Liputan6.com, Kendari - Menempuh pendidikan hingga universitas menjadi impian banyak pemuda, tidak terkecuali bagi Anang Satria Metere (24). Kisah mahasiswa jurusan administrasi publik Universitas Sembilan Belas November (USN) Kolaka meraih gelar sarjananya itu bahkan sempat viral.
Anak pedagang cilok ini, membuat heboh usai resmi bergelar sarjana pada Kamis, 14 Februari 2019. Sesaat setelah yudisium di kampus, Anang Saputra Metere langsung bergegas menuju tempat ayahnya yang tengah berjualan.
Tanpa malu-malu, dia langsung memeluk ayahnya, Suhardin Metere (52) yang sedang berjualan cilok di depan salah satu sekolah MTsN di Kolaka.
Advertisement
Baca Juga
Anang tak mampu menahan tangis. Meski memiliki ayah yang hanya bekerja sebagai pedagang cilok, tetapi ia mampu menyelesaikan pendidikan hingga sarjana. Ibunya, Tri Suriani hanyalah ibu rumah tangga biasa yang membantu keluarga dengan berjualan kerupuk.
Aksinya sempat diabadikan oleh salah seorang rekannya dalam video berdurasi 1 menit. Saat itu, Anang Satria Metere masih berpakaian yudisium lengkap turun dari sepeda motor yang dikemudikannya.
Sambil menyeka air mata bahagia, Anang menangis memeluk ayahnya yang masih melayani pembeli di depan salah satu sekolah.
Video viral ini, sudah mendapat ribuan komentar dan dibagikan warganet sebanyak puluhan ribu kali di media sosial.
Bercerita tentang Anang, nama panggilan akrabnya, dia menempuh kuliah sejak 2013. Selama itu pula, putra ketiga dari lima bersaudara ini harus membantu ayahnya berjualan cilok keliling.
Memiliki empat orang saudara, dua orang adiknya, masih menempuh pendidikan SMP dan SMA. Dua kakaknya, kini sudah bekerja meskipun hanya sebagai pembantu di sebuah warung makan di Kabupaten Kolaka.
Anang Tegar
Bertahun-tahun, Anang, harus tegar menghadapi cobaan hidup. Sering disindir rekannya di kampus karena berdagang cilok, Anang tetap tegar. Pernah, dia beberapa kali diusir dari beberapa sekolah tempatnya berjualan.
Alasan pihak sekolah, dagangannya sering membuat kotor halaman. Padahal, dia memarkir gerobaknya jauh di depan pagar sekolah.
Saat pindah berjualan di sekolah lain, Anang sering dianggap saingan ibu-ibu kantin. Sering disuruh pergi saat melayani anak sekolah yang membeli cilok. Satpam berdalih Anang tak memiliki izin.
"Saya harus berjualan. Kalau tidak, mungkin tak akan selesai kuliah saya," cerita Anang Satria Metere, Sabtu, 16 Februari 2019.
Di kampus, Anang mampu bersaing dengan rekan-rekannya. Menempuh kuliah selama lima tahun, IPK terakhir Anang mencapai 3,50.
Padahal, sore setelah pulang kampus, Anang harus mendorong gerobak cilok berkilo-kilo meter jauhnya. Pada akhir pekan, dia malah harus berjualan hingga malam hari.
"Sehari bisa dapat Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu, itu dipakai biaya hidup dan kuliah," ujarnya.
Dosen di kampus ada juga menawarinya bekerja di kampus. Saat itu, dia diberi tugas menjaga warung kopi. "Tapi saya pilih keluar setelah 6 bulan," katanya.
Selama lima tahun kuliah di USN, Anang bercerita tak pernah sekali pun membeli pulpen. Ayahnya yang juga pedagang cilok memberinya pulpen bekas.
"Saya biasa pungut pulpen yang dibuang anak sekolah, pulpen saya bawa pulang ke rumah," ujar ayah Anang, Suhardin Metere.
Bukan saja Anang, tetapi dua saudaranya yang masih bersekolah juga tak pernah membeli pulpen. Sebab, ada saja anak sekolah yang membuang pulpen begitu tintanya tinggal sedikit atau hampir habis.
"Kalau mereka buang, saya ambil, sering ada pulpen yang tintanya masih penuh," katanya.
Anang mengakui untuk urusan uang kuliah, dia kadang sering mengutang. Anang bercerita, beberapa kali dia harus mengutang biaya SPP karena uang hasil jualannya belum cukup.
"Kalau sudah begitu, dosen kadang mengerti. Tapi malu juga kalau diketahui teman-teman," cerita Anang.
Usai Sarjana, Tetap Pilih Jualan Cilok
Setelah mendapat gelar sarjana, Anang tetap berjualan cilok. Katanya, belum ada lapangan kerja yang sesuai dengan jurusannya di Kolaka.
"Saya masih akan berjualan, untuk bantu-bantu keluarga," ujarnya.
Anang mengaku tak malu dengan status sarjananya. Sebab, dia masih akan mengikuti wisuda dalam waktu dekat. "Saya juga berutang untuk wisuda, utang saya Rp 1,2 juta. Mau dicari di mana kalau tak berjualan," ujarnya.
Kata Anang, ibunya Tri Suhartini sering memberinya semangat. Sejak kuliah, ibunya sering menagih Anang agar menyelesaikan studi dengan segera.
"Sekarang, sering diberitahu ibu jika tak kerja maka tak makan, itu yang selalu saya ingat," ujarnya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement