Liputan6.com, Aceh - "Mate aneuk meupat jeurat, gadoh adat pat tamita?". Begitulah ungkapan Sultan Iskandar Muda sebelum dirinya memancung Meurah Pupok, anaknya sendiri.
Sang putera mahkota yang diharap menjadi penerus kerajaan telah menodai seorang istri perwira. Sultan harus memilih, antara darah daging atau hukum agama, dan dia memilih yang kedua.
Baca Juga
Meurah Pupok dihukum pancung oleh Sultan Iskandar Muda di hadapan pembesar istana dan rakyatnya. Siapa pula yang tidak bersedih hati jika berada di posisi ini, tetapi, sang Maharaja membuang jauh semua perasaan itu.
Advertisement
Penegakan hukum tanpa pandang bulu itu sejatinya adalah pesan Sultan Iskandar Muda kepada rakyatnya, atau orang Aceh, bahwa adat di atas segalanya. Ungkapan Sultan Iskandar Muda yang disebut di awal itu berarti, 'jika seorang anak mati, masih diketahui di mana kuburannya berada, namun, jika adat yang hilang, di cari ke ujung dunia sekali pun tidak akan ditemukan'.
Adat sejatinya adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum yang menyertainya. Bahasa merupakan salah satu bagiannya.
Bahasa menandakan identitas. Zaman memang berubah, tetapi tidak berarti manusia harus ikut berubah atau melupakan identitas kesukuannya, seperti malu menggunakan bahasa daerah asal jika sudah lama tinggal di kota, hanya karena tidak ingin disebut 'kampungan'.
Perlu dicatat, Indonesia terdiri dari 17 ribu pulau, 513 kabupaten dan kota, 714 suku, dan 1.100 lebih bahasa daerah. Setiap bahasa tentu saja memiliki keunikannya tersendiri.
Keunikan-keunikan ini dapat dijumpai dalam pelbagai aktivitas sehari-hari, entah di rumah, di kantor, di warung, di pasar, bahkan di lapangan futsal sekali pun. Di sela-sela perbincangan terkadang terucap kata-kata bernada emosi, entah karena marah atau kesal.
Orang Aceh juga sering mengucapkan kata-kata bernada emosional. Tentu saja ungkapan-ungkapan emosional ini berbeda dengan kata-kata yang lazim terucap dari mulut orang Indonesia, pada umumnya.
Kata-kata seperti bajingan, keparat, anak bau kencur, cukimai, atau yang sedang in de mode saat ini, kampret dan cebong, tentu saja sudah akrab terdengar. Sebagai catatan, dua kata terakhir merupakan kata tidak berterima dalam ragam lisan baku.
Namun, pernahkah mendengar kata-kata seperti Jak lét bui keudéh, jak mita bôh sidom keudéh, aneuk tét, glanteutak, pukôe leumô, jak lét asèe, bui seugot, aneuk bajeung, pap ma keuh, atau ok ma kah? Kata-kata tersebut sering terucap saat orang Aceh sedang kesal atau marah.
Lain Hubungan, Lain Dampak yang Ditimbulkan
Persepsi pendengar terhadap berbagai kata-kata tersebut sangat bergantung pada hubungan semiotik yang melatarinya. Tidak semua orang Aceh naik pitam mendengar orang mengucapkan kata-kata bernada kotor kepadanya.
Ilustrasinya seperti ini. Sebut saja Si Pa'eh, seorang pria yang sedang dikejar-kejar penagih utang, sementara hari itu, satu sen pun dia belum mendapat uang dari hasil menjual buah kelapa muda yang dipetiknya dari kebun seorang juragan di kampung.
Si Pa'eh duduk menekur di sebuah warung kopi. Satu tangannya memegang dagu, satu lagi memilin-milin gulungan tembakau, sementara kopi di atas meja sama sekali tidak disentuhnya.
Si Ma'eh, sahabat lamanya semenjak di bangku sekolah dasar tiba-tiba datang lalu menepuk pundaknya dari belakang. Si Pa'eh pun tersentak kaget.
"Aneuk bajeung! Kutampar kau nanti," muka Si Pa'eh merah padam, lalu dia berdiri sambil memeloti temannya, dan tentu saja itu menarik perhatian orang-orang yang ada di warung.
"Ok ma kah! Sedang kerasukan setan apa kau Pa'eh?" Si Ma'eh membalas temannya dengan nada candaan.
"Heh, ke sana kau jangan kau ganggu aku. Tidak tahukah aku lagi pening saat ini. Jak lét bui keudéh!" Si Pa'eh terlihat kesal lalu kembali duduk disusul Si Ma'eh yang duduk di meja dimana Si Pa'eh duduk.
Si Ma'eh memesan kopi. Tidak berselang lama, keduanya berbincang-bincang kemudian terkekeh-kekeh bersamaan, seperti tidak terjadi apa-apa di antara mereka.
Kata-kata aneuk bajeung yang terucap dari mulut Si Pa'eh mengandung nuansa makna yang derajat kesopanannya sangat rendah. Artinya adalah anak haram.
Si Ma'eh membalas dengan ok ma kah. Ini memiliki arti yang tidak tidak kalah kasar dari aneuk bajeung, adapun artinya, setubuhi ibumu.
Namun, karena keduanya sahabat karib, kata-kata tersebut tidak lebih hanya sebagai ungkapan yang berlaku tanpa dimaknai lebih jauh sebagai sebuah makian oleh keduanya. Jika Pa'eh dan Ma'eh tidak bersahabat, lain lagi ceritanya.
Selain itu, ok ma kah adakalanya terucap saat seseorang berjumpa dengan seorang teman yang sudah lama tidak bertemu dengannya. Ungkapan ini bentuk kerinduan atau rasa senang si penutur.
Contoh pemakaiannya dalam kalimat seperti "Ok ma keuh! Ho kajak barokön hana deuh-deuh?". Kalimat ini artinya, "Setubuhi ibumu! Kemana saja kamu pergi selama ini sehingga kamu tidak pernah kelihatan?".
Dalam ilustrasi di atas, Si Pa'eh mengucapkan kata-kata jak lét bui keudéh yang artinya pergi kejar babi sana. Ungkapan ini sering terucap dari seseorang yang sedang tidak ingin diganggu.
Selain itu, pernahkah mendengar orang memaki dengan kata klitoris? Sudah pasti tidak, tapi di Aceh, kata tersebut sering terdengar, misalnya, ketika seseorang tiba-tiba dikilik di bagian bawah rusuknya, lalu karena terkejut dan merasa geli, spontan orang tersebut berteriak "Aneuk tét!!!!".
Advertisement
Ungkapan Emosional Saat Takjub
Ungkapan-ungkapan emosional dalam Bahasa Aceh juga ada yang berbentuk kata-kata berkonotasi positif. Ungkapan emosional ini biasanya dipakai untuk memuji seseorang, atau orang yang mengucapkannya sedang takjub akan sesuatu hal saat itu.
"Salah satunya bak budik kèe. Ungkapan ini biasanya dipakai untuk mengungkapkan rasa ketakjuban seseorang, baik kepada manusia maupun kepada benda selain manusia," kata Soni Fonolia, seorang guru di Kepulauan Simeulue, dalam bincangnya dengan Liputan6.com, Senin malam (18/2/2019).
Lulusan Sastra dan Bahasa Indonesia salah satu kampus di Meulaboh ini mengatakan, bak budik kèe tidak memiliki arti khusus. Hanya berfungsi sebagai reaksi secara tutur saja.
Perlu dicatat, Aceh terdiri dari beberapa suku dan 11 jenis bahasa daerah. Jadi, ungkapan bernada emosional, baik yang berkonotasi negatif atau pun positif yang telah disebut di atas hanyalah sebagian kecil saja yang mewakilinya.
Simak video pilihan berikut ini: