Sukses

Kasus Bandara Mangkendek Toraja, Mantan Setda Diperiksa Intensif

Direktorat Reskrimsus Polda Sulsel memeriksa maraton sejumlah saksi dalam dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek Tana Toraja. Salah satunya memeriksa mantan Sekretaris Daerah (Setda) Pemkab Tana Toraja.

Liputan6.com, Tana Toraja Tim Penyidik Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Polda Sulsel memeriksa intensif pihak panitia pengadaan lahan (Panitia sembilan) dalam tahap penyidikan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek, Kabupaten Tana Toraja, Sulsel.

Selain tim sembilan, penyidik juga turut mendalami keterangan saksi lainnya dari pihak Pemerintah Kabupaten Tana Toraja (Pemkab Tana Toraja). Sehingga total saksi yang telah diperiksa hingga saat ini sudah berjumlah empat orang.

"Tim pengadaan lahan (tim sembilan) yang diperiksa itu yakni mantan Setda, mantan Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) serta mantan Kepala Badan Perencanaan Daerah (Bappeda)," kata Kepala Subdit III Tipikor Dit Reskrimsus Polda Sulsel, Kombes Pol Yudha Wiradjati via telepon, Selasa (12/2/2019).

Ia mengakui penyidikan kasus dugaan korupsi yang telah mengambang selama 7 tahun itu akan menjadi prioritas pihaknya karena mendapat atensi besar dari Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri untuk segera dituntaskan.

"Bareskrim turut memberikan atensi penyidikan kasus Bandara Mangkendek Toraja ini. Tentunya akan maksimal," akui Yudha.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

2 dari 2 halaman

Kasus Bandara Mangkendek Ditangani Sejak 2012

Penyelidikan kasus dugaan korupsi pembebasan lahan Bandara Mangkendek dilakukan Polda Sulsel sejak tahun 2012. Kemudian dalam perjalanannya kasus tersebut ditingkatkan ke tahap penyidikan dan menetapkan 8 orang tersangka di tahun 2013.

Usai penetapan 8 orang tersangka, penyidik pun langsung menahan 2 orang diantaranya yakni mantan Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tana Toraja Enos Karoma dan mantan Camat Mengkendek Ruben Rombe Randa. Namun karena masa penahanan keduanya habis, mereka pun dikeluarkan dari sel titipan Lapas Klas 1 Makassar demi hukum.

Setelah keduanya terlepas dari jeratan hukum, penyidik Polda Sulsel diam-diam membuka kembali penyidikan kasus itu dan menahan kembali 6 orang tersangka sebelumnya.

Mereka adalah Mantan Kepala Bappeda Yunus Sirante, Mantan Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Tana Toraja, Haris Paridy dan Mantan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi, Informatika, Pos dan Telekomunikasi Tana Toraja, Agus Sosang.

Selanjutnya ada juga mantan Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Tana Toraja, Yunus Palayukan, Mantan Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman Tana Toraja, Gerson Papalangi dan Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum Tana Toraja, Zeth John Tolla.

Hanya selang beberapa bulan kemudian, 6 tersangka tersebut akhirnya dilepas lantaran proses penyidikan belum rampung dan masa penahanan para tersangka telah habis.

Karena kewalahan merampungkan penyidikan, Polda Sulsel kemudian berinisiatif meminta KPK melakukan supervisi. Dan di tahun 2017, KPK pun melakukan supervisi dan mengundang pihak Polda Sulsel dan Kejati Sulsel untuk melakukan gelar perkara terbuka di gedung KPK. Hasilnya pun telah dikembalikan ke Polda Sulsel untuk segera ditindak lanjuti. Namun faktanya hingga saat ini penyidikan tak kunjung juga rampung.

Dari hasil penyidikan, para tersangka yang bertindak selaku panitia pembebasan lahan atau tim sembilan diduga telah menyelewengkan anggaran. Mereka melakukan pembayaran kepada warga yang sama sekali tidak memiliki alas hak atas lahan tersebut.

Para tersangka melakukan mark up dana yang dialokasikan sebagai dana ganti rugi pembebasan lahan untuk persiapan pembangunan bandara baru Mangkendek sebesar Rp 38,2 miliar.

Khusus tersangka Enos yang bertindak sebagai Ketua Panitia pembebasan lahan di ketahui langsung berinisiatif sendiri menetapkan harga lahan basah senilai Rp 40. 250 per meter persegi. Sementara hal itu belum di sepakati sehingga belakangan banyak lahan menjadi sengketa.

Dari hasil musyawarah antara panitia pembebasan lahan dengan para pemilik lahan yang berlangsung di ruang pola Kantor Bupati Tana Toraja tepatnya 28 Juni 2011, disepakati harga tanah untuk jenis tanah kering non sertifikat senilai Rp 21.390 per meter persegi, tanah kering bersertifikat Rp 25.000 per meter persegi, tanah basah non sertifikat Rp 35.000 permeter per segi serta untuk jenis tanah basah bersertifikat belum disepakati.

Tak hanya itu, dari hasil penyidikan juga ditemukan terjadi pemotongan PPH sebesar 5 persen dan administrasi 1,5 persen dalam proses pembebasan lahan. Panitia pengadaan tanah tidak mengacu pada peraturan perundang-undangan sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 5 tahun 1960 tentang UUPA, Perpres 65 tahun 2006 tentang pengadaan tanah untuk pemerintah bagi kepentingan umum dan Perka BPN RI Nomor 3 tahun 2007 tentang ketentuan pelaksanaan Perpres 65 tahun 2006 hingga menimbulkan perkara kepemilikan lahan.

Atas perbuatannya para tersangka disangkakan melanggar pasal 2 ayat (1) sub pasal 3 UU RI Nomor 31 tahun 1999 Jo UU RI Nomor 20 tahun 2001 atas perubahan UU RI Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Kasus ini pun sempat menyebut keterlibatan Bupati Tana Toraja (Tator) kala itu, Thefelius Allererung. Dimana keterlibatannya terungkap dari keterangan beberapa saksi yang telah di periksa penyidik saat itu.

Beberapa saksi telah mengaku dan membenarkan jika ada pertemuan pembahasan ganti rugi lahan yang digelar di rumah jabatan Bupati, Thefelius Allererung.

Berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Sulawesi Selatan (Sulsel) disimpulkan terjadi kerugian negara sebesar Rp 21 miliar dari total anggaran Rp 38 miliar yang digunakan dalam proyek pembebasan lahan bandara tersebut. Meski belakangan nilai kerugian itu dianulir setelah dilakukan audit ulang oleh BPKP Sulsel. Dimana kerugian ditetapkan hanya senilai Rp 7 miliar lebih.

Anggaran proyek sendiri diketahui bersumber dari dana sharing antara APBD Kabupaten Tana Toraja dan APBD Propinsi Sulsel. Kesalahan pembayaran dalam proyek pembebasan lahan tersebut dikuatkan oleh putusan perdata dari pihak yang mengaku sebagai pemilik lahan, namun tak mendapatkan haknya. Malah pihak yang bukan pemilik lahan justru menerima pembayaran ganti rugi.