Liputan6.com, Yogyakarta - Berbicara wisata malam di Yogyakarta, nyaris seluruh orang akan terlintas sebuah akronim, Sarkem. Ya, Pasar Kembang di Yogyakarta identik dengan tempat prostitusi.
Sarkem yang melegenda, gaungnya pun terdengar sampai ke mancanegara. Tidak hanya wisatawan domestik yang paham keberadaan tempat prostitusi ini, sebagian besar wisatawan mancanegara pun juga paham.
Lokasi Sarkem terbilang strategis, yakni di jantung kota Yogyakarta, tepatnya di utara Jalan Malioboro. Sarkem juga berbatasan langsung dengan Stasiun Yogyakarta.
Advertisement
Baca Juga
Soal stasiun, keberadaan Sarkem tidak bisa dilepaskan dari rel kereta api. Pusat prostitusi ini sudah berkembang sejak masa pendudukan Belanda.
Pertama kali justru wilayah itu dikenal dengan sebutan Balokan, mengingat wilayah tersebut sedang ada pembangunan rel kereta api. Areal itu dipakai untuk menaruh semua material pembangunan rel kereta api dan Stasiun Tugu (sekarang Stasiun Yogyakarta).
Selama proses pembangunan jalan kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa seperti Batavia, Bogor, Cianjur, Cilacap, dan Surabaya pada 1884, berkembang pula fasilitas seperti tempat penginapan. Situasi itu diikuti dengan bermunculannya perempuan-perempuan yang bekerja untuk melayani pekerja bangunan di setiap wilayah yang dilalui kereta api.
Secara administratif, Sarkem merupakan bagian dari Kecamatan Gedong Tengen, tepatnya berada di RW Sosrowijayan Kulon.
Julukan Pasar Kembang muncul sekitar 1970-an. Di kawasan itu banyak pedagang bunga sebelum dipindah ke Jalan Ahmad Jazuli Kotabaru Yogyakarta.
Ramai pada Akhir Pekan
Sekalipun keberadaannya masih menimbulkan pro dan kontra sampai saat ini, Sarkem ternyata masih menjadi daya tarik di Yogyakarta. Terbukti, pada akhir pekan tidak sedikit wisatawan yang meminta kepada tukang becak di sekitar kawasan itu untuk diantar.
"Sering dimintai tolong untuk mengantarkan tetapi saya biasanya hanya menunjukkan gang dan arah jalannya saja," ujar Rejo (61), salah satu tukang becak di kawasan Sarkem, kepada Liputan6.com.
Ia bercerita Sarkem tidak pernah mati. Selalu saja ada tamu yang minta diantar.
Rejo mengaku sebenarnya ia paham tarif dan sistem pemesanan di Sarkem. Namun, ia memilih untuk pura-pura tidak tahu banyak ketika ada orang yang bertanya kepadanya.
Ada ratusan perempuan pekerja seks yang bernaung di Sarkem. Tarifnya juga beragam.
"Mau yang mahal atau murah? Kalau mahal ya sekitar Rp 500.000 tetapi kalau yang kelas bawah juga ada yang Rp 150.000," ucapnya.
Menurut Rejo, sebagian besar pekerja seks di Sarkem justru bukan berasal dari Yogyakarta. Baginya, nyaris tidak mungkin bekerja sebagai pekerja seks di kota sendiri.
Sarkem dihuni oleh perempuan-perempuan yang berasal dari luar DIY, seperti Solo, Purwodadi, dan sebagainya.
"Mungkin kalau yang dari Yogyakarta malah kerjanya di luar kota," tuturnya sambil tertawa.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement