Liputan6.com, Bengkulu - Pesisir Pantai Bengkulu yang berhadapan langsung dengan laut lepas Samudera Indonesia memiliki panjang garis pantai sejauh 527 kilometer. Beberapa wilayah yang memiliki pasir putih halus merupakan lokasi sangat strategis bagi para penyu laut mendarat untuk bertelur.
Penyu laut atau oleh masyarakat Bengkulu disebut Katung yang menepi ke daratan ini menjadi incaran manusia hingga hewan predator untuk mengambil telur bahkan daging dan kulitnya. Jika tidak disikapi, bukan tidak mungkin, hewan yang dilindungi tersebut akan punah.
Adalah Zulkarnedi (56), nelayan pesisir pantai Desa Pekik Nyaring, Kabupaten Bengkulu Tengah, tergerak hatinya untuk mengabdikan diri sebagai penyelamat penyu laut atau katung sejak tahun 2011. Keberadaan katung yang saat ini sudah hampir punah menggerakkan bapak enam anak tersebut secara swadaya membentuk kelompok penyelamat katung bernama Alun Utara.
Advertisement
"Jika tidak diselamatkan dari sekarang, jangan harap anak cucu kita akan melihat bentuk fisik Katung ini," tegas Zulkarnedi di lokasi penangkarannya Kamis 10 Januari 2019.
Baca Juga
Sudah ribuan anak penyu atau Tukik hasil penangkaran kelompok ini dilepasliar ke Samudera Indonesia. Pria sederhana ini bahkan tidak mengetahui dan terlibat saat beberapa lembaga yang melakukan prosesi lepasliar tukik dan diberitakan media massa beberapa waktu terakhir.
Dia tidak pernah tampil di depan, baginya melestarikan dalam upaya penyelamatan katung adalah kegiatan menebus dosa masa lalu yang dilakukan para pemburu hewan dan telur katung. Setiap hari waktunya dihabiskan berkutat dengan telur-telur penyu yang menjadi calon bayi dan ratusan tukik yang harus dibesarkan hingga siap dilepas kembali ke habitatnya.
"Telur dan tukik ini sangat sensitif, harus dirawat setiap hari, tidak boleh lengah," ujarnya.
Saat paling merepotkan menurut suami dari Mulyana tersebut adalah ketika telur mulai menetas. Dia harus mengangkat satu persatu tukik yang keluar dari cangkang telur dan mengguntingnya dengan menyisakan sedikit kuning telur yang menempel sebagai sumber makanan tukik sebelum mendapat asupan makanan lain.
Penetasan yang serempak hingga ratusan ekor ini, harus ditangani secara cepat. Untuk menghindari saling tindih dan salah penanganan. Nyawa para tukik dipertaruhkan, jika tidak sigap dan cekatan, kegagalan penetasan akan terjadi dan waktu 3 bulan pengeraman akan sia-sia saja.
"Saat menetas, seluruh anggota keluarga termasuk para relawan terlibat aktif, jam berapapun itu," lanjutnya.
Membesarkan anak penyu atau tukik juga menjadi pekerjaan rutin. Kondisi air pantai Desa Pekik Nyaring yang sering keruh membuat dia dan anggotanya harus menjemput air dari pantai Tapak Paderi Kota Bengkulu yang berjarak lebih dari 10 kilometer dari lokasi penangkaran. Ratusan liter air laut diangkut menggunakan sepeda motor secara terus menerus setiap hari. Ini dikarenakan mereka tidak memiliki alat penyaring air.
Â
Â
Sempat Dianggap Gila
Upaya penyelamatan Katung oleh Zulkarnedi awalnya mendapat cibiran para tetangganya. Diawali dengan menanam pohon cemara laut atau pohon "Eru" di pantai belakang rumahnya sepanjang 3 kilometer. Tujuannya untuk menyediakan lokasi pendaratan katung yang nyaman dan melindungi telur yang ditanam induk katung di pasir yang teduh.
Berhari-hari, dia terus mencari bibit pohon cemara dan terus menanam. Pekerjaannya sebagai nelayan pencari ikan, sejenak ditinggalkan. Dia bahkan dianggap gila oleh masyarakat. Tetapi sekarang semuanya berbalik, cemara yang ditanam sejak tahun 2011 itu sudah besar dan rindang. Masyarakat bahkan memujinya dan berupaya membantu menjaga kawasan yang sebelumnya sangat terik dan panas menjadi teduh.
Awal melakukan penangkaran katung, Zulkarnedi mencari sendiri telur-telur katung yang ditanam induknya pada malam hari di pesisir pantai. Sambil mempelajari prilaku penetasan dan perawatan tukik. Jika telur ditemukan warga, dia bahkan rela merogoh kocek sendiri untuk mengganti uang lelah masyarakat.
Alhamdulilah, saat ini, pemerintah melalui Dinas Kelautan dan Perikanan memberikan uang pengganti dan membayar kepada masyarakat sebesar Rp 8.000 untuk satu butir telur yang masuk ke penangkaran milik kelompok peduli penyu Alun Utara yang dikelola Zulkarnedi.
Sedangkan untuk biaya perawatan dan pembesaran telur menjadi tukik siap lepas, kelompok ini juga diberi uang insentif sebesar Rp 7.000 per ekor tukik hidup siap lepas. Uang tersebut digunakan untuk membeli BBM kendaraan pengangkut air, biaya listrik dan pembelian pakan untuk makanan tukik.
Â
Advertisement
Katung Sahabat Nelayan
Keberadaan Penyu Laut atau Katung ternyata sangat membantu para nelayan tradisional saat mencari ikan di laut. Jika nelayan melihat katung berenang di perairan, dipastikan lokasi tersebut banyak ikan yang bisa dipancing atau dijala.
Menurut Zulkarnedi, Katung sangat sensitif terhadap kondisi air. Jika kotor dan tidak mengandung makanan, dia akan berpindah dan mencari lokasi lain untuk menetap. Sama seperti ikan, bedanya, ikan tidak akan muncul ke permukaan, sedangkan katung sesekali naik untuk bernafas.
"Katung itu sahabat kami para nelayan, jika melihatnya, kami langsung mengetahui disana banyak ikan," kata Zulkarnedi.
Para nelayan pesisir pantai Bengkulu bahakn sudah menandai salah satu gugusan karang bawah laut yang sering muncul katung dengan nama Karang Katung. Kesepakatan tidak tertulis dijalankan nelayan, jika ada katung terpancing ataupun tersangkut jalan, wajib dilepaskan kembali. Jala milik Zulkarnedi sendiri bahkan pernah tersangkut Katung yang beratnya diperkirakan mencapai 300 kilogram.
"Kita tidak boleh egois, Katung itu dilindungi undang-undang, ancaman hukumannya jelas jika kita membunuhnya," lanjut Zulkarnedi.
Â
Cita-cita Konservasi dan Edukasi
Keberadaan rumah penangkaran Penyu atau Katung milik kelompok nelayan Alun Utara ternyata menarik minat para mahasiswa Universitas Negeri Bengkulu untuk melakukan penelitian. Beberapa mahasiswa secara rutin mendatangi lokasi ini, bahkan salah seorang mahasiswa Jurusan Perikanan sudah menyelesaikan skripsi dan diwisuda menjadi sarjana.
Bagi Zulkarnedi yang berpendidikan sangat rendah ini, kedatangan para mahasiswa tidak hanya bertanya, mereka sering melakukan diskusi dan memberi masukan berdasarkan ilmu yang didapat di bangku kuliah. Pengetahuan alami atau otodidak yang dipelajarinya dari para pendahulu dan belajar dari alam disatukan dengan pengetahuan akademik dirasa sangat bermanfaat dalam praktek di rumah penangkarannya.
"Tidak hanya bertanya, mahasiswa itu juga memberikan ilmu kepada saya," ujarnya.
Rumah penangkaran kelompok Alun Utara yang berada di tepi pantai Desa Pekik Nyaring Kabupaten Bengkulu Tengah ini sangat strategis, tidak jauh dari pusat Kota Bengkulu, memiliki lahan yang luas dan rimbun. Cita-cita Zulkarnedi dan kawan-kawan, ini menjadikan lokasi tersebut sebagai tempat belajar, tempat berlibur sambil melakukan gerakan konservasi penyelamatan penyu.
"Lokasi ini harus ditata, dikelola dan dimanfaatkan untuk banyak hal," kata Zulkarnedi.
Aktivis Lingkungan Bengkulu Harry Siswoyo mengatakan, pemerintah harus turun tangan untuk mengelola potensi yang sudah berjalan ini. Sektor pelestarian alam dan hewan, pendidikan, pariwisata hingga pemberdayaan ekonomi masyarakat bisa dilakukan disini.
"Tinggal dipoles, lakukan gerakan, semuanya akan jalan. Sekarang tergantung pemerintah mau atau tidak saja," tegas Harry.
Â
Advertisement