Sukses

Yang Tua yang Berteman Sampah

Penyakit asma memaksa Tete Donny berhenti dari pekerjaannya sebagai tenaga honorer Dinas Kebersihan yang berhonor Rp 300 ribu / bulan.

Liputan6.com, Jayapura - Inilah kisah persahabatan seorang kakek dan sampah. Diawali dari nafas lelaki 60 tahun, Dikanor Ohee tak teratur. Pernafasannya memang agak terganggu dengan penyakit asma yang dideritanya sejak puluhan tahun lalu.

Dikanor atau yang biasa disapa Tete (kakek) Donny bahkan harus keluar dari pekerjaannya sebagai buruh harian pada Dinas Kebersihan Kota Jayapura pada 2002 lalu, karena penyakit asma yang dideritanya.

Tete Donny mulai aktif bekerja sebagai buruh lepas di Dinas Kebersihan sejak 1982 dengan upah per bulan Rp 7.000. Honor terakhir yang diterima pada 2002 , senilai Rp 300 ribu per bulan. Sepanjang 20 tahun, Tete Donny mengabdikan hidupnya untuk kebersihan lingkungan.

"Kita angkut sampah itu mulai kerja pukul 03.00 WIT subuh dan sudah bisa pulang di rumah pukul 09.00 WIT. Biasanya sampah menumpuk dan volumenya lebih banyak terjadi setiap hari senin," kata Tete Donny di Kampung Yoka, pinggiran Danau Sentani, Kamis 21 Februari 2018.

Tete Donny bercerita, setiap senin, pekerjaan mengangkut sampah lebih berat dari biasanya. Pukul 06.00 WIT, petugas kebersihan sudah rate pertama ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Nafri. Lalu rate ke-2, sekitar pukul 08.00 WIT.

"Biasanya jam 09.00 WIT, kita semua sudah bisa pulang menyelesaikan pekerjaan itu," ujarnya.

Tete Donny punya 6 anak dan 7 cucu. Ia tak pernah menyangka sisa hidupnya harus berurusan dengan sampah. Salah satu buktinya rumahnya merupakan lokasi persinggahan sampah dari daerah Waena, pemukiman padat penduduk Perumnas, Distrik Heram, Kota Jayapura hingga Sentani, Kabupaten Jayapura.

Setiap hari, rumah Tete Donny dipenuhi dengan sampah dari limbah rumah tangga pemukiman padat penduduk di sekitarnya.

"Sampah plastik sisa air mineral paling banyak menumpuk. Ada juga kayu atau ranting pohon, hingga usus ikan atau sapi yang membusuk," katanya.

 

 

2 dari 2 halaman

Tak Mau Tinggal di Kampung Maju

Sehari-hari Tete Donny tinggal di rumah kayu. Hampir tak ada daun jendela di rumah itu. Rumah berukuran 10 x 5 meter juga hanya beralaskan kayu yang sudah mulai rapuh.

Rumah itu ditempati sejak 1995, sejak rumah milik warisan keluarga dijual oleh bapak tua (kakak) 1994. Rumah yang dibangun diatas pinggiran Danau Sentani itu sudah tiga kali dibangun dan dinaikkan lantainya. Semakin hari, kondisi rumah semakin menurun akibat arus air dari Danau Sentani.

Tete Donny dan istrinya, Elisabeth Modouw (53) memilih tinggal di rumah itu bersama dengan dua anaknya yang belum menikah.

"Rumah ini lebih nyaman, tenang dan bisa mencari ikan," katanya.

Mama Elisabeth mengaku biasa menjual hasil tangkapan ikan merah di Pasar pagi Ekspo Waena. Harga yang ditawarkan per ikat ikan yang berisi 15 ekor ikan dihargai Rp 100 ribu.

"Uangnya biasa untuk membeli gula, beras atau kebutuhan keluarga lainnya," ucap Mama Elisabeth.

Bukan hanya itu saja penghasil yang dimiliki keluarga ini, setiap ada truk sampah yang datang membeli sampah botol plastik bekas kemasan, keluarga ini menghasilkan Rp 30-50 ribu per hari.

"Per kilo sampah botol plastik ini dihargai Rp 1.000. Tapi, saat ini truk sampah yang biasa membeli tak datang lagi, karena bapak kehilangan hape dan tak bisa menghubungi si pembeli," ucapnya.

Tete Donny mengaku tak ingin keluar dari rumah yang ditempati saat ini, walaupun kampung tempat dirinya berasal yakni Waena Kampung, merupakan salah satu kampung yang maju di Kota Jayapura.

"Tinggal di kampung banyak orang mabuk. Bapak bawaannya emosi jika melihat orang mabuk dan membuat lebih stres," ujarnya.

Simak video pilihan berikut :