Sukses

Lukisan Cinta Sayed Dahlan Al Habsyi dari Serambi Mekah

Sayed Dahlan Al Habsyi bukan ulama, penceramah, atau ustaz. Dia menorehkan Aceh Tempo Doeloe di atas kanvas.

Liputan6.com, Aceh - Sayed Dahlan Al Habsyi (72) bukan ulama, penceramah, atau ustaz. Dia bak time traveler' atau penjelajah waktu. Setiap yang dijelajahinya diabadikan di atas kanvas, menjadi lukisan.

Lelaki sepuh kelahiran Panton Labu 15 Juni 1946 ini dikenal oleh para sejarawan, karena kepiawaian tangan dan imajinasinya yang luar biasa dalam menorehkan Aceh Tempo Doeloe di atas kanvas.

Banyak karya lukis milik pria yang akrab disapa Ami Dahlan ini dijadikan patokan oleh para sejarawan. Salah satu master piece-nya adalah kompleks Kerajaan Aceh Darussalam, Istana Darud Donya.

Menariknya, lukisan tersebut menurut Ami Dahlan belum selesai, sejak pertama kali digarap pada akhir 2002 silam. Jika dihitung, sudah 15 tahun sang pelukis figura itu menghabiskan waktu untuk salah satu mahakaryanya itu.

Kompleks istana Darud Donya garapan Ami Dahlan dilukis di atas kanvas berukuran 4 x 1,5 meter. Isinya suasana kerajaan, bentang alam, dan aktivitas di sekitarnya kerajaan tersebut.

"Sampai sekarang belum selesai. Ada saja yang perlu ditambah. Istana Darud Donya. Kadang-kadang letak bangunan harus dipindah, sesuai dengan hasil penjajakan sejarah," ujar Ami Dahlan, kepada Liputan6.com, Kamis, 13 Desember 2018, malam.

Beberapa karya milik Ami Dahlan yang cukup dikenal seperti lukisan momen tertembaknya Jenderal Johan Harmen Rudolf Köhler saat dia dan ribuan pasukannya menyerang Aceh pada 1873.

Selain itu, ada juga lukisan Laksamana Malahayati, Sultan Iskandar Muda dan puluhan lukisan lainnya. Dia pernah membimbing para seniman muda melalui Sanggar Seni Rupa Sayed Art miliknya. Ami Dahlan mengampu banyak murid. Salah seorang keturunannya juga seorang pelukis.

Ami Dahlan berharap, melalui lukisannya itu, orang-orang tetap mengingat bagaimana sejarah Aceh di masa lampau. Meski dia bukan ulama, penceramah, atau ustad yang menyatukan umat, namun dia berharap, melalui lukisannya, orang-orang tenggelam dan dipersatukan oleh romantisme sejarah.

"Orang-orang harus mengingat sejarah," ujar pria yang mengaku sempat mengalami masa-masa kelam saat tragedi 1965 itu. Dia mengaku ada kesan sedih yang mendalam menyaksikan pembantaian terhadap orang-orang tertuduh PKI saat itu.

Saat ini, lukisan-lukisan Ami Dahlan bisa dilihat di galeri kecil miliknya di Cunda, Kota Lhokseumawe, [Aceh](3580714/ ""). Dia kerap ditemui sedang meliuk-liukkan kuasnya di atas kanvas. Sehari-hari pria lulusan sekolah dasar di Tebing Tinggi ini sering menghabiskan waktu untuk melukis.

 

2 dari 2 halaman

Lukisan dan Darah Nabi

Sayed Dahlan kecil mulai suka melukis sejak kelas dua sekolah dasar. Saat itu, dia kagum terhadap seorang gurunya yang juga suka melukis. Dalam hati, dia berharap seperti gurunya itu. Dan terkabulkan.

Beranjak sekolah menengah, karya Ami Dahlan mulai dikenal Ia menjadi partner seorang komikus nasional kala itu, Takuan Harjo. Mereka mengisi rubrik 'komis' di Harian Pembangunan terbitan Medan. Jika dihitung-hitung, karyanya sudah ribuan, tidak termasuk lukisan.

"Saya memang sudah senang menggambar dari kecil. Kelas dua sekolah dasar lihat guru menggambar hitam putih saat itu. SMA saya mulai buat komik dan sebagainya. Lalu mulai tergerak melukis figura sampai saat ini," tutur suami Syarifah Aminah ini.

Nasab Nabi

Sayed Dahlan Al Habsyi masih punya nasab dengan Rasulullah. Dia juga sama seperti para habib-habib lain di Indonesia. Ami Dahlan adalah keturunan ke V dari Habib Abdurrahman Bin Alwi Al-Habsyi atau Habib Bugak Al Asyi. Dia adalah seorang syekh asal Mekkah. Menurut dia, buyutnya itu datang ke Kerajaan Aceh Darussalam atas panggilan sultan saat itu.

Dia bersama dua ulama lain dari Mesir dan India diminta menyelesaikan suatu perkara. Dan berhasil. Pada tahun 1220an hijrian atau 1800an masehi, Habib Bugak kembali ke Mekkah menemui keluarganya.

Ulama itu digadang-gadang punya jasa memperkenalkan Aceh pada dunia internasional. Akhir 1224 hijriah, dia mewakafkan sebidang tanah beserta rumah bersebelahan dengan Masjidil Haram yang diperuntukkan untuk orang Aceh, baik yang bermukim atau yang jama'ah haji. Nama yang digunakannya saat itu adalah Bugak, yang notabene nama sebuah daerah di Aceh.

"Sayed Dahlan bin Abdurrahman bin Syaufi bin Ahmad bib Husein bin Abdurrahman atau Habib Bugak. Itu nama saya kalau diurutkan," sebut Ami Dahlan.

Begitulah Sayed Dahlan Al Habsyi. Bukan ulama, penceramah, ustaz. Dia berupaya menyatukan manusia melalui sejarah.

Video Terkini