Sukses

Jalan Mundur 2 Kilometer, Jurnalis Jember Tolak Remisi Susrama

Jalan mundur dianggap simbol mundurnya penegakan hukum di Indonesia.

Liputan6.com, Jember - Puluhan jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Indipenden (AJI) Jember, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Tapal Kuda, dan Forum Wartawan Lintas Media (FWLM) Jember, melakukan aksi protes terhadap pemberian remisi terpidana pembunuh jurnalis di Bali.

Dalam aksinya, para jurnalis melakukan longmarch dengan berjalan mundur sepanjang 2 kilometer, dari depan Markas Kodim 0824 Jember menuju bundaran DPRD Jember. Sepanjang jalan para jurnalis meneriakan cabut remisi terhadap Susrama, sambil mengepalkan tangan mereka.

"Jalan mundur ini sebagai simbol mundurnya penegakan hukum di Indonesia," ujar korlap aksi yang juga Sekretaris AJI Jember, Mahrus Sholih, kepada Liputan6.com, Senin (28/1/2019).

Dia mengecam pemberian remisi melalui keputusan presiden kepada terpidana yang membunuh jurnalis Radar Bali, Prabangsa. Mahrus menegaskan Presiden Joko Widodo memicu kekecewaan insan pers karena memberikan remisi terhadap Susrama, otak di balik pembunuhan jurnalis Radar Bali, AA Prabangsa.

Keputusan itu tertuang dalam Kepres Nomor 29 tahun 2018 tentang Pemberian Remisi Perubahan dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Sementara, tertanggal 7 Desember 2018. Susrama merupakan salah satu dari 115 terpidana yang mendapatkan keringanan hukuman tersebut.

Mahrus juga mengatakan, Susrama diadili karena kasus pembunuhan 9 tahun lalu. Pembunuhan itu terkait dengan berita-berita dugaan korupsi dan penyelewengan yang ditulis Prabangsa di harian Radar Bali, dua bulan sebelumnya. Berdasarkan alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan, terbukti secara meyakinkan bahwa Susrama adalah otak di balik pembunuhan jurnalis Radar Bali itu.

"Karena itu, kami mengecam dan meminta pemerintah mencabut pemberian remisi kepada pembunuh jurnalis," tutur Mahrus, jurnalis Radar Jember.

Saat tiba di Bundaran DPRD Jember, puluhan jurnalis membentangkan beberapa poster, di antaranya bertuliskan "Cabut Remisi Pembunuh Jurnalis", "Pembunuh Jurnalis = Penjahat HAM", "Remisi Itu Mengancam Kebebasan Pers", dan "Batalkan Remisi kepada Pembunuh Jurnalis".

Setelah selesai berorasi, puluhan jurnalis tersebut mengakhiri aksinya dengan teatrikal jurnalis, yang mati dengan tumpukan kertas. Teaterikal ini, sebagai bentuk keprihatinan jurnalis terhadap remisi yang diberikan Presiden Joko Widodo kepada pembunuh jurnalis Prabangsa.

 

2 dari 2 halaman

Satu yang Berhasil Diusut

Sementara berdasarkan data AJI, kasus Prabangsa adalah satu dari banyak kasus pembunuhan jurnalis di Indonesia dan kasus Prabangsa adalah satu dari sedikit kasus yang berhasil diusut tuntas. Masih ada delapan kasus lainnya yang belum tersentuh hukum, di antaranya pembunuhan Fuad M Syarifuddin (Udin) yang merupakan wartawan Harian Bernas Yogya (1996), pembunuhan Herliyanto yang merupakan wartawan lepas harian Radar Surabaya (2006), kematian wartawan Tabloid Jubi dan Merauke TV Ardiansyah Matrais (2010), dan kasus pembunuhan Alfrets Mirulewan, wartawan Tabloid Mingguan Pelangi di Pulau Kisar, Maluku Barat Daya (2010).

Sedangkan kasus Prabangsa itu bisa diproses hukum dan pelakunya divonis penjara dan dalam sidang Pengadilan Negeri Denpasar 15 Februari 2010. Majelis hakim menjatuhkan vonis terhadap Susrama, dengan hukuman penjara seumur hidup. Namun Presiden Joko Widodo melalui Kepres Nomor 29 tahun 2018 memberi keringanan hukuman kepada Susrama dan menanggapi keluarnya keputusan presiden itu.

"Kebijakan presiden yang mengurangi hukuman itu melukai rasa keadilan tidak hanya keluarga korban, tapi jurnalis di Indonesia," ujar Mahrus.

Karena itu, lanjut dia, Aliansi Jurnalis Jember meminta Presiden Joko Widodo mencabut keputusan presiden pemberian remisi terhadap Susrama karena kebijakan semacam itu justru mencederai kebebasan pers di Indonesia.

"Kami menganggap remisi yang dikeluarkan Presiden Jokowi sebagai bentuk ancaman serius terhadap kebebasan pers sekaligus demokrasi di Indonesia. Padahal pers adalah pilar demokrasi ke empat di Indonesia. Jika pers diancam berarti presiden tidak mendukung kebebasan pers dan demokrasi di Indonesia," ujar Mahrus.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Video Terkini