Liputan6.com, Jakarta - Ada sebuah ramalan ketika Pangeran Diponegoro lahir, bahwa melalui dirinyalah perlawanan terhadap Belanda akan berlangsung, meskipun tak akan bertahan terus. “…sira srananipun/ mapan iku tan dawa…” (engkaulah sarananya, meskipun hal itu tak akan lama).
Memang Perang Jawa hanya berlangsung lima tahun, tapi karena perlawanan Diponegoro itulah Jawa dan kolonialisme Belanda di Indonesia berubah sampai bertahun-tahun kemudian. Sebelum perang berlangsung, Peter Carey dalam bukunya Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) memulai pemaparan tentang Yogyakarta yang makmur, rapi, bahkan dijuluki Versailles Pulau Jawa.
Namun, perang yang sengit itu menyebabkan 200.000 orang Jawa tewas, sepertiga dari seluruh Jawa terpapar oleh kerusakan perang dan seperempat dari seluruh lahan pertanian yang ada rusak.
Advertisement
Baca Juga
Melalui disertasi yang komplet dan lantas diterbitkan oleh KPG dalam tiga jilid dan hampir berjumlah seribu halaman itu, Peter Carey—sejarawan Universitas Oxford—mengungkap adanya kuasa ramalan yang menentukan tujuan manusia serta apa yang akan terjadi. Ketika takdir dipahami sebagai ketentuan yang sudah diletakkan, masa depan sebenarnya milik masa lalu.
Ramalan telah menggerakkan Pangeran Diponegoro sebagai bagian identitas dirinya sebagai Ratu Adil dan pada akhirnya mengubah tatanan lama Jawa untuk selama-lamanya.
Takdir itu salah satunya tampak ketika dalam masa dewasanya, Pangeran Diponegoro melakukan laku lelana atau mengembara dari Tegalrejo ke Pantai Selatan Jawa sesuai kebiasaan kaum ningrat saat itu. Saat berusia 20 tahun jawa, sekitar April 1805, dalam persiapan berziarah ke Pantai Selatan, Diponegoro melakukan serangkaian kunjungan ke masjid-masjid dan pesantren-pesantren di daerah Jogja. Diponegoro bahkan mengubah namanya menjadi Syekh Ngabdurahim selama perjalanan dengan tujuan agar tak dikenali orang.
Setelah berkunjung ke berbagai pesantren, Pangeran Diponegoro juga melakukan tirakat serta menenggelamkan diri dalam kehidupan menyepi dan tapa meditasi. Peter Carey mengatakan Babad Diponegoro memberi informasi jelas bahwa sang pangeran berziarah ke beberapa tempat suci yang dianggap sangat keramat serta sering dikaitkan dengan Dinasti Mataram.
Suara Misterius
Ketika datang ke Pantai Selatan, Diponegoro mengikuti rute yang sudah ada. Dia berhenti sejenak di Gua Siluman, kemudian menghabiskan dua malam di Gua Sigologolo, di tepi kiri Kali Opak di Kecamatan Gamelan, Gunung Kidul. Kedua gua ini sering dikaitkan dengan dua tradisi spiritual Jawa dan sering dikunjungi elite Istana untuk bersemedi dan menyepi. Bahkan, Gua Siluman disebut-sebut sebagai bagian dari Istana Para Lelembut yang diperintah oleh Dewi Pantai Selatan, Ratu Kidul.
Pangeran Diponegoro kemudian memasuki Gua Langse serta memurnikan semua keinginannya hingga mencapai tahap trance. Pangeran Diponegoro pun akhirnya bertemu Ratu Kidul, yang kehadirannya didahului oleh aura sinar. Namun, Pangeran Diponegoro sudah sangat terhanyut dalam semedinya, hingga Ratu Kidul sadar bahwa sang pangeran tidak bisa “diganggu”. Ratu pun kemudian mundur sambil berjanji suatu saat akan datang lagi.
Setelah perjumpaan dengan Ratu Kidul yang pertama di Gua Langse, Pangeran Diponegoro kemudian turun ke Parangtritis dan kemudian tidur di Parangkusumo. Dalam perjalanan ziarah ini Diponegoro sering mendapat kontak gaib atau penerawangan dengan ruh leluhur dan penjaga spiritual tanah Jawa. Salah satunya terjadi di Gua Song Kamal, di sekitar selatan Yogyakarta.
Dalam babad yang ditulisnya sendiri dikisahkan, Diponegoro yang saat itu tengah melakukan laku tirakat dikunjungi oleh wali legendaris Tanah Jawa, Sunan Kalijaga. Melalui suara gaib, Sunan Kalijaga mengatakan akan datang masa kehancuran Jogja dan awal runtuhnya Jawa alias wiwit bubrah tanah Jawi, dalam tiga tahun ke depan.
Diponegoro kemudian diperintahkan mengubah nama religiusnya dari Ngabdulrahim menjadi Ngabdulkamit dan dikatakan juga, suatu tanda akan diberikan kepadanya dalam bentuk sebuah anak panah bernama Sarutomo. Panah itu segera tampak olehnya seperti suatu kilatan cahaya yang menembus batu tempatnya tidur. Kemudian suara itu pun lenyap.
Simak video menarik berikut:
Advertisement
Pertemuan
Waktu yang dijanjikan Ratu Kidul baru terwujud lebih dari 20 tahun kemudian. Saat itu Perang Jawa sedang sengit-sengitnya berlangsung. Pangeran Diponegoro dan pengikutnya tengah berkemah di Kamal, di tepi suatu cabang Kali Progo, kira-kira pada pertengahan Juli 1826. Saat itu Ratu Kidul berjanji akan membantu Pangeran Diponegoro melenyapkan orang-orang Belanda asalkan sang pangeran meminta kepada Allah agar Ratu Kidul bisa menjadi manusia lagi. Permohonan itu lalu ditolak Pangeran Diponegoro yang menyebutkan bahwa pertolongan hanya datang dari Sang Maha Kuasa.
Dengan segala kecantikan dan kekuatan magisnya, Ratu Pantai Selatan adalah sosok yang sangat tragis. Ia sangat membutuhkan bantuan doa, meski pada saat yang sama ia juga mampu menolong orang lain.
Peter Carey menyebut, sebagai ratu dari dunia spiritual Jawa, Ratu Kidul menjadi penegas bahwa Pangeran Diponegoro ingin menempatkan dirinya sejajar dengan Sultan Agung dalam rangka olah batin maupun kekuatan nyata selama Perang Jawa. Namun di lain pihak, Pangeran Diponegoro juga mengedepankan tujuannya untuk mengangkat keluhuran agama Islam di seluruh tanah Jawa.
Sebagai seorang Jawa tulen, Pangeran selalu merasa terpesona oleh kecantikan yang tidak pernah pudar dari Sang Dewi. Pangeran Diponegoro mendapat banyak inspirasi dari alam gaib, roh-roh leluhur, dan bersamaan dengan itu dia mengambil inspirasi pula dari ketaatannya sebagai seorang muslim tarikat Shattariyah.
Di kemudian hari, sikapnya yang dianggap terlalu Kejawen ini dipermasalahkan, hingga menyebabkan hengkangnya Kiai Mojo dari barisan panglima-ulama pendukung utama Laskar Diponegoro.