Sukses

Ada Tato Ikan Duyung di Pusar, Daya Tarik Sunan Kuning?

Sekarang menjual tubuh di lokalisasi Sunan Kuning Semarang tak bisa hanya mengandalkan nama besar dan legenda prostitusi itu.

Liputan6.com, Semarang - Nama resminya Panti Resosialisasi Argorejo. Namun, masyarakat Semarang lebih mengenal dengan nama Sunan Kuning. Disingkat SK. Sebuah lokalisasi yang cukup tua dan bertahan hingga era milenial. Untuk bertahan, pola pemasaran mereka juga berubah.

Sebut saja namanya Jasmine. Dia berjanji bertemu dengan Liputan6.com di sebuah warung kopi.

"Selamat pagi, sudah lama menunggu?" sapaan halus terdengar akrab di telinga.

"Belum, kok. Kopi saya juga belum jadi."

Obrolan kemudian menjadi akrab. Ditemani segelas kecil kopi instan, Jasmine bercerita kondisi Sunan Kuning saat ini. Ia datang masuk Semarang tahun 2016. Begitu datang langsung ditampung di sebuah rumah di lokalisasi Gambilangu, sebuah lokalisasi di perbatasan Kabupaten Kendal dan Semarang.

Di sana Jasmine hanya bertahan setahun. Kondisinya sepi, sementara biaya hidup cukup tinggi. Belum lagi urusan makeup dan juga bayar utang kepada mami sebagai pengganti kedatangannya pertama.

"Itu kan luas, Mas. Tamunya juga bukan kelas bos-bos besar," katanya.

Lepas dari Gambilangu, ia mencoba peruntungan di panti pijat tradisional dan salon. Hasilnya sama saja, bahkan lebih buruk karena harus indekos, sebulan Rp 750 ribu. Beda dengan di Gambilangu yang biayanya dihitung per tamu yang dilayani.

Jasmine kemudian diajak temannya yang sama-sama berasal dari Sukabumi pindah ke Sunan Kuning. Tahap awal ia diminta belajar menyanyi oleh sang mami.

"Di Sunan Kuning nyaris semua berubah menjadi rumah karaoke. Kita bertugas menemani tamu yang hendak nyanyi-nyanyi," katanya.

Dari nyanyi-nyanyi itulah biasanya chemistry terbangun dan akhirnya terjadi kesepakatan untuk melipir. Melipir adalah sebuah istilah untuk menuju ke kamar dan melanjutkan ritual hajat besar.

Dengan perubahan dari wisma yang hanya menampung dan menyediakan kamar menjadi rumah karaoke, tentu saja pengelola berharap ada pemasukan lebih. Seperti sebuah obyek wisata, lama tinggal menjadi pertimbangan utama.

"Kalau sambil nyanyi-nyanyi kan bisa dapat saweran. Terus tamunya juga pesan camilan, makan minum. Itu kan nambah pemasukan. Tempatnya juga tetap di Sunan Kuning ini," kata Jasmine.

2 dari 4 halaman

Evolusi Pemasaran

Kami beringsut pergi. Sebuah mobil van dengan nomor polisi Surabaya berjalan pelan. Beberapa pria yang menjadi penumpangnya membuka jendela dan senyum-senyum dengan tatap mata nanar.

Saat berjalan itu, melewati sebuah ruangan berukuran 6x5 meter seperti sebuah aula. Ada layar putih. Sebuah pintu di samping ruangan menghubungkan dengan lorong yang menuju ke kamar-kamar.

"Ini jalannya kalau mau melipir. Tapi jangan difoto, Mas, kalau difoto saya nggak mau cerita," kata Jasmine.

Obrolan dilanjutkan di sebuah ruang tamu yang cukup terbuka. Karena rumah itu ada di sudut, maka obrolan lebih nyaman karena bisa dilihat dari luar.

"Saat ini SK nggak bisa kalau hanya jualan bermodal nama besar. Di luar, semua online. Pakai media sosial sebagai etalase," kata Jasmine yang mengaku sempat kuliah dan harus terhenti di tengah jalan.

Yang dimaksud adalah penggunaan media sosial sebagai sarana promosi bisa memancing kedatangan konsumen. Kalaupun konsumen tak datang, setidaknya penghuni bisa dikontak untuk janjian di luar.

Namun, tak semuanya merasa gembira jika mendapatkan bookingan keluar. Faktor keamanan menjadi salah satu pertimbangan. Belum lagi faktor posisi tawar.

"Kalau di luar, seringkali tamu menolak pakai kondom. Kita kalau menolak transaksi batal, kan malah nombok," kata Jasmine.

Media sosial yang sering digunakan untuk berpromosi adalah platform Facebook. Di Semarang ada lebih dari 15 grup tertutup dan grup rahasia yang menjadi forum terbuka penawaran jasa seks ini.

"Kalau yang nyambi-nyambi misalnya SPG dan lain-lain biasanya pakai Twitter. Kalau yang pakai Instagram itu personal. Tapi kalau FB yang aktif Mami," kata Jasmine.

3 dari 4 halaman

Ikan Duyung dan Ukuran Kutang

Sambil bicara, Jasmine menggaruk perutnya. Kaus yang dikenakannya dibuka sedikit.

"Maaf lo, Mas, bukannya saya ngajak nakal," katanya.

Sebuah tato ikan duyung yang dikerjakan seperti asal-asalan kelihatan menonjol. Jasmine bercerita mayoritas tamunya adalah tamu yang sudah janjian.

"Enggak kayak dulu yang orang asal masuk terus pilih disini. Sekarang kita janjian, baru mereka masuk. Ini bagus, jadi enggak ada rebutan klien kayak dulu," kata Jasmine.

Secara singkat Jasmine bercerita kalau dia selalu mengirim foto tato ikan duyung itu kepada calon kliennya. Biasanya melalui media percakapan instan WA. Para tamu biasanya akan menanyakan spesifikasi bodi dan ciri khasnya. Saat itu, si PSK akan mulai menebar jala untuk menangkap mangsa.

"Biasanya tanya ukuran BH, terus ciri khusus. Nah, saya biasanya kirim foto tato di pusar ini dan pose berpakaian tipis," kata Jasmine.

Evolusi pemasaran ala Sunan Kuning akhirnya menjadi tren di Semarang. Panti pijat tradisional dan salon-salon yang memberi layanan plus juga memanfaatkan media sosial sebagai ujung tombak menggaet konsumen.

Dina, salah satu pengelola salon mengaku bahwa tamu yang benar-benar untuk perawatan kecantikan atau penataan rambut hanya sekitar 20 persen dari total pemasukan.

"Yang banyak dari massage, Mas," katanya.

4 dari 4 halaman

Apa Kata Wali Kota?

Kembali ke soal Sunan Kuning. Sunan Kuning sendiri sebenarnya nama seorang dai. Ia adalah dai keturunan Tionghoa yang bermukim di sekitar lokalisasi sekarang. Bahkan makamnya juga masih ramai didatangi peziarah dan digelar pengajian rutin. Selengkapnya tentang kisah Sunan Kuning bisa dibaca di tautan ini.

Lokalisasi Argorejo itu sendiri sudah berkali-kali diwacanakan hendak ditutup. Paling kuat desakan penutupan adalah ketika Surabaya mengubah Dolly menjadi permukiman nonprostitusi secara produktif, dan juga Kalijodo menjadi taman yang indah.

Atas hal ini, Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi pernah mengatakan bahwa itu akan sulit, karena area lokalisasi sekarang adalah milik personal. Sehingga jika hendak dibubarkan butuh dana besar untuk membeli lahan.

"Itu pun jika warga atau pemegang hak bersedia dibeli," kata Hendi.

Tentang wacana penutupan lokalisasi Sunan Kuning, bisa dibaca di tautan ini.

Jadi masihkah tato ikan duyung di pusar Jasmine masih membawa tuah mendatangkan tamu?