Liputan6.com, Banyumas - Khazanah mi di Indonesia begitu berwarna. Nyaris tiap daerah memiliki kekhasan olahan mi tradisional, yang tentu disesuaikan dengan selera lidah penduduknya.
Di Jawa bagian timur misalnya, olahan mie cenderung gurih dan manis. Sebaliknya, di sisi barat, asin gurih lebih dominan. Yang jelas, semuanya lezat dan warna sajian saat sarapan.
Para pedagang mi tradisional, seperti mi Jawa dan mi Nyemek tak main-main soal bahan baku. Mereka harus memastikan, mi yang mereka olah merupakan mi pilihan. Dan biasanya, sudah berlangganan puluhan tahun.
Advertisement
Baca Juga
Simbiosis antara sebuah merk mi dengan pengusaha kuliner terjalin puluhan tahun. Mereka enggan menggunakan mi modern untuk menjaga cita rasa olahan mi tradisional.
Saling klaim muasal mi menjadi tak penting menilik sejarah mie di Indonesia yang panjang. Salah satunya di Banyumas, Jawa Tengah. Di kabupaten ini, ada satu merk mi yang sangat dikenal pada masanya.
Namanya, Mie Cap Tiga Anak. Yang menakjubkan, ternyata sejarah mi Cap Tiga Anak ini telah dimulai jauh hari sebelum Indonesia merdeka, tepatnya tahun 1925, nyaris seabad lalu.
Mi Tiga Anak merupakan bisnis keluarga dari pabrik 'Mie Ho Kie San' yang kini dikelola oleh generasi ketiga keluarga ini. Oleh masyarakat Banyumas, Jawa Tengah dan Yogakarta, mie Cap Tiga Anak lebih populer disebut Mie Bal.
"Karena ada gambar tiga anak yang sedang bermain bola," ucap pemilik pabrik mie Cap Tiga Anak, Yusuf Gunawan Santoso, beberapa waktu lalu.
Yusuf mengakui, untuk menjaga cita rasa mi tradisional selama puluhan tahun, bahan baku, bumbu, hingga pengolahan mie tetap mempertahankan cara tradisional. Mie yang diolah secara tradisional diyakini lebih lezat dan sehat.
Penetrasi Kencang Mi Instan di era 70-an
Pembuatan mi dimulai dari pencampuran bahan, pemberian bumbu hingga pembentukan mi. Lantas, mi tersebut dikukus menggunakan lemari pengukus. Model masak mie seperti ini mengadopsi cara mengukus mie secara tradisional. Hasilnya, mie akan lebih matang dan lembut.
Berbeda dari pabrik mi modern yang serba mesin, pengering mi Cap Tiga Anak ini pun lebih banyak memanfaatkan pengering alami, terik matahari. Tetapi, pada musim penghujan, pengeringan dibantu oleh mesin oven tanpa tekanan. Panas api disalurkan ke ruangan pengering.
"Sebetulnya lebih bagus dengan pengering matahari. Warnanya lebih muncul, lebih bercahaya. Tapi dengan oven pun karena tidak ada tekanan, citarasa mie akan tetap terjaga," dia menjelaskan.
Zaman keemasan mie Cap Tiga Anak dicapai pada masa generasi kedua pengelola. Hingga awal 1970-an, Mie Cap Tiga Anak alias mie bal menguasai pasar eks-karesidenan Banyumas hingga Semarang dan Yogyakarta.
Akan tetapi, pada tahun 1970-an, muncul mie instan untuk pertama kali. Rupanya, masyarakat saat itu memang menginginkan segala sesuatu yang ringkas dan cepat. Iklan yang gencar melalui radio dan koran meruntuhkan kejayaan mie yang dibuat secara tradisional.
Perlahan, pabrik yang pada mulanya memiliki karyawan berjumlah 150 orang itu menurunkan produksi lantaran terdesak mie instan. Bahkan, pabrik ini sempat hanya mempekerjakan sekitar 30 orang saja.
"Kita terpukul tahun 1970-an. Pertama kali keluar itu mie instan," kata dia, mengenang.
Advertisement
Kebangkitan Mi Tradisional
Ketika Gunawan memulai kepemimpinannya, pasar mie tradisional tengah lesu. Gempuran berbagai merk mi instan benar-benar memukul produk mi tradisional. Akan tetapi, ia yakin produksi mi keluarganya akan tetap bertahan.
Optimisme ini dibarengi dengan pembaruan di pabriknya. Misalnya, alat pengukus dibuat dengan kapasitas lebih besar. Pun dengan bahan bakar yang semula menggunakan minyak tanah kini berubah menjadi batu bara.
Adapun kemasan, tetap dipertahankan seperti kondisi semula. Sebab, ketika dicoba menggunakan kemasan modern, pelanggan setia justru curiga mie itu palsu. Pelanggan komplain dan berimbas pada menurunnya omzet.
"Kita tetap mempertahankan cara produksi tradisional, tapi dengan mesin yang kita ciptakan agar lebih efisien,” Yusuf mengungkapkan.
Perlahan, keyakinannya berbuah manis. Beberapa tahun terakhir ini, jumlah produksi membaik. Dalam sehari, pabrik Mie Cap Tiga Anak membutuhkan sekitar 1,5 ton tepung terigu. Jumlah karyawan pun semakin bertambah.
"Karyawan sekarang berjumlah 85 orang," ujarnya.
Produksi yang bertambah diiringi dengan pemasaran yang kembali merambah eks-Karesidenan Kedu, Yogayakarta dan Semarang. Selain pemasaran langsung ke rumah makan atau toko-toko grosir, mie Cap Tiga Anak pun kini telah dipasarkan lewat jaringan pasar modern.
Beberapa supermarket di Purwokerto dan sekitarnya telah menyanding mie ini. Perluasan pemasaran ini terus tumbuh seiringi kembalinya selera masyarakat yang merindukan cita rasa kuliner tradisional.
Yusuf yakin, mi tradisional akan kembali bersinar di masa mendatang. Sebab, cita rasa mi tradisional tak mungkin bisa dikalahkan oleh mie yang diproduksi mesin modern.
Ia juga melihat ada kencenderungan sebagian masyarakat mulai menghindari mie instan yang dinilai tak sehat. Kecepatan bukan lagi menjadi incaran. Masyarakat lebih mempedulikan cita rasa dan kualitas.
Saksikan video pilihan berikut ini: