Sukses

Perjuangan Supiah dan Stigma Orang Lokasi di Dusun Talangsari

Peristiwa berdarah Talangsari menyisakan luka dan trauma mendalam. Supiah berjuang menghidupkan lagi dusunnya.

Liputan6.com, Jakarta - Supiah adalah seorang ibu rumah tangga di Dusun Talangsari III, Kabupaten Lampung Timur. Ia memiliki mimpi sederhana agar dusunnya tidak lagi mati. Peristiwa berdarah yang terjadi beberapa tahun silam pada Februari 1989 berdampak panjang hingga hampir tiga dekade untuk warganya.

"Saya ingin dusun saya tidak menjadi dusun mati. Dulu kegiatan apa pun tidak ada. Tujuh belasan saja tidak ada. Mau lihat apa-apa harus ke desa tetangga," tuturnya.

"Perayaan tujuh belas Agustus sudah meriah. Tidak seperti dulu. Tahun-tahun belakangan ini saya merasa merdeka," ujarnya.

Peristiwa Talangsari 1989 adalah insiden berdarah yang terjadi di antara kelompok Warsidi dengan aparat keamanan di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah). Peristiwa ini terjadi pada 7 Februari 1989.

Peristiwa kelam itu menyisakan luka dan trauma mendalam. "Orang-orang lokasi", begitu sebutan untuk para penyintas yang kembali tinggal ke tempat asal di Dusun Talangsari III--kini menjadi Dusun Subing Putra III--setelah sempat mengungsi.

Supiah menceritakan kondisi warga, "Ibu Rasemin itu traumanya sampai sekarang. Sangat tertutup. Kalau ada acara dia sama sekali tidak mau datang. Anaknya meninggal, tidak tahu di mana dikuburkannya."

Selain trauma, stigma dan diskriminasi terhadap "orang-orang lokasi" juga berujung pada eksklusi sosial. Mereka tidak diterima masyarakat dan kemudian membuat mereka tidak dapat menikmati fasilitas dan layanan publik seperti umumnya.

"Tahun 2005 saya punya anak, laki-laki masih kecil. Ketika itu ada imunisasi polio. Lantas ada teman yang cerita, 'Kenapa semuanya diminta ke sana kok saya enggak? Katanya orang lokasi tidak boleh diajak'. Sudah seperti anak tiri," kenang Supiah.

Sejak 2016, Supiah memutuskan tidak tinggal diam melihat kondisi dusunnya dengan relasi sosial yang rusak akibat peristiwa masa lalu. Ia giat mengumpulkan kelompok ibu-ibu dan membentuk kelompok untuk memberdayakan ekonomi mereka.

Meski demikian, upayanya juga tidak serta-merta mudah dan lancar. Penolakan demi penolakan juga ia kerap terima. Namun, kegigihan membuahkan hasil.

"Ibu Rasemin itu saya rayu terus. Saya ajak kegiatan, saya jemput dengan motor. Saya ajak pengajian, masak bareng-bareng untuk acara tahlilan dan pengajian. Sekarang dia mau bersatu dan berbaur dengan ibu-ibu yang lain semua," terang Supiah dengan bangga menceritakan perubahan kondisi di dusunnya.

 

2 dari 2 halaman

Memberdayakan Ibu-Ibu

Supiah mengajak "orang lokasi" untuk datang di kegiatan pengajian hingga Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) agar terdapat ruang interaksi dan bersosialisasi dengan masyarakat. Melalui ruang dan forum-forum inilah, stigma dan diskriminasi yang melekat perlahan luntur. Relasi sosial kembali terjalin.

Untuk memberdayakan ibu-ibu, Supiah juga rajin mengajak kelompoknya untuk berpartisipasi dalam kegiatan bazar, memasak apa yang ada di desa dan bisa diolah.

"Potensi yang ada di desa kami seperti singkong, pisang, talas. Ya itu yang kita masak dan olah. Tidak perlu cari ke dusun lain. Hasilnya dijual di kegiatan bazar. Saya ajak ibu-ibu untuk masak buat keripik singkong, talas, dan berbagai penganan lain," ungkapnya.

Supiah juga memiliki mimpi yang lebih besar yang sedang ia upayakan. Membangun koperasi adalah cita-citanya agar ibu-ibu dapat menabung dari keuntungan hasil penjualan olahan dan mengakses bantuan pinjaman.

Senam kesehatan juga dilihat Supiah sebagai salah satu kegiatan yang dapat membangun keakraban masyarakat sekaligus perlahan menyembuhkan luka para penyintas. Kegiatan ini baru akan ia rintis. Ide, inovasi, serta semangat seakan tanpa henti menghampiri sosok perempuan dengan dua cucu ini.

"Saya ingin dusun saya lebih maju dari dusun-dusun lainnya agar tidak ketinggalan dengan yang lainnya," kata Supiah.

Supiah adalah satu dari ribuan sosok Pandu Inklusi Nusantara (PINTAR) di seluruh Indonesia yang berjuang untuk inklusi sosial bagi kelompok marginal dan terpinggirkan. Momentum perayaan kemerdekaan Indonesia menjadi bukti Dusun Talangsari tak lagi mati. Tidak perlu lagi main ke dusun tetangga itu melihat hajatan tahunan yang meriah.

"Sekarang sudah ada acara sendiri. Anak-anak bisa ramai, bahagia, tertawa, ikut lomba-lomba. Ibu-ibunya juga ikut bergabung. Tarik tambang, tanding masak antar RT, macam-macam," cerita Supiah.

 

Simak video pilihan berikut ini: