Liputan6.com, Siak Keputusan Badri tidak menanam sawit di lahan gambut memang tergolong berani. Petani 41 tahun ini lebih memilih bercocok tanam cabai merah dari pada memelihara kelapa asal Afrika itu setahun belakangan. Namun tak ada yang sia-sia jika tekad bulat ditambah pengetahuan, sehingga Badri kini bisa mendapat keuntungan lebih dari tanaman holtikultura pedas itu.
Tidak perlu menunggu waktu dua pekan seperti sawit, kini Badri bisa memanen pohon cabainya setiap tiga atau empat hari sekali. Dalam sekali panen, Badri pernah mendapat hampir setengah ton cabai merah di lahan seperempat hektar olahannya.
"Dikalikan saja bang, satu kilo harga cabai normal Rp 36 ribu. Waktu itu lebih empat kwintal lebih hasil panen cabainya," cerita Badri ditemui wartawan di Kampung Sumber Rezeki, Kecamatan Bunga Raya, Kabupaten Siak, Senin 4 Februari 2019.
Advertisement
Baca Juga
Badri merupakan hasil Sekolah Lapang binaan Badan Restorasi Gambut. Kini ada 15 anggota yang bergabung dengan kelompok taninya bernama Sumber Rezeki. Beberapa fasilitator desa juga setia mendampingi Badri selama mengembangkan kebun cabainya.
Secara keseluruhan, ada satu hektar lahan percontohan milik Kampung Peduli Gambut itu. Selain cabai, ada juga tanaman jagung, mentimun, kacang panjang hingga terong, dengan hasil menggembirakan.
Bersama fasilitator desa, Syafria Ningsih (26), Badri menjelaskan, kunci bertanam di lahan gambut adalah mengetahui tingkat keasaman pada permukaannya. Keasaman itu perlu diturunkan dengan ragam cara murah dan bahan mudah didapat.
Salah satunya, terang Badri, adalah pohon pisang. Hasil cacahan pohon disebar di lahan yang akan ditanam. Tingkat keasaman akan ketahuan, baik diukur dengan memakai alat ataupun menanam tanaman lain.
"Dulu saya tanam sawi, kalau sudah hijau berarti tingkat keasaman tidak tinggi lagi. Kalau daunnya masih kuning, berarti masih tinggi, kalau sawinya hijau, barulah bagus, lalu ditanam cabai. Inilah hasilnya, bisa dilihat," terang Badri.
Banyak yang Datang Belajar
Kini, ratusan batang cabai di lahan Badri sudah berusia setahun. Dia menyebut sudah saatnya diganti dengan yang baru karena akan menyebabkan biaya lebih jika masih dipertahankan.
Menurutnya, pohon cabai berumur setahun masih bisa berproduksi tapi hasilnya tentu saja tidak memuaskan. Apalagi saat musim kemarau karena butuh disemprot ekstra agar buahnya tidak berulat atau mengering.
"Kalau sekarang tinggal diganti karena tanah ini sudah teruji, asamnya sudah tidak tinggi. Hanya perlu membersihkan buah cabai yang jatuh ke tanah agar tak jadi bakteri," kata Badri.
Cerita Badri, awal memutuskan menanam cabai banyak petani lain tak percaya dengannya. Namun berkat pengetahuan dari Sekolah Lapang BRG, dia menjadi tahu karekteristik tanah gambut.
"Inti bertani itu tahu karekteristik tanah, kalau gambut misalnya ada yang perlu dilakukan. Namun jangan sampai keasamannya hilang, yang perlu itu keseimbangan," sebut Badri.
Sejak keberhasilannya bertanam cabai terdengar, bahkan membuat dirinya sampai jalan-jalan ke Bangkok, Thailand, sejumlah petani lain berdatangan melihat lahannya. Mereka ingin belajar bagaimana gambut bisa ditanam cabai tanpa harus membakar dulu.
"Tanpa membakar, asamnya bisa dikurangi. Jangan sampai hilang karena kesuburannya juga akan ikut hilang," ucap Badri.
Badri menekankan, tanaman holtikultura di gambut lebih menjanjikan dari pada sawit ataupun tanaman lainnya. Dia menyatakan sudah membuktikan hal tersebut.
"Ini sangat menjanjikan, potensial. Sudah ada yang belajar, kalau dulu orang belum percaya karena mengganggap saya sebagai petani baru," sebut Badri.
Advertisement