Liputan6.com, Pekanbaru - Tiga bangunan rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) menjulang tinggi di kawasan enam hektar lebih. Jalannya sudah diaspal sejak Pemerintahan Kota Pekanbaru meresmikannya menjadi hunian dengan biaya terjangkau beberapa tahun lalu.
Terletak di Jalan Karya Bakti, Kelurahan Rejosari, Kecamatan Tenayanraya, lokasi ini dulunya sangat terkenal di Kota Pekanbaru. Khususnya bagi pria yang ingin mendapatkan jasa esek-esek short time dari pekerja seks komersial (PSK) lintas daerah.
Taleju namanya. Sebuah lokalisasi yang tinggal kenangan karena digusur 10 tahun silam. Penggusuran didahului sosialisasi ini bukan tanpa perlawanan dan teriakan ratusan lebih PSK yang disebut pernah tinggal.
Advertisement
Baca Juga
Semasa jayanya, kawasan ini tak kalah dengan Pasar Kembang di Yogyakarta, Kalijodo di Jakarta atau Gang Dolly di Surabaya. Taleju bahkan lebih luas karena berbentuk perumahan. Rumah petak berderet panjang membentuk beberapa blok dan ditembok keliling. Tiap satu rumah berisi beberapa kamar yang dihuni lebih dari lima PSK.
Menjadikan Pekanbaru sebagai Kota Madani bebas prostitusi, hingga perspektif sosial negatif jadi alasan yang didengungkan saat penggusuran. Perlawanan ratusan PSK pun sia-sia.
"Macam mana mereka melawan, tidak punya kekuatan. Yang dilawan penguasa, paling hanya bersuara, berteriak meski akhirnya kalah," kata Eddy Ahmad RM, penggerak perlawanan penggusuran Taleju, Kamis, 10 Januari 2019.
Tudingan miring pun menimpa Eddy saat itu karena dianggap sedang berusaha melegalkan prostitusi. Perlawanan itu juga menyematkan putra kelahiran Rengat ini sebagai 'Presiden Pelacur', gelar yang tak bisa ditolaknya.
Eddy menjelaskan, perlawanan supaya Taleju tak digusur bukan juga langkah membenarkan prostitusi. Dia menyebut ada paradoksal pemikiran pemerintah kala itu. Pemerintah mengganggap lokalisasi ilegal tapi di sisi lain seolah melegalkannya.
"Di sana ada RT/RW, ada infrastruktur pemerintah seperti sekolah, mereka (PSK) punya KTP, dipungut pajak, ada mushala dan (dikasih) hak suara. Bahkan wali kota saat itu mendulang suara 80 persen di Taleju," tegas pria 50 tahun yang pada masa penolakan penggusuran lokasi prostitusi itu menjadi anggota DPRD Riau.
PSK Malah Berkeliaran
Eddy menyatakan, dirinya bukanlah anti penggusuran. Hanya saja pemerintah tidak menawarkan solusi nyata usai penggusuran hingga akhirnya ratusan PSK itu berkeliaran di sejumlah Kota Pekanbaru. Mulai dari gang, jalanan, dan perkampungan dengan kedok yang beragam.
Sebagai contoh, usai penggusuran Taleju, mulai menjamur panti pijat. Misalnya di Jalan Kartama dengan 30 panti, Jalan Nangka, dan sejumlah lokasi prostitusi terselubung lainnya seperti salon, SPA dan karaoke.
"Misal panti pijat Buk ini, salon ini, tapi isinya menawarkan jasa esek-esek. Jadi penggusuran tanpa solusi itu tidak berguna, malah makin menjamur," ucap dia.
Pendapat Eddy, adanya lokalisasi seperti Taleju membuat penyedia jasa esek-esek terkontrol, mulai dari kesehatan hingga keseharian, sehingga tidak berkeliaran di berbagai titik.
"Makanya salah satu maraknya prostitusi online, termasuk di Pekanbaru, karena mereka tidak punya ruang lagi, sehingga mencari berbagai jalan untuk menyambung hidup," tegas Eddy.
Memang, tambah Eddy, sebelum penggusuran Pemko Pekanbaru memberikan sejumlah pelatihan ke penghuni di sana, menjahit misalnya. Hanya saja hal ini tak bertahan lama karena banyak eks penghuni Taleju kembali ke dunia esek-esek.
"Mohon maaf, mereka short time bisa dapat Rp 150 ribu sampai Rp 200 ribu, itu hitungan jam. Nah menjahit, semingu saja kadang belum tentu dapat," ucap Eddy.
Selain itu, Eddy juga ingin meluruskan pandangan masyarakat bahwa adanya PSK bukanlah sebab, tapi akibat dari kebijakan ekonomi, politik, sosial dan budaya. Dia menyatakan terlalu naif orang yang menjastifikasi PSK secara negatif.
"Manusia manapun di bumi ini, tak ada ketika mereka lahir ingin bercita-cita jadi PSK. Banyak pemicu sehingga mereka menjadi PSK, sangat kompleks," sebut Eddy.
Mengenai sejarah adanya lokalisasi Taleju di Pekanbaru, Eddy mengaku tidak tahu kapan adanya. Dia menyebut hanya prihatin ketika lokasi yang berada di pinggiran Kota Pekanbaru itu ingin digusur kala itu.
Perhatiannya kemudian ditulis dalam sajak-sajak. Di antara sajaknya berjudul "Reformasi Pelacur" hingga "Presiden Pelacur". Diapun sempat menjadi pembina upacara pada tahun 2007 di Taleju sebagai bentuk penolakan penggusuran.
"Kini sudah digusur sudah ada Rusunawa, sudah bagus jalannya. Dulu jalan tanah dan berbatu, tapi orang tetap ke sana, ke Taleju sebagai satu-satunya lokalisasi di Pekanbaru saat itu," terang Eddy.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement