Sukses

Cerita Hotel Tua di Malang, Saksi Hidup Perjuangan Masa Kolonial Belanda

Hotel berusia 159 tahun di Kota Malang ini memiliki 22 lukisan keramik tentang desa Belanda dan dibakar pejuang saat peristiwa Malang Bumi Hangus.

Liputan6.com, Malang - Alun–alun Kota Malang, Jawa Timur merupakan salah satu pusat keramaian sejak masa kolonial. Di sekitarnya, sejumlah bangunan bernuansa art deco atau eropa klasik masa Hindia Belanda masih tegak berdiri. Salah satunya berupa sebuah hotel berusia 159 tahun.

Hotel Pelangi di Jalan Merdeka Selatan nomor 3 Kota Malang adalah hotel tua itu. Dibangun oleh Abraham Lapidoth, seorang warga Belanda pada 1860. Semula hotel itu bernama Lapidoth Hotel, merujuk pada nama pemiliknya.

"Kondisinya masih 60 persen sesuai aslinya. Ada beberapa perubahan karena faktor tertentu," kata Arda Orbita Sabatini, juru bicara Hotel Pelangi di Malang, Senin, 28 Januari 2019.

Arsitektur bangunannya memadukan unsur Jawa berupa rumah Joglo dan nuansa Eropa. Beberapa ornamen lawas masih terjaga. Terutama salah satu ruangan yang kini berfungsi sebagai Hall Lodji Coffe Shop and Resto. Bagian atap dan tegel ruangan sesuai aslinya.

Termasuk 22 lukisan keramik di dinding masih tampak sangat jelas. Bahan keramik dibawa langsung dari Belanda. Sebenarnya, saat kali pertama dibangun, ada 25 lukisan keramik. Namun, tiga buah di antaranya hilang, diperkirakan pada era 1940-an, pada masa revolusi fisik.

"Kami tak bisa memastikan apa penyebab utama hilangnya ketiga lukisan itu," ujar Arda.

Seluruh lukisan keramik di dinding bertema suasana desa di wilayah utara Belanda. Lukisan berjudul Bu Duivendrecth, menggambarkan sapi–sapi di padang rumput. Lukisan berjudul De Hoofdtoren te Hoorn menampillkan bangunan menara utama di antara rumah-rumah.

Desa–desa maupun bangunan di negeri kincir angin dalam lukisan itu beberapa di antaranya masih ada sampai sekarang ini. Hal itu berdasarkan pengakuan tamu berkewarganegaraan Belanda yang kerap datang menginap di salah satu hotel di pusat Kota Malang itu.

"Saya tak bisa memastikan berapa harga lukisan itu. Tapi ini bisa jadi satu-satunya yang masih ada di Indonesia," ucap Arda.

2 dari 2 halaman

Riwayat Panjang

Hotel ini berkali–kali berganti nama sejak pertama kali dibangun dengan 50 kamar. Nama Lapidoth Hotel diganti menjadi Hotel Malang pada 1870. Diubah jadi Hotel Jensen pada 1900. Tak berselang lama, hotel dijual dan sebagian bangunannya dihancurkan.

Dibangun lagi pada 1915 dengan corak neo-gothic atau gaya arsitektur yang populer di eropa abad 19 pertengahan. Dua menara tinggi menjulang dibangun di sisi kiri dan kanan tengah bangunan utama. Beralih nama jadi Palace Hotel dan memiliki 125 kamar.

"Jadi salah satu hotel terbesar di Kotamadya Malang pada masa itu," tutur Arda Orbita.

Sempat jadi Asoma Hotel pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Palace Hotel rusak parah saat Agresi Militer Belanda I, 1947. Arek–arek Malang menolak kedatangan Belanda dengan membakar hampir seribuan bangunan di kota ini, termasuk Palace Hotel.

Dalam peristiwa yang dikenal sebagai Malang Bumi Hangus itu, dua menara kembar turut hancur. Aktivitas di hotel itu terhenti dalam waktu cukup lama. Hingga pada 1953, hotel ini dibeli oleh pengusaha asal Banjarmasin. Dia mengubahnya sebagai Hotel Pelangi pada 1964.

"Pengelola sekarang ini adalah generasi kedua. Tapi tetap berusaha mempertahankan bentuk aslinya," ujar Arda.

Sekretaris Tim Cagar Budaya Kota Malang, Agung Buana mengatakan, bangunan Hotel Pelangi termasuk dalam 32 bangunan berstatus cagar budaya yang baru saja ditetapkan oleh Pemkot Malang.

"Bernilai sejarah tinggi dan harus dilestarikan. Menjadi bagian dari sejarah lahirnya Kota Malang," kata Agung.

 

Simak video pilihan berikut ini: