Liputan6.com, Banjarnegara - Jumat, 8 Februari 2019, alat peringatan dini (EWS) longsor di Dusun Sidakarya Desa Mlaya, Punggelan, Banjarnegara, mendadak meraung-raung memecah keheningan. Tak hanya sekali, alat canggih ini mengirim sinyal tanda bahaya dua kali.
Ratusan warga pun bersicepat menyelamatkan barang-barang berharga dan lantas mengungsi ke tempat lebih aman. Ini bukan simulasi bencana, raungan sirine itu adalah tanda bahaya bahwa gerakan tanah atau longsor memang benar-benar terjadi.
Benar saja, gerakan tanah kemudian tampak kasat mata. Tanah terbelah memanjang 250 meter. Sebanyak 18 rumah rusak dan 33 rumah lainnya terancam. Kebun dan jalan rusak. Lebih dari 200 jiwa dicekam bahaya longsor.
Advertisement
Baca Juga
Bahaya tak berhenti saat itu. Berhari-hari setelahnya, gerakan tanah sedikit demi sedikit menggerogoti rumah penduduk.
Kepala pelaksana harian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banjarnegara, Arif Rachman mengatakan alat pendeteksi dini yang terpasang di Desa Mlaya itu adalah bagian mitigasi bencana tanah longsor, usai gerakan tanah pada 2016 lalu. Saat itu, kampung ini juga pernah dilanda gerakan tanah.
Warga benar-benar khawatir. Pasalnya, dua tahun sebelumnya, longsor meluluhlantakkan Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar dan menewaskan ratusan warga.
Tragedi itu benar-benar meninggalkan trauma tetapi sekaligus menjadi peringatan untuk wilayah lainnya, bahwa Banjarnegara, sebagian wilayahnya memang rawan longsor.
"Kan karena sewaktu tahun 2015, di Jemblung (longsor) juga pernah terjadi di sana," ucap Arif Rachman.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Sifat Gerakan Tanah di Desa Mlaya
Dua kali gerakan tanah di tempat yang sama menandakan area tersebut bukan lah tempat yang aman untuk bermukim. Namun, tentu saja, untuk memastikan perlu kajian dari ahlinya.
Karenanya, BPBD Banjarnegara berkoordinasi dengan Badan Geologi untuk menganalisis pergerakan tanah di Desa Mlaya. Usai kajian, bakal muncul rekomendasi langkah yang mesti dilakukan. Ada kemungkinan, opsinya adalah relokasi ratusan warga Dusun Sidakarya.
Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi dampak lebih parah akibat gerakan tanah di titik ini. Pasalnya, gerakan tanah diketahui juga telah terjadi pada 2016 lalu. Saat itu, seluruh warga sempat diungsikan.
Kami juga sudah menghubungi Badan Geologi untuk segera melakukan kajian, walau dulu juga sudah pernah dilakukan kajian. Tapi ya karena ada perkembangan seperti ini ya mungkin ada hal lain yang perlu disikapi," dia menerangkan.
Arif mengaku khawatir, longsoran di Desa Mlaya bisa berpotensi menyebabkan longsor cepat yang bisa menimbun satu kampung, seperti yang terjadi di Dusun Jemblung, akhir 2014 lalu. Saat itu, di Dusun Jemblung, sebanyak 100 lebih korban meninggal dunia akibat longsor.
Gerakan tanah yang terjadi di Desa Mlaya bersifat rayapan tanah atau creep soil atau rambatan. Meski lambat, daya rusaknya tetap besar. Namun, tetap saja ada potensi longsoran dengan sifat cepat atau bahkan jatuhan.
Advertisement
Ratusan Warga Mengungsi Mandiri
Sementara ini, warga masih tinggal di rumahnya masing-masing. Akan tetapi, jika turun hujan, warga mengungsi. Sebab, kandungan air jenuh di dalam tanah berpotensi memicu kembalinya terjadi gerakan tanah.
"Sehingga ini adalah kewaspadaan dari sisi ilmiah untuk dari agar bisa dilakukan kajian untuk menelaah terhadap apa yang terjadi di Desa Mlaya ini," ucap Arif.
Selain merusak rumah penduduk, gerakan tanah juga berdampak pada amblesnya jalan sepanjang 15 meter dengan kedalaman kisaran 50 sentimeter. Selain itu, gerakan tanah juga merusak area perkebunan dan pekarangan warga.
Mulai Jumat siang, tim BPBD menurunkan tim untuk memantau pergerakan tanah, sekaligus menutup retakan tanah yang membentuk tapal kuda sepanjang 250 meter. Dikhawatirkan resapan air hujan akan memicu risiko longsor susulan.
Arif mengungkapkan, longsor dipicu oleh curah hujan tinggi dalam kondisi tanah labil dan sudut kemiringan yang tinggi. Air hujan itu lantas meresap ke dalam tanah.
Gerakan tanah juga dipicu kolam ikan yang menyebabkan tanah mengandung air yang begitu tinggi. Akibatnya, tanah tak kuat untuk menahan beban dan lepas.
Gerakan tanah adalah fenomena alam yang sangat berbahaya. Ahli mitigasi sekali pun tak akan bisa mengetahui, kapan waktu pasti terjadinya longsor. Mereka hanya bisa melihat pertanda.
Karenanya, petugas BPBD mengecek retakan dan mendata bersama Pemerintah Desa Mlaya. Warga juga menutup lubang retakan tanah menghindari masuknya air hujan.
"Mendirikan pos pemantauan. Mengimbau warga agar meningkatkan kewaspadaan dan siap siaga, bila terjadi turun hujan untuk segera mengungsi ke titik aman," Arif menambahkan.