometer persegi di kelurahan ini.
“Kejadian yang kedua kalinya pada 5 November 2013,” ungkapnya.
Dalam kasus ini, Rupang menyatakan, perusahaan terbukti melanggar aturan pertambangan di mana salah satu pasal mengatur jarak aman dengan aktivitas warga.
Sesuai ketentuannya, pertambangan memang harus berjarak lebih dari 1 kilometer dari aktifitas masyarakat.
“Namun jaraknya ternyata hanya 100 meter saja,” ujarnya.
Padahal, kondisi serupa masih mengancam pemukiman di area yang berbatasan dengan anak perusahaan PT Toba Bara Group ini. Jatam Kaltim mencatat belasan rumah warga yang lokasinya beririsan langsung dengan konsesi PT Adimitra Baratama Nusantara.
Karenanya, Rupang menuntut, Pemprov Kaltim mencabut izin usaha pertambangan perusahaan yang sudah terbukti melanggar aturan amdal. Langkah penegakan hukum perlu dilakukan terhadap perusahaan lain yang merampas lahan warga di Kecamatan Sangasanga, Muara Jawa dan Loa Janan.
Selain itu, Rupang meminta pemerintah secepatnya memulihkan kondisi sosial ekologi lingkungan masyarakat akibat praktik pertambangan. Industri pertambangan sudah acap kali menimbulkan bencana lingkungan di Kaltim.
Jatam Kaltim memang gigih melawan dominasi industri pertambangan. Ini pula sepertinya yang membuat mereka kerap mengalami peristiwa tidak mengenakan.
Salah satunya, peristiwa pembobolan kantor sekaligus pengrusakan motor di awal November lalu.
“Pembobolan kantor Jatam Kaltim bersamaan kampanye soal korban lubang tambang yang sudah mencapai 32 orang,” tutur Rupang.
Ini merupakan kedua kalinya intimidasi dialami aktivis lingkungan melawan pertambangan. Lima tahun sebelumnya, mereka bahkan menerima ancaman sekelompok preman yang menenteng senjata api.
“Kedua kalinya diintimidasi kelompok preman di kantor Jatam Kaltim,” ungkap Rupang.
Meskipun begitu, Rupang bergeming dengan tetap menuntut penindakan hukum terhadap segala bentuk kenakalan pertambangan. Intimidasi terhadap Jatam Kaltim, menurutnya, sebagai pertanda ada pihak terganggu kampanye lingkungan mereka ini.
“Kami meyakini ini berkaitan dengan laporan, advokasi, dan kampanye yang disuarakan,” ujarnya seraya menambahkan kasusnya dalam proses penyelidikan Polresta Samarinda.
Advertisement
Saling Tuding
Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Kaltim, turut menuding perusahaan pertambangan yang berada dibalik bencana amblesnya tanah Kelurahan Jawa.
“Diduga ada kaitannya amblesnya tanah dengan keberadaan pertambangan. Idealnya kawasan penyangga sejauh 500 meter dari lokasi inti,” ungkap Kepala Distamben Kaltim, Wahyu Widhi Heranata.
Wahyu pun memerintahkan penghentian seluruh aktifitas pertambangan di area pit 1 west perusahaan. Saat bersamaan, perusahaan secepatnya diminta melakukan reklamasi serta revegetasi di bekas area pit 1 west.
“Meskipun curah hujan sedang tinggi hingga kecuraman tebing dinding yang tidak tahan lagi dengan tekanan,” sebutnya.
Pemprov Kaltim kini sudah memerintahkan investigasi menyeluruh aktivitas pertambangan yang berdampingan pemukiman warga. Mereka tidak ingin peristiwa serupa kembali terjadi hingga merengut korban jiwa dan harta benda.
Blok Sangasanga merupakan wilayah kerja PT Pertamina (Persero). Pertamina EP 5 dipercaya melakukan eksploitasi ratusan sumur tua peninggalan zaman Belanda.
“Kami mengelola Blok Sangasanga sejak Belanda,” tutur Legal and Relationship Pertamina EP 5, Anton Sumartono.
Namun dalam beberapa tahun terakhir, ada tumpang tindih kelola lahan antara Pertamina dan sejumlah perusahaan pertambangan. PT Adimitra Baratama Nusantara merupakan salah satu perusahaan yang beraktifitas di area Pertamina.
“Mungkin karena instansi yang menerbitkan izin berbeda sehingga terjadi tumpang tindih lahan,” papar Anton.
Ini pula yang melatari terbitnya perjanjian pemanfaatan lahan bersama (PPLB) antara Pertamina dan PT Adimitra Baratama Nusantara.
Namun, perjanjian tidak secara spesifik menjelaskan teknis pertambangan. Anton menyebutkan, perusahaan pertambangan tetap berkewajiban mengurus izin pertambangan dengan instansi terkait.
“Perusahaan pertambangan harus mendapatkan izin instansi terkait. Pertamina tidak ada kaitannya dengan teknis pertambangan mereka,” tegasnya.
Simak juga video pilihan berikut ini: